Antologi
Puisi Di Puncak Gunung Nun
Tak seperti Planet Lainnya
Bumilah Satu-satunya Planet Layak Huni
Kemudian aku memuisi:
Kelahiranku, air mata pertama tumpah
Seprei, kasur, bantal, dan bale paraji
tempatnya.
Juga seperangkat mitos begitu bahagia menyambut
seperti kelahiran
Indonesia
Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa
Selembar samping dikadokan buat paraji
Seutas tali ari-ari ditanam di depan halaman rumah
Sepasang telinga menerima basuhan azan dan iqamat
Semua, atas berkat rahmat Tuhan Yang Mahakuasa
Konon, syarat keselamatanku menjalani hidup kemudian
Ya, ibu-bapak dan keluarga besar merelakanku lahir
menjadi penduduk bumi
Planet yang layak huni
Kemudian aku meneriak:
Kelahiranku, air mata pertama tumpah
Cahaya lampu ruang, bumi yang layak huni,
ibu-bapak dan keluarga
besar
Juga paraji dengan sentuhan kasih sayang tangannya
Seperti air mataku tumpah karena respons dari
planet gelap
Mereka semua menumpahkan air mata
“Anakku anak pertama, kau terlahir laki-laki.
Sini Bapak gendong! Bapak timang-timang.
Kelak besar, kau penerus bapakmu”,gumam bapak.
Sedang ibu tersenyum bahagia
Aku bayangkan perasaanku saat itu
Saat meneriak:
“Salam keselamatan, salam keselamatan, salam keselamatan.
Aku telah bersaksi sebagai makhluk yang berbahagia bahwa
s(eorang ibu dengan rahman-rahim-Nya, telah melahirkanku.
Salam keselamatan, salam keselamatan, salam keselamatan.”
Begitulah kurang lebihnya:
Aku memuisi bersama malaikat-malaikat pembawa sejuk
bersama jin-setan yang
renyah tawa
Dan teriakanku itu
duh, betapa setia dan
membekas
Aku, makhluk yang berbahagia
– T(aksempat interupsi, mengapa dulu di planet gelap itu
menyetubuhi segumpal darah. Mungkin semacam kesemestian
kehendak-Nya –
resmi menjadi penduduk
bumi
Planet yang layak huni
The Oldiest Songs
Aku membaca pagi
Malam penempuhanku
seperti doa purba yang mengabu.
Kurelakan hati menjelajahi segala
kemungkinan
Menerima teriakan dan keberadaan
sebagai khotbah diri
Engkau pun berlari
Mencari Timur menemu Amus
Timur tempat sujud purna
Memaknai pertemuan sebagai
awal dan akhir
Engkau tahu
Betapa aku
Betapa rindu di sini
Dosa terakhir yang sisa
Sedang waktu memutar jalanku
berpusing
O nafs ini
Tiupan kekal
Sebuah nama dan upacara
keselamatan
Cincin melingkar
Kawin massal musim penghujan
Aku bertemu kembali
Tanah dengan bangsa
bangsa-bangsa
Kutanam-tanam cinta
Kau anyam-anyam duka
Kukerah-kerah humusan
Kau gelar-gelar cemaran
Aku takingin kitab sejarah cintamu
Bau amis anyir kaki lalat-lalat
Aku ingin seyum kulum manismu
yang legendaris
Yang menempel pada sanubari bangsa
Yang meremiks hati penyair
Berdangdut dengan artis-artisnya
yang ratapan
Engkau pun sujud purna purba
Mewirid batu-batu yang pernah
kaulemparkan
Sedang radio bututmu mengalun
Membayang sepasang mata bola
Yang mulai rabun melihat Timur
Membaca Surat Cinta /
Yang Engkau Berikan /
Ingat Kisah Cinta /
Siti Nurbaya
The oldiest song
Ninsy menunggu
Abab-abab sejengkal
tulang rusuk
Abad-abad stagnan
Abad-abad kegelapan
The oldiest song
Amus menekur
Timur yang jauh
Timur yang takditemu
Timur yang purba
Ninsyku sayang
Jika kauelus daun-daun
Kaurasalah saksama
Menembang napas kasmaran
Namun rambutmu takjuga
memutih
Takperlu seperti itu
Hingga musim gugur tiba
Rahasia lain ketuaan
Kautetap berteduh di bawah
pohonnya.
Pertemuan
Jengah yang lara:
Yang dinanti yang dinanti
Indukku induk kalsium
Laluku patah tercerabut
Aku kesemestian itu
Rindu cinta membebaskan
Rindu cinta mendewasakan
Gerangankahkau
Takkutemu batas Timur
Duh, pohon ini janabat
Daun gugur bukan isyarat
Sebab kau takniat surat
Yang dinanti yang dinanti
Ninsyku menembang
Seperti berada di planet gelap
menjadi janin
Kemudian kelahiran
Menjadi bayi
Menjadi kau sendiri
Menjadi yang beranak-pinak
Ninsyku sayang
Takseperti planet gelap
Bumilah satu-satunya planet
layak huni
Seperti api bumi berinti
Seperti rindumu itu
Seperti tanah bumi berbadan
Seperti kesabaran dan
kesuburanmu itu
Seperti hijau pohonan
Seperti biru langit dan lautan
Dan tentu senyummu
kala fajar
Fiksi-fiksi tentang anak cucu
Ninsyku menangis
Engkau cengungukan
Engkau kesemestian itu
Turunan dan kelokan
Basah di akaran
Basah di dalaman dan gelap
Basah di hati-hati petani
Membasah di rendahan dan
rekahan
Takseperti planet lainnya
Bumilah satu-satunya planet
bijak keluhan
Angin berhembus seperti siulan
Amus
Gapai-menggapai rambutmu
Ninsyku berlari
Berlari menemu batas Timur
Berlari sampai merasa takperlu
berlari
Berlari menyusuri air sungai
Berkelok meninggalkan rendahan
Tengadah menginjakkan rekahan
Tembang-tembang kala fajar
Tembang-tembang ajaran malaikat
penjaga Gunung Nun:
Ia yang berjaya
Induk semangku
Ia yang bersahabat maut
Siulan burung Hud-hud
Ia yang tepercaya
Yang suci
Dari lembah Gunung Nun
aku berlari
Segala terlewati kecuali kala
Serat semburat fajar seperti
memecah Gunung Nun
Gunung kembaran satu lava
Tempat bayi-bayi menyusu
Sawah-sawah dibajak
Syair-syair bersanjak sayu
Segalanya diberi jarak
Duh, kepanaanku
Lihatlah susu-susuku mengembang
Tembangku tembang kepagian
Tanpa rupa bayang aku taksiap
berias
Apalagi bertemu denganmu
Duh Gusti, rusuhnya hatiku
Ninsyku rusuh
Puncak Gunung Nun dituju
Ninsyku Ninsyku
Engkau kusayang-sayang
Tentang Penulis
Nizar Machyuzaar, penyair, esais, dan pembelajar
tekstologi dan stilistika. Aktif di organisasi
Mata Pelajar Indonesia, Sanggar Sastra Tasik, Teater Ambang Wuruk, Gelanggang
Sasindo Unpad. Karya tulis dimuat di Laman Artikel Badan Bahasa Kemdikbud,
Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Kabar Priangan, dan beberapa portal
berita digital. Karya: Buku puisi bersama Doa Kecil (1999), buku
puisi tunggal Di Puncak Gunung Nun (2001), dan buku Kumpulan
Puisi Bersama Muktamar Penyair Jawa Barat (2003). Terbaru, esai ulasan
puisi dimuat di artikel laman Badan Bahasa Kembikbud.go.id berjudul “(e)M-(e)L Acep“.