Mahabbah
Puncak keberagamaan adalah al-mahabbah (cinta),
kata Imam al-Ghazali. Kata mahabbah berasal dari kata hubb, yang
sebetulnya mempunyai asal kata yang sama dengan habb, yang artinya biji
atau inti. Sebagain sufi menyebutkan bahwa hubb adalah awal sekaligus
akhir dari perjalanan keberagamaan manusia. Mereka juga mengatakan bahwa hubb
terdiri dari dua kata, ha dan ba. Huruf ha artinya
ruh, dan ba berarti badan. Karena itu, hubb merupakan ruh dan
badan dari proses keberagamaan.
Sebagai simbol luhur keberagamaan, cinta (mahabbah)
bagi al-Ghazali merupakan orientasi utama kehidupan manusia sebagai hamba Allah
SWT. Ibn Arabi (via Hadi W.M., 2001) pun senada dengan al-Ghazali. Dia
meyakini bahwa cinta merupakan prinsip pergerakan alam semesta. Hulu dan hilir
segala penciptaan dan asal usul adalah Dia. Cinta yang diraih dan menggejala
dalam setiap kesadaran transendensi umat manusia akan menjadi inti atau biji
bagi tumbuh kembangnya keabadian dan kelezatan iman, di dunia maupun di
akhirat. Peristiwa penciptaanpun diawali dengan cinta. Tanpa ada Cinta semua
akan diam membatu.
Dalam Futuhat al-Makkiyyah (2017), Ibn
Arabi menjelaskan kesempurnaan penciptaan alam semesta oleh Allah SWT,
menurutnya, tidak ada duanya, hingga tidak ada sesuatupun di dalam posibilitas
(imkan) yang lebih sempurna darinya. Kemudian Dia memunculkan tubuh
manusia hingga terlihat oleh pandangan mata. Maqom cinta (mahabbah)
sebagai tingakatan ruhani manusia yang paling tinggi, merujuk kepada
al-Ghazali, merupakan percikan atas sifat Al-Rahman Allah SWT. Dan
cinta, tidak bersemayam di mata kepala, melainkan mata batin. Pandangan mata
yang sempurna merupakan representasi dari Dzat yang Maha Memandang.
Di dalam al-Quran, Allah SWT jelas memberi
penakanan bahwa adapun orang yang beriman sangat mencintai Allah (Q.S.
al-Baqarah: 165) dan sesungguhnya jika kita (benar-benar) mencintai Allah,
ikutlah, niscaya Allah melumuri mangguyur manusia dengan keberkahan dan cinta
abadi (Q.S. al-Imran: 31-32).
Dalam tradisi tasawuf, cinta (mahabbah)
merupakan interaksi intensif antara tiga subjek, Allah SWT, manusia dan alam
semesta. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Kuswaidi Syafiie (2016) dengan
mengutip potongan syair Mansur al-Hallaj, aku adalah engkau dan engkau
adalah aku atau ana al-Haqq. Dalam konteks sebaris puisi tersebut,
Mansur al-Hallaj aku-engkau dalam cinta telah berhasil mengubah struktur
dan hierarkhis menjadi orkestrasi sepadan yang memukau. Itulah sebabnya
al-Hallaj mengungkapkan ketakjubannya tidak saja kepada Allah SWT yang
dipersonifikasikan sebagai kekasih satu-satunya yang bertahta di puncak segala
impiannya, tetapi, juga kepada dirinya sendiri yang telah dibebaskan oleh cinta
dari segala atribut yang fana, sia-sia, suram dan nista.
Seluruh ciptaan di alam semesta merupakan proyeksi
atau citraan dari Dzat Agung yang penuh cinta dan kasih sayang. Artinya
eksistensi Allah SWT maujud dalam bentuk jasmani dan ruhani manusia dan
alam semesta, meskipun Allah SWT tidak membutuhkan bentuk-bentuk (zahir)
tersebut. Oleh karenanya, Mulyadhie Kartanegara dalam Menyelami Lubuk
Tasawuf (2006), berpendapat bahwa orang yang mencintai sesuatu, yang
tidak punya keterkaitan dengan Allah SWT maka, orang itu melakukannya dengan
kebodohan dan kurangnya dalam mengenal Allah SWT. Adapun cinta kepada selain
Allah SWT, tetapi, masih terkait dengan Allah SWT, maka hal tersebut masih
dipandang baik.
Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi menerangkan
hakikat cinta dengan indah:
Yang
Menerangkan Cinta Adalah Cinta Sendiri
…
Cinta
akan membimbing kita ke Sana pada akhirnya
Pikiran
akan gagal menerangkan cinta
Seperti
keledai di lumpur. Cinta sendirilah pegurai
Cinta
Tidaklah
matahari sendiri yang menerangkan matahari?
Kenali
ia! Seluruh bukti yang kaucari ada di Sana.
Cinta oleh Jalaluddin Rumi diposisikan sebagai
realitas mutlak yang tidak dapat ditafsri dengan alam pikiran (logika) manusia
semata. Hanya keterbukaan hati dalam menerima segala macam bentuk gejala
transendensi (Ilahiah) yang dapat menghidupkan kesadaran cinta kepada hakikat
tertinggi, Allah SWT. Melalui puisi-puisinya, Jalaluddin Rumi menyatakan bahwa
pemahaman atas dunia hanya mungkin lewat cinta, bukan semata-mata dengan kerja
yang bersifat fisik. Juga dalam puisinya, kita bisa membaca bahwa Allah SWT, sebagai
satu-satunya tujuan, tak ada yang menyamai. Karena itu, dalam menggambarkan
Allah SWT, hanya mungkin lewat perbandingan, di mana yang terpenting adalah
makna dari perbandingan itu sendiri, bukan wujud lahiriahnya atau interpretasi
fisiknya.
Rasulullah Saw. menjadi salah satu referensi utama
bagi para sufi untuk terus mengobarkan api cinta kepada Allah SWT dan sesama
manusia. Nabi Muhammad Saw., dalam catatan Haidar Bagir (2017), pernah bersabda
secara kategoris berikut: Pangkal agama adalah pengenalan hakiki (makrifat)
akan Tuhan, sedangkan makrifat itu adalah akhlak yang baik, sementara
akhlak yang baik itu adalah silaturahim: memasukkan rasa bahagia ke dalam hati
sesama.
Sabda tersebut jelas menjadi amanat sufistik
sekaligus profetik yang idealnya harus dilaksanakan oleh semua manusia. Oleh
karena itu, Haidar Bagir mengungkapkan bahwa Rukun Islam dan Rukun Iman saja
kurang lengkap, apabila belum disertai Rukun Ihsan. Rukun Ihsan inilah disebut
olehnya sebagai pilar cinta. Karena, Rukun Ihsan adalah melakukan amal yang
paling indah, paling sempurna (yang penuh keintiman) dengan Tuhan Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang dan penuh solidaritas kepada sesama makhluk-Nya.
Sosok Nabi Saw. yang welas asih dan penuh
dengan cinta inilah yang menjadi dasar epistemologis bagi Syekh Bushiri dalam Kasidah
Burdah-nya yang memukau. Dia menggambarkan keagungan Nabi Muhammad Saw.
ibarat raja: Jika kau melihatnya di tengah dan hamba-hambanya/ lihat,
kebesaran pribadinya tidak ada tolok bandingannya/. Selain itu, Syekh
Bushiri juga menulis demikian:
Muhammad
adalah raja dua alam, manusia dan jin
Pemimpin
dua kaum, Aran dan bukan Arab
Nabi
kitalah dia, yang menganjurkan dan melarang,
Tidak
ada duanya dia, terpercaya dalam berkata Ya dan Tidak,
Kekasih
bagi mereka yang mengharapkan uluran tangan
Di
tengah kezhaliman dan ancaman kekejaman
Diserunya
kita kembali kepada Tuhan
Yang
berpegang teguh memperoleh tali pegangan yang kuat
Sifat-sifatnya
mengungguli nabi-nabi lain,
Tilikan Abdul Hadi W.M. (2016) atas sajak (natiyaah)
Syekh Bushiri di atas mengabarkan makna bahwa kualitas dan sifat Nabi Muhammad
Saw. melebihi nabi-nabi yang lain dalam konteks pengetahuan dan kesempurnaan
makrifat. Dengan munculnya Nabi Muhammad Saw., pintu pengetahuan makrifat
melalui metode lain di luar Islam telah ditutup bagi penganut agama Islam.
Karena peran besar Nabi Muhammad Saw., al-Quran merasuk dan bersemayam di hati
umat Islam di penjuru dunia. Oleh karena itu, cinta (mahabbah) dalam
tradisi tasawuf ditujukan kepada puncak pengalaman tertinggi, Allah SWT dan
Nabi Muhammad Saw. Dia (Allah) akan menyatakannya sendiri kepada manusia.