Cinta yang Hidup
Oleh: Arif Hidayat
Hei. Kau, yang tertunduk dan seperti tak bertenaga.
Lihatlah diriku yang tampan ini sebagai seorang yang gemar menulis dan
mementaskan naskah drama. Lihatlah lebih dekat, dengan teliti dan cermat. Bangkitlah dari lamunan. Niscaya,
kau akan tahu bahwa ketampanan tidak hanya tampak dari tubuh, tapi pada cara
menyatakan cinta dengan kekuatan kata-kata yang senantiasa tumbuh dalam
ingatanmu. Bila saja, masih tak percaya dan ragu, maka simak saja caraku
menjadikan cinta itu terus hidup, dan menjadi bagian dari hidupmu.
Sederhana saja. Katakanlah begitu untuk cinta yang
ada di dalam tulisanku, kemudian hidup dan menyeretku untuk masuk ke dalam
tulisanku sendiri. Mulanya aku tidak percaya. Tulisan yang kuangankan menjadi
sebuah kota yang sangat indah. Ada danau yang terbentang biru. Awan terdampar dengan rapi di atas pegunungan. Lengkung tepian danau seperti lukisan.
Rumah-rumah yang berjejer seperti hendak berbaris. Dan, orang-orang yang selalu
berjalan dengan tergesa-gesa untuk memburu pagi. Aku tiba-tiba berada di sana:
di dalam ceritaku sendiri, yang kau tentu tidak akan percaya.
Pemandangan yang
cukup mengagumkan dan membuat puas. Hingga tanpa terasa aku
berjalan menyusuri
tepian sungai. Air yang bersih memantulkan bayangan
matahari. Dari kejauhan tampak kastil yang menjulang menuju langit. Seseorang
tampak kecil sekali berada di jendela. Mungkin sedang berdoa. Mungkin pula
sedang melihat aku yang juga memandangnya. Aku mengabaikan kastil dan seorang
di dalamnya, dengan lebih memilih menyusuri pohon-pohon yang merontokkan daun ke jalanan. Sesekali
angin menerbangkan dengan sayap-sayap yang perkasa.
***
Bersabarlah sebentar untuk cerita cinta yang aku
janjikan. Baru permulaan, sebelum akhirnya aku berada di tengah pasar melihat
orang-orang ramai berlarian. Orang-orang di pinggir jalan saling
menanyakan dengan rasa penasaran. Aku juga bertanya, tapi di dalam hati, dan
hatiku tidak menjawab. Kepastian akan kudapatkan dengan ikut berlarian pula
menggunjungi arah orang-orang berkumpul. Dari sela-sela tubuh yang berhimpitan,
kulihat dua pedang diacungkan. Saling bergerak. Saling berkilat ketika matahari
memancarkan cahaya ke arah baja yang berkilau itu. Orang-orang saling
mendukung. Berteriak.
Saling bertaruh untuk sebuah kemenangan. Aku sendiri
penasaran dengan apa yang memicu mereka begitu ngotot untuk saling mengayunkan
pedang dan berusaha
untuk menebas.
Sampai sekumpulan orang dengan seragam besi, dengan senjata tombak datang
dipimpin oleh orang berkuda, masih kulihat belum ada setetes darah pun yang
menetes. Yang menetes adalah keringat lantaran matahari yang terlalu memberi
mereka semangat untuk melompat dan menghindar. Orang-orang bubar. Kedua
pengayun pedang entah ke mana. Berbaur dengan orang-orang. Aku terdorong ke tepian
untuk merapat di tembok sambil sesekali melirik lelaki berkuda yang marah-marah
karena ada yang membuat onar. Dia mengancam tidak akan memaafkan kalau ada yang
mengulangi. Tapi, konon, menurut orang dengan pakaian dan topi besar di
sampingku, bahwa laki-laki itu sudah mengatakan hal yang sama berkali-kali. Juga
dengan ekspresi kemarahan yang sama. Dengan diakhiri meludah ke jalan. Sebelum akhirnya memacu kuda dan menghilang di
tikungan.
Letih juga berdiri dan berjalan sedari tadi. Aku ingin
duduk dan menulis. Tapi aku tidak punya uang untuk berada di warung makan,
mungkin setara café karena
pengunjung lebih banyak minum sambil bercakap-cakap.
Di sana, hanya
ada orang-orang bersepatu tinggi dengan kulit putih agak semu merah, dan rambut
agak ikal yang sering ke luar masuk secara bergantian. Aku tidak
berani dan lebih memilih ke taman dengan duduk di bangku kosong,
dengan air gemercik sedikit surut untuk membasuh wajah. Daun-daun berserakan di tepian. Di situ, aku
berbaring sambil memejamkan
mata berharap dapat bermimpi indah. Ranting-ranting pohon menjaga mataku
sedikit teduh dari pancaran matahari. Lega.
***
Sayup-sayup kudengar suara seorang perempuan dan
laki-laki saling bercakap. Cara bicara mereka pelan. Tapi angin yang bergerak
ke arahku memudahkan untuk mendengar.
“Apa ayahmu terluka? Ayahku tidak apa-apa.”
“Ayahku juga tidak apa-apa. Hanya sedikit memar di
dada terkena sepatu ayahmu.“
“Baguslah kalau begitu. Ayahku hanya sedikit
terpincang-pincang. Waktu melompat tinggi, dia mendarat tidak seimbang.”
Mendengar percakapan itu, aku bangun untuk ikut
memandang mereka yang berada dalam cahaya lampu. Ada warna biru dan warna
terang. Bagian belakang berwarna hitam pekat. Mereka saling bercakap. Duduk di
bangku panjang, yang mirip dengan di taman tempat tadi aku merebahkan
tubuh. Ada banyak orang berkumpul dalam ruangan ini. Tak jelas siapa saja
karena lampu hanya diarahkan pada mereka yang berada di dalam panggung. Aku
ikut mendengarkan dan melihat, juga mengamati mereka yang keluar masuk panggung
saat lampu sedikit dipadamkan.
Agak gelap.
Sampai pada lampu merah menyala untuk adegan perkelahian, yang begitu mirip dengan yang kusaksikan baru saja.
Perkelahian kali
ini aneh. Suara besi yang berbenturan terdengar tidak dari senjata yang mereka
ayunkan, tapi dari balik sisi tirai hitam. Perkelahian yang singkat dengan
seorang tampak perlahan-lahan pura-pura mati. Sampai
pada seorang laki-laki yang tampan dan perempuan yang cukup cantik berusaha menghumbuskan pisau ke perut
berkali-kali ketika
ayah masing-masing mengajak pulang. Darah
mengalir dari
perut ke atas pangggung. Darah yang terlalu bening untuk darah, tapi membuat penonton
terdiam. Aku juga terbelalak. Semua lampu mati. Orang-orang saling bertepuk
tangan. Sampai seorang narator keluar menyampaikan maaf dan terimakasih yang
sebanyak-banyaknya dengan lampu seluruh ruangan dinyalakan. Laki-laki dan
perempuan yang tadi mengucurkan darah melambai. Orang yang sudah mati juga hidup lagi. Mereka
saling memeluk, bahkan dengan yang tadi berkelahi. Mereka saling tersenyum
untuk memaafkan. Satu per satu orang bangkit dari tempat duduk, memberikan ucapan selamat, melangkah
dengan gembira sekaligus tersedu. Saling bercakap. Hingga ruangan sepi. Tinggal
aku sendiri, untuk menulis dengan hatiku.
***
Dalam menulis
aku seperti melihat ada patung di taman dengan seorang laki-laki dan perempuan
seperti hendak berciuman. Patung itu begitu mirip dirimu yang berada di dalam
jendela yang sangat kecil berada di dalam sebuah hotel yang tinggi. Kau ingin
turun dengan tali, tapi terlalu tinggi. Pintu terkunci dari luar. Kau tampak
mondar-mandir di jendela memandang langit yang penuh dengan kebebasan.
Burung-burung yang selalu bisa mengepakkan sayap.
“Duh, di zaman
modern begini, masih ada perjodohan.” Begitu katamu pada senja yang jauh. Senja
yang cengeng dan hanya sementara.
Ayah ibumu
datang dengan senyum dan persiapan jutaan kata untuk menjadikanmu berkenan
berdandan mengenakan gaun. Sementara ingatanmu masih tertuju pada ciuman aktivis
baik hati, yang pernah menolongmu dari penembakan semasa kuliah. Laki-laki yang
membuatmu merasa nyaman dengan kerelaan dan kesediaan diri untuk mati menjadi
tameng peluru saat ikut berdemonstrasi tentang korupsi di instansi ayahmu
bekerja. Jalan berkobar. Puing dan bebatuan berserakan. Tak ada laju kendaraan,
selain tetes darah yang masih berbekas dalam tangis. Dia mati melindungimu
dengan senyum dan berusaha memberikan ciuman terakhir. Tapi kau tak bisa datang
ke pemakaman karena ayahmu marah-marah instansinya didemo oleh anaknya sendiri.
Di hadapanmu
kini, adalah ada laki-laki yang selalu berusaha tersenyum berada di dalam
pamflet-pamflet jalan raya saat kampanye. Dia masih muda, dan sedikit lebih tua
darimu, yang selalu berjalan tegak. Kulit bersih. Rambut hitam mengkilat mirip
warna sepatunya yang tidak pernah tersentuh debu. Dan, kau tidak ingin membuat
malu pada ayahmu yang telah menyebarkan puluhan ribu undangan, juga beberapa
wartawan televisi yang datang untuk meliput langsung.
Kau juga tidak
memilih ikut mati bersama kekasihmu yang terkena peluru. Lebih memilih hidup
dengan cobaan yang besar, yang kelak akan melahirkan anak dari orang yang
menjadikanmu terus hidup tersebut. Kau akan berusaha untuk mendidik ke dalam
garis yang benar, sambil berharap gen ketulusan akan dapat membebabaskanmu dari
keterpaksaan. Dalam begitu, kau tetap punya harapan bahwa cintamu adalah cinta
yang hidup melalui anak. Cinta yang harus kurevisi ulang dalam tulisanku,
ketika kau hendak tampil dalam televisi.
***
Kau mungkin akan mengatakan sebagai cinta yang klasik.
Zaman dulu. Mitos. Dongeng. Atau sejenisnya. Namun, begitulah, nyatanya. Aku
menulisnya dalam bahasa yang sederhana, dalam kematian yang abadi. Cinta itu
terus tumbuh di dalam kata-kata dan ingatan. Juga tetap tumbuh di dalam dirimu
dengan masih adanya perbedaan dan perselisihan, yang diwariskan dari leluhur. Konflik
masa lalu yang semulanya rentan,
sebenarnya dapat diselesaikan oleh cinta. Yang mana antara pihakmu dan
pihak lain
saling memaafkan, saling menerima, saling percaya. Begitulah cinta berkata seharusnya. Aku
yakin, mereka tidak ingin melihatmu seperti tokoh-tokoh yang pernah aku tuliskan
dengan akhir yang tragis dan memilukan hingga membuat langit
berkabung. Maka,
jangan lagi tertunduk seperti tak bertenaga untuk cinta.
Purwokerto-Purbalingga, 29 Nopember 2011
Tentang Penulis
HIDAYAT, lahir di Purbalingga
pada 7 Januari 1988 dari pasangan Kodri Zaenal Arifin dan Rusmiyati. Ia besar
di Desa Banjarsari RT 04/RW 07 Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa
Tengah. Tulisannya pernah dipublikasikan di Harian Koran Rakyat, Kedaulatan Rakyat,
Wawasan Sore, Minggu Pagi, Kendari Pos, Merapi, Kompas, Suara Karya, Radar
Banyumas, Suara Merdeka, Lampung Post, Republika, Joglosemar, Suara Pembaruan, Majalah Horison, Majalah Mayara, Majalah
Basis, Majalah Merpsy, dan Rakyat Sultra. Kini ia
tinggal di Desa Karangnanas
Rt 06/Rw 02, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.Email: arif19hidayat88@gmail.com dengan
No.HP: 085726564738.