ALAMAT-ALAMAT
JAMAN BHERI
Kiranya hanya Donan mengalami jaman ini. Tapi belum
ada setahun, sudah berlalu.
–
Kapan
carutmarut itu berlarut-larut, meragukan kesungguhan Demak amatlah patut.
akhir carutmarut itu?
–
“Telih-nya terluka, hinggaplah bersama
kesakitannya di ketapang tengah kuburan itu,” pungkas seorang sesepuh dari kampung
nelayan Sidakaya. Mungkin hendak menguatkan yang sebelumnya diungkap, tajam ke
mata saya, matanya, “sejak saya kecil dahannya sudah berlaku seperti itu.
Nanti, setelah pelelangan ikan jembatan Kaliyasa, dari jalan pantai
Tegalkatilayu, bisa lebih jelas : seperti lunglai. Begitulah, jika bebannya
besar lagi kepayahan. Beruntung sebelum mematahkannya, dengan tekad sekedar
menghantar jasad rusaknya, sang pemangsa sapi kembali mengepakkan sayap ke
lautan sana.”
itu tersiar hingga daratan Tiongkok?
–
Perihal
klannya, seorang pengusaha dealer sepeda motor berkisah, “sejak rel kereta
menghubungkan kota ini dengan beberapa kota di Jawa Selatan, menyusul yang
meletakkan batu pertama, setelah turun dari serta pantang kembali ke kapal,
sebelum berpencar, demi tegaknya Klentheng ini, demi membentengi kota ini dari
pengaruh buruk lautan, seikhlasnya orang cina menyerahkan sebagian miliknya.”
Pernahkah peta pelayaran para juragan menyadari
sibuknya Donan?
–
“Meski
baru dua tahun jalan, tapi omsetnya terus naik. Silakan gabung, kang.
Setidaknya ikut serta mengatasi pengangguran. Dijamin kualitas produk saya
selalu terjaga!” Pesan mas Hari disertai foto-foto kegiatan usahanya. “Tak
perlu ragu. Simping laut kesukaan sultan Turki pernah berkapal-kapal dari sini,”
sambungnya membumbui tawaran kerjasamanya.
telah 5 abad bepergian kembali ke sini?
–
Coba,
untuk siapa dan apa, dari berbagai kerajaan, para juragan bergegas ke sini?
Maka, sekilas saja sini bergolak, sebelum pesaingnya menyadari begitu pokoknya kenyamanan
bersauh, Demak, pengagum utamanya Donan, sudah jauh bertindak. Pernah dengar?
demi perlindungan setara,
adatnya kewula –
dari jerihnya
melaut,
sesekali dari memetik
sukun
kareman warga
kota,
berburu celeng,
kaum pengagum
Bheri
tak pernah
lambat
membayar tagihan
pajak.
Adakah paugeran
pajak
jadi memberatkan
mereka?
Kini
di hadapan para pemungutnya
tak
lagi sungkan menghiba –
kenapa tak seperti
masa
sebelum kapal-kapal
Sultan
menjadi tuan di
lautan saja.
Telinganya tetap
rapat,
agaknya para
pemungut
sedang bertugas
sesuai arahan juragan.
Begitu dari
lautan gelombang paceklik
berduyun
merambah pesisir Donan,
lahirlah kewula terpuji :
sapi para juragan,
imbalan mereka belanjakan
sekalian
menguatkan hak-haknya kewula.
Lahir pula :
Sulit menerima
nalarnya pungutan,
tak hanya
menghindari petugas.
Bahkan dengan
terbuka
– mungkin dari sisa Tembini yang sembunyi,
permintaan
–
juragan.
di Limbangan,
Donan sudah buaya nganga,
bunga bisikan dekat
telinga Sang Sultan.
Bisa diduga,
“mengapanya” juragan
terkaya Donan
tak cepat ambil
tindakan,
bersama tawar
menawar,
bersama tarik
bayar,
beredar dari
saudagar ke saudagar,
dari bandar ke
bandar.
Padahal dekat istana
Kesultanan,
ada ahlinya
memadam kobar api makar.
Siapa ahlinya?
Dialah, yang
jika nama serta
langkah-langkahnya
diuraikan,
gentarlah para
gembong.
Yang berlindung
di balik wingit hutan.
Yang bertimbun
bersama jarahan
dalam gelap
gua-gua tak terjangkau
teropong kapal
dari lautan,
bakal menyambut takzim
kehadirannya.
Lalu menjabatnya,
tanda paham
baris-baris paugeran.
Bagi Sang Ahli,
Tilam Upih
pusakanya Sang
Sultan
juragan terkaya
Donan langkahnya lamban,
tentu berlebihan.
Maka memilih baju
gelar Santri Undik,
singgah di
Limbangan,
menghimpun perkembangan
Donan.
Tak sampai
berbulan
langkah-langkah
yang diperlukan pun
sudah dapat
ditentukan.
Tapi hendak ke
atas arena terbuka, terbersit –
bertindak dalam
baju gelar
orang haus
keilmuan, bakal sulit dinalar
orang telah
kembali liar.
Maka di hadapan juragan
terkaya Donan,
tegaslah Sang
Ahli –
siapapun tampil
mengejawentahkan putusan,
terpenting menggenggam
wenang Sang Sultan.
Juragan terkaya
Donan sejak mula ragu,
akhirnya pilih
mengembalikan
pusakanya Sang Sultan.
Beruntung Sang
Ahli segera ingat –
juragan terkaya
Donan
kerabatnya kaum pengagum
Bheri.
Bagaimana
mungkin memihak satu bagian
ketimbang bagian lainnya?
Makin erat keris pusaka digenggam,
Sang Ahli pun menguarkan,
“wahai,
para makar,
demi
kemuliaan para pelintas daratan lautan,
Sang
Sultan tak sanggup berkepanjangan!”
Angin kencang
susul menyusul,
kobaran pada
unggun cumplung-belukang mobat mabit,
mengapa Sang Ahli
tiba-tiba tersirap?
Tanggapan pertama
yang lawan gelar,
rupanya mengingatkan
saat-saat bersama
kawanannya
mengamati penjagaan
rumah para juragan
penimbun barang
kebutuhan :
Sambil melenakan
sasaran dengan tetabuhan,
tak henti bertukar
sandi
dengan cucuk
lampah di garis depan!
Tersenyumlah
Sang Ahli –
satu langkah
lawan telah dapat ia baca.
Karenanya,
satu langkah berikutnya,
meski
baru bisa ia kira,
sudah
sepatutnya :
Di
kegelapan sana, para cucuk lampah
selesai menggambar
sepersis-persisnya
sasaran –
di tengah lahan terbuka,
di atas arena yang ditinggikan,
dalam paparan cahaya api menjilat-jilat
hingga teranglah putih mori
membungkus jasadnya,
menggenggam pusaka Sang Sultan,
memandang ke arah asal suara tetabuhan,
berdiri sidakap, jadi taruhan.
langkah lawan berikutnya terperikan :
bertengger
di dahan-dahan bakau,
sesekali
tepercik airnya Segara Anakan
mondar-mandir
buaya muara,
betapa
riuh para makar menata ulang
bentuk
perlawanan.
Seperti
apa bentuk perlawanan
yang
akan mereka berikan?
Masih
berdiri jejeg di arenanya,
Sang
Ahli mulai mengingat
cara-cara
bertahan
yang
pernah ia cipta-ajarkan.
Tetapi
hingga pagi datang,
hal-hal
yang membahayakan dirinya
sekelebatpun
tak ada yang melintasi
ruang
pandangnya,
terlebih
menjelangnya.
Sekelasnya,
telah diperlakukan
layaknya
bangkai hewan mengambang
patutkah
merasa terhina?
Di
belakang punggungnya
tinggi
matahari telah melampaui sepenumbak.
Tapi
meninggalkan arena,
ditimbangnya
tak seberapa beda
dengan
membenarkan tindakan makar.
Dirasakannya
keringat makin terkuras.
Tapi
dari arah surutnya asap,
sudah
melangkah sosok tinggi besar.
Setelah
cukup jelas,
legalah
Sang Ahli –
Sebab,
langkah pertama
yang
digelar lawan semalam,
mengingatkannya
pada sosok
yang
lama dikenalnya :
bermata
tajam celakan,
berdada
bidang.
Sosok
yang saat bersamanya
membelah
badai,
meski
kapal telah patah tiang layarnya,
tetap
berdiri kokoh di sampingnya.
Sosok
yang jika bertemu lawan
pantang
menampakkan tengkuk
serta
punggungnya.
Sosok
yang kini,
demi kehormatan
daratan lautan,
Sang
Ahli pantang memanggil nama besarnya.
Terlebih
turun menjabatnya.
Sosok
yang saat Sang Ahli
mendengar
perkataannya,
gendang
telinga nyaris pecah.
Sambil
memahami maksud ucapannya,
menatap
matanya
pandangan
nyaris ganda.
Sambil
menyelami kedalaman gelisahnya
serta
mencari hari-hari yang pernah
dan
ingin dilihatnya,
hendak
memulai kata, mulut telah terkunci.
Detak
nadi menuju jantung nyaris berhenti.
Sang Ahli pun memancang kembali posisi
bertahan.
Meski matahari sudah
lingsir jauh,
sambil mengamati
bagaimana sosok lawan
berupaya
menghentikan
yang sedikit
demi sedikit melanda tubuhnya,
posisi Sang Ahli
tak berubah.
Cengkeraman kaki
sedikit ia kuatkan,
makin deraslah
kucuran peluh sosok itu.
Membasahi
sekujur sarung.
Menggenangi
permukaan tanah
seputar tumpuan
kaki.
Begitu laku Sang
Ahli berhembus layaknya angin,
terurailah lewat
tatapannya, kemurnian nalar –
“Raihlah lautan
sejauh Bheri terbang.
Jika mina
tangkapan bisa mendapatkan
hak-haknya
kewula, berlabuhlah.
Bagi yang
memerlukan yoga,
sanggar-sanggar
tetap terbuka.
Ingat, setinggi
apapun kalian,
tak bakal lepas
dari jangkauan!”
Bagaimana akal sosok itu sanggup
meredamnya?
Jauh sebelum Donan, Nusakambangan kiranya lebih
melimpah hewan mangsa. Sejahteralah Bheri di tengah aneka pilihan. Pernahkah
carutmarut itu melintasi Tembini?
–
Tidak
mustahil, masa itu Bheri dapat dijinakkan. Jadi hewan tunggangan, umpamanya.
Sayangnya, tiap kisah Tembini dipentaskan, seperti apa saat dikendarai
orang-orang pesisir kidul, terlebih bagaimana saat mengintai sapi seperti di
masa Donan, sepenggalpun tak ada adegannya. Para sutradara ingin menonjolkan kemolekan
raja terakhirnya, Ratu Brantararakah? Entahlah, terlebih bagaimana setelah
seorang Adipati dari Bali yang jenuh bersanding dengan patung kayu sang Ratu selalu
gagal menemui sang Ratu, kisahnya terserah siswa. Sudah biasa, pak guru
buru-buru kembali dengan bagaimana berbahasa Jawa, bahasa yang kami pakai,
utamanya saat berbicara dengan beliau atau sejawat beliau. Sesekali dengan
orangtua –
2020/2021
Tentang
Penulis
Penulis
Emce,
adalah pensiunan PNS. Di samping menulis juga aktif di Lesbumi PCNU Cilacap.
Kumpulan puisinya yang telah terbit, Binatang
Suci Teluk Penyu (2007), dan Diksi
Para Pendendam (2012) masuk 10 besar Khatulitiwa
Literary Award 2012. Akun twitternya @BadruddinEmce.
Daftar
Pengertian
Yang dimaksud dengan :
- * Cucuk lampah yang secara harfiah berarti pemimpin pasukan,
dalam puisi adalah orang yang berada di
garis depan yang bertugas mencari informasi seputar sasaran serangan. - *
Cumplung-belukang
yang
secara harfiah berarti kelapa dan pelepah
daun kelapa kering, dalam puisi adalah bahan bakar dari bagian-bagian pohon
kelapa yang terlepas atau telah dilepas, berupa cumplung dan belukang.
a.) Cumplung adalah buah kelapa yang
terlepas jatuh karena layu lalu mengering, dan sebagainya. Sedang b.) belukang adalah pelepah daun pohon
kelapa yang telah dipotong-potong, per satu potongnya sekitar tiga kilan. Untuk
mempercepat proses pengeringan, khusus bagian yang cukup lebar, yaitu bagian
pangkal ke pucuk sekitar dua potong, dibelah tipis-tipis. - *
Jejeg
adalah
sifat sikap berdiri yang mengesankan tidak tergoyahkan. - *
Kareman yang
secara harfiah berarti kesukaan, klangenan, dalam puisi adalah buah
kesukaan orang kota, yaitu sukun. - *
Kewula
adalah warga dari suatu kerajaan yang memiliki hak dan kewajiban sebagai warga. - *
Lingsir
adalah istilah teknis yang biasa
digunakan dalam tradisi pembacaan kitab kuning untuk menyebut Posisi
matahari telah bergeser dari titik tertinggi. - *
Mobat
mabit
yang secara harfiah bergerak tidak tentu
arah, dalam puisi adalah keadaan nyala menjilat-jilat tidak tentu arah dari
api pada unggun cumplung-belukang. - *
Paugeran yang secara
harfiah berarti tempat mengikatkan, tonggak, dalam puisi adalah teks ketentuan yang mengatur dan bersifat
memaksa a.) perpajakan, b.) ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, dan
sebagainya yang berlaku di wilayah kekuasaan Demak. - *
Sepenumbak adalah istilah teknis yang biasa digunakan dalam tradisi
pembacaan kitab kuning untuk menyebut
posisi ketinggian matahari batas awal waktu Dhuha. - *
Somahan
yang
berasal memiliki kata dasar somah
(lihat pengertian somah dalam puisi
nomor 2), adalah hal-hal yang termasuk urusan kerumahtanggaan suatu keluarga (somah). - *
Telih yang secara harfiah berarti tembolok, dalam puisi adalah organ
tubuh burung garuda Bheri yang berfungsi untuk menerima dan menyimpan makanan
sebelum diolah dalam pencernaan. - *
Wingit
yang
secara harfiah berarti angker, dalam
puisi adalah keadaan hutan yang dipercaya dihuni banyak makhluk gaib.