Soliter
(I)
1.
Kau membangun gedung-gedung,
kafe, rumah makan 24 jam,
di atas tubuh sendiri:
tanah sengketa
antara keinginan-keinginan
dan pemenuhan yang serba
terbatas.
Kau ingin
segalanya jadi tampak
lebih nyata: kau adalah kurir,
juru masak, petugas parkir,
dan pekerja laundry—
pelaku seluruh profesi—
dalam dunia kemungkinan
yang sengaja
kau ciptakan.
2.
Kau berjalan
di antara lowongan pekerjaan baru
dan kekhawatiran pada suara-suara
sumbang dan asing.
3.
Di ruangan itu,
kau sibuk menghitung panjang
bekas jahitan luka
yang tercipta tiap kali
nama-nama lama
menghubungimu kembali.
Praya,
Januari 2021
Soliter
(II)
“I
open my fingers—
I let
everything go.
Visual
world, language,
rustling
of leaves in the night,
smell
of high grass, of woodsmoke.
I let
it go, then I light the candle.”[1]
1.
Kau melepaskan
segala yang berada
di luar tubuhmu:
dunia terlalu menjenuhkan
lantaran sejarah berulang—
mereka yang menang
akan mencipta sejarah sendiri
setelah perang usai.
Setiap jalan
yang kau lewati,
menyisakan daun kering
dan bau rerumputan
yang dilupakan.
Kau membayangkan
waktu adalah kayu
yang terbakar
oleh bahasa yang tidak
menemukan titik temu.
2.
Tanah air pertama
adalah bahasa:
maka kau ajari kata-kata
pada tiap yang bisa
diajak bercengkerama
di lubuk dirimu.
Kau mencoba
menghindar dari invasi—
perbincangan perihal materi
yang kerap sedemikian barbar.
Tetapi penerjemah tanpa nama—
yang kau beri tugas—
berdiri di antara dunia
dan semesta bentukanmu,
kewalahan dan memutuskan
belajar panjang sekali lagi.
3.
Sekali lagi:
kau melepaskan
segala yang berada
di
luar tubuhmu.
“Kau menyalakan lilin
di gelap lubuk
dirimu—
di luar, sudah
tak ada apa-apa
yang patut
disebut cahaya.”
Praya, Februari
2021
Yang
Kau Lihat
dari
Orang-orang Soliter
1.
Kau selalu membayangkan:
tubuhmu bangunan rapuh
di tepi jalanan mati.
Tidak ada siapa pun
di situ. Hanya angin
bebas melintas. Kesepian karib
bagai debu yang bergerak
ke arahmu.
Matamu
kaca jendela: kusam,
dan tidak tersentuh
jemari sesiapa.
Aku menolak
kekurangan kata-kata
tatkala membicarakanmu,
tetapi kemiskinan bahasaku
adalah perihal lain
di luar kuasa—semacam
ruangan gelap
yang tidak kuketahui, sesekali
tidak pernah kumasuki.
2.
“Apakah
kau menyangga
tubuhmu
dengan buku-buku?”
Kau akan terus berdiri
sebagai bangungan yang kubayangkan:
kau akan terus lekat di kepala—
kau akan terus bertempat
dalam ingatanku.
Kau kekal sebagai perihal
yang tidak pernah tuntas
terketahui.
“Kau
buku-buku tebal
yang
ditulis dalam bahasa
yang
tidak kukenali.”
Praya,
Februari 2021
Mencintai
dan Merindukan
Mereka
yang Soliter
1.
Kau:
mendung di kepalaku.
Tiap kata
yang dijatuhkan tubuhmu,
menumbuhkan tunas-tunas baru—
tunas yang tumbuh
kian lambatdan tertatih.
Kepalaku sepetak lahan:
tempat sempit
dan asing dari matahari.
Kau:
lagi-lagi kesementaraan
dan kedatangan yang menolak
dijerat jadwal.
Katakan,
“Bagaimana
cara
menutup
lintasan awan
dari
lengkung cakrawala
tanpa
nama
di
kepalaku ini?”
2.
Aku merasakan:
benda-benda jadi bergerak
lambat; bahasa lesap;
dan di cakrawala,
matahari menyusun kembali
lintasan dengan hati-hati.
Malam seakan-akan
mengirim maklumat
pada gemintang
dan benda-benda langit lainnya,
“Tidak perlu terburu
memasang cahaya
sebagaimana biasanya:
satu makhluk di bumi—
mungkin manusia, mungkin ameba,
atau pula wujud lainnya—
dikehendaki Tuhan
memperlambat gerak hari.”
Segalanya jadi lambat—
sangat lambat,
benar-benar lambat.
“Tetapi,
sudahkah
kau menghitung
berapa
kali matamu berkedip,
hari
ini?”
Praya,
Februari 2021
Ketika
Kau Memutar Lagu-lagu Kesukaan
:
HH
Cuaca Desember—
juga Januari—
lebih kerap mengasingkan
matahari dari matamu.
Cahaya jatuh
hanya serupa jeda: waktu-waktu
tergesamu memanaskan lagi
pakaian di atap rumah
yang sedikit lembap
dan—tentu saja—
dingin.
Kau lebih karib
dengan kasur, bantal, selimut,
dan rencana-rencana kusut:
kau lelap dan terbangun—serasa—
pada hari yang lebih gila.
Tetapi kau
memiliki dunia lain
yang menawarkan pintu—
lewat daftar putar lagu-lagu—
pada ponselmu.
Kau selalu berpikir:
“apa yang bisa diperbaiki
sebuah tangisan”—
selain ingatan-ingatan
yang (jauh) melemparmu
kembali ke masa lalu?
Kau menolak—
tetapi selalu—
gagal terlepas
dari putaran malam
dan siang yang menjenuhkan:
hidupmu bergerak di antara
kangen pada rumah,
tangisan ibu yang akhirnya
lamat tapi pasti
membaui aroma-aroma kembali,
juga tawaran penjemputan
yang cukup melegakan.
“Kau merasa
seluruh tubuhmu
kekosongan semata—
kehampaan semata,
dan tak ada siapa-siapa
di sana.”
Napas
menarik dan megeluarkanmu
dari lintasan waktu—
jalan hidup yang masih
engkau percayai—
“tetapi engkau tetap tak bisa
berbuat apa-apa.”
Kau bersikeras
bergerak dan berlari—
tapi lagi-lagi, dan lagi-lagi—
berhenti dalam jebakan
pertanyaan “mengapa?”
ketika hari-hari berlalu
melintas begitu saja
dalam penantianmu.
Apakah seterusnya,
“You’ll
be waiting
for
the day to pass by,
oh
why?”—
Oh
why?
Yogya,
Desember 2020
Intermeso
(I)
Dari jendela ini, kau melihat
di luar, benda-benda telah bergeser
disertai lebih banyak jeda—
ketika hujan menderas
dan bambu-bambu air
bergerak kanan-kiri
menuruti angin.
Tetapi di kepalamu
jalan-jalan dalam peta
telah banyak ditandai
saat kata dalam percakapan pertama
terkatakan.
Apa yang kau khawatirkan dari malam:
gelap yang memunculkan banyak
pertanyaan;
dingin yang merangkak pelan tapi dalam;
atau satu bayangan dari masa silam
membawa jerit dan sekian luka kenangan?
Rabalah jari-jarimu sendiri,
dengarkan derit-derit sendi
yang lekat dan berpasangan,
lalu baca juga ke mana arah menarik kita
pada telapak tangan masing-masing—
tempat Tuhan telah mengguratkan
sekian garis suratan.
Malam ini
tidak ada bintang-bintang
bagimu dan bagiku:
kau dan aku mungkin berpikir
jalan pulang telah dihapus
dengan sendirinya oleh peta—
tetapi pelan-pelan kita sadari
adakah sebenarnya
malam ini kita membutuhkan
semacam kata pulang
bagi akhir percakapan?
Kedai
Donqui, Desember 2020
Intermeso
(II)
Engkau
tak membutuhkan tidur
malam ini.
Masa lampau
telah menciptakan ruang
kesepian bagimu.
Tak ada lagi bangunan,
jalan-jalan basah lepas gerimis,
atau igau pengelana
yang terperangkap di emperan
toko-toko tua.
Engkau
hanya berandai
dan berandai:
kegembiraan mendekapmu,
menyediakan selimut
ketika suara lambung
merayapi dingin
dinding waktu.
Tidak juga
orang-orang yang engkau
cintai: mereka
telah menarik diri
dari tubuhmu
jauh sebelum bait pertama
puisi ini dituliskan.
Engkau
tak membutuhkan tidur
malam ini,
sebab ketakutan
pada masa depan
seakan-akan menghapus ruang
bagi daftar panjang
rencana-rencana
tergesamu.
Yogya,
Desember 2020
Intermeso
(III)
Telah kubiarkan
setiap yang lepas,
tiap yang bergerak, dalam kata
dan bahasa tatapanmu
mencari sendiri-sendiri
ruang semulanya
dalam tubuhku.
“Bukankah dalam penciptaan
Tuhan telah sengaja
mematahkan bagian
paling terpencil
dari rangka-rangkaku:
rangka yang luput
diberi nama?”
Kau menciptakan jalan
bagi perjalananmu
sendiri: bukan udara
dan laut arah datangmu,
tetapi tanah yang hampir beku
dan api yang tiba-tiba tercipta
di antara dua
pangkal paha.
Di tubuhku
kau tak menemukan apa-apa lagi
selain tempat yang menua
dan telah terbata-bata
mengenali dirimu
sekali lagi.
Yogya,
Desember 2020
Sebelum
Seluruhnya Berakhir
: Ipek,
Snow
Biarkan kuhitung sisa degup jantung
seperti orang-orang Kars yang nelangsa
melepas bahagia, lantaran tahu
sedih telah direncanakan
sesudahnya.
Keraguan mengepung jauh-jauh hari
dan kita nekat menentang nasib:
kita adalah sepasang pohon poplar
menggigil di musim salju,
cinta yang mengeras serupa batu,
nafsu yang memusingkan bagai raki.
Akan kulepaskan jemarimu
pada peralihan musim:
jalan-jalan perbatasan akan dibuka
samar, dan tidak seorang pun menyadari.
Perpisahan cukup dirayakan dalam wajar,
nihil upacara dan air mata.
Mendekatlah terakhir kali
ke stasiun dengan rel-rel
lurus dan berkarat.
Kita menimbang
yang sempat direncanakan:
sejauh mana napas kita
pula sebenarnya
satu dan padu?
Yogya,
2019—2020
Membuka
Jalan Baru
: HH
Sipit matamu:
gerbang yang mengimpit
tubuhku pada mula
perjalanan jauh—liku
dan curam jalan
tergelar panjang
ke arahmu.
“Tetapi kau
melengkungkan bibir, di antara
perpindahan mendung
dan basah pertama
di lentang jalanan.”
Aku mencintaimu,
tetapi di sini, dalam dunia
yang terbangun di tubuhku,
waktu melambat
dan udara beku—
selalu.
Kau bergerak ke jalan lalu,
sementara aku belajar membaca
peta buta di susut waktu.
Hanya senyap yang kukandung,
hanya gelap yang kau hitung—
pada penghabisan
percakapan itu, jalan baru
telah kau buka lagi: tetapi hanya
jalan lengang tanpa bangunan
tempat berumah
dan berbenah.
Yogya,
7 Desember 2020
[1] tiga bait terakhir
puisi “Twilight” karya Louise Glűck.
Tentang Penulis
Rabbani, lahir
di Lombok Tengah, 9 September 1996. Menulis puisi dan resensi. Hingga kini, aktif
mengelola kelompok belajar sastra Jejak Imaji di Yogyakarta. Sempat juga
terlibat dalam pengelolaan antologi Rumah Penyair dan Forum Apresiasi Sastra
(FAS) LSBO PP Muhammadiyah di Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Tahun 2016,
terpilih mengikuti program Sekolah Menulis yang diselenggarakan oleh Balai
Bahasa D.I. Yogyakarta (BBY). Alumnus prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia UAD, dan kini studi di Magister Sastra, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada (UGM). Perihal
Sastra & Tangkapan Mata (Jejak Pustaka, 2021) adalah buku esai
tunggalnya yang telah terbit. WhatsApp: +6281226772044 dan E-mail: ilhamrabbani505@gmail.com.