Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Puisi

Puisi Ilham Rabbani

Admin by Admin
11 Juli 2021
0
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter


Soliter
(I)

 

1.

Kau membangun gedung-gedung,

kafe, rumah makan 24 jam,

di atas tubuh sendiri:

tanah sengketa

antara keinginan-keinginan

dan pemenuhan yang serba

terbatas.

 

Kau ingin

segalanya jadi tampak

lebih nyata: kau adalah kurir,

juru masak, petugas parkir,

dan pekerja laundry—

pelaku seluruh profesi—

dalam dunia kemungkinan

yang sengaja

kau ciptakan.

 

2.

Kau berjalan

di antara lowongan pekerjaan baru

dan kekhawatiran pada suara-suara

sumbang dan asing.

 

3.

Di ruangan itu,

kau sibuk menghitung panjang

bekas jahitan luka

yang tercipta tiap kali

nama-nama lama

menghubungimu kembali.

 

Praya,
Januari 2021



 


Soliter
(II)

 

“I
open my fingers—

I let
everything go.

 

Visual
world, language,

rustling
of leaves in the night,

smell
of high grass, of woodsmoke.

 

I let
it go, then I light the candle.”
[1]

 

1.

Kau melepaskan

segala yang berada

di luar tubuhmu:

dunia terlalu menjenuhkan

lantaran sejarah berulang—

mereka yang menang

akan mencipta sejarah sendiri

setelah perang usai.

 

Setiap jalan

yang kau lewati,

menyisakan daun kering

dan bau rerumputan

yang dilupakan.

 

Kau membayangkan

waktu adalah kayu

yang terbakar

oleh bahasa yang tidak

menemukan titik temu.

 

2.

Tanah air pertama

adalah bahasa:

maka kau ajari kata-kata

pada tiap yang bisa

diajak bercengkerama

di lubuk dirimu.

 

Kau mencoba

menghindar dari invasi—

perbincangan perihal materi

yang kerap sedemikian barbar.

 

Tetapi penerjemah tanpa nama—

yang kau beri tugas—

berdiri di antara dunia

dan semesta bentukanmu,

kewalahan dan memutuskan

belajar panjang sekali lagi.

 

3.

Sekali lagi:

kau melepaskan

segala yang berada

di
luar tubuhmu.

 

“Kau menyalakan lilin

di gelap lubuk
dirimu—

di luar, sudah
tak ada apa-apa

yang patut
disebut cahaya
.”

 

Praya, Februari
2021



 


Yang
Kau Lihat
dari
Orang-orang Soliter

 

1.

Kau selalu membayangkan:

tubuhmu bangunan rapuh

di tepi jalanan mati.

 

Tidak ada siapa pun

di situ. Hanya angin

bebas melintas. Kesepian karib

bagai debu yang bergerak

ke arahmu.

 

Matamu

kaca jendela: kusam,

dan tidak tersentuh

jemari sesiapa.

 

Aku menolak

kekurangan kata-kata

tatkala membicarakanmu,

tetapi kemiskinan bahasaku

adalah perihal lain

di luar kuasa—semacam

ruangan gelap

yang tidak kuketahui, sesekali

tidak pernah kumasuki.

 

2.

“Apakah
kau menyangga

tubuhmu
dengan buku-buku?
”

 

Kau akan terus berdiri

sebagai bangungan yang kubayangkan:

kau akan terus lekat di kepala—

kau akan terus bertempat

dalam ingatanku.

 

Kau kekal sebagai perihal

yang tidak pernah tuntas

terketahui.

 

“Kau
buku-buku tebal

yang
ditulis dalam bahasa

yang
tidak kukenali.”

 

Praya,
Februari 2021



 


Mencintai
dan Merindukan
Mereka
yang Soliter

 

1.

Kau:

mendung di kepalaku.

 

Tiap kata

yang dijatuhkan tubuhmu,

menumbuhkan tunas-tunas baru—

tunas yang tumbuh

kian lambatdan tertatih.

 

Kepalaku sepetak lahan:

tempat sempit

dan asing dari matahari.

 

Kau:

lagi-lagi kesementaraan

dan kedatangan yang menolak

dijerat jadwal.

 

Katakan,

“Bagaimana
cara

menutup
lintasan awan

dari
lengkung cakrawala

tanpa
nama

di
kepalaku ini?”

 

2.

Aku merasakan:

benda-benda jadi bergerak

lambat; bahasa lesap;

dan di cakrawala,

matahari menyusun kembali

lintasan dengan hati-hati.

 

Malam seakan-akan

mengirim maklumat

pada gemintang

dan benda-benda langit lainnya,

“Tidak perlu terburu

memasang cahaya

sebagaimana biasanya:

satu makhluk di bumi—

mungkin manusia, mungkin ameba,

atau pula wujud lainnya—

dikehendaki Tuhan

memperlambat gerak hari.”

 

Segalanya jadi lambat—

sangat lambat,

benar-benar lambat.

 

“Tetapi,

sudahkah
kau menghitung

berapa
kali matamu berkedip,

hari
ini?
”

 

Praya,
Februari 2021



 


Ketika
Kau Memutar Lagu-lagu  Kesukaan

:
HH

 

Cuaca Desember—

juga Januari—

lebih kerap mengasingkan

matahari dari matamu.

Cahaya jatuh

hanya serupa jeda: waktu-waktu

tergesamu memanaskan lagi

pakaian di atap rumah

yang sedikit lembap

dan—tentu saja—

dingin.

 

Kau lebih karib

dengan kasur, bantal, selimut,

dan rencana-rencana kusut:

kau lelap dan terbangun—serasa—

pada hari yang lebih gila.

Tetapi kau

memiliki dunia lain

yang menawarkan pintu—

lewat daftar putar lagu-lagu—

pada ponselmu.

 

Kau selalu berpikir:

“apa yang bisa diperbaiki

sebuah tangisan”—

selain ingatan-ingatan

yang (jauh) melemparmu

kembali ke masa lalu?

 

Kau menolak—

tetapi selalu—

gagal terlepas

dari putaran malam

dan siang yang menjenuhkan:

hidupmu bergerak di antara

kangen pada rumah,

tangisan ibu yang akhirnya

lamat tapi pasti

membaui aroma-aroma kembali,

juga tawaran penjemputan

yang cukup melegakan.

 

“Kau merasa

seluruh tubuhmu

kekosongan semata—

kehampaan semata,

dan tak ada siapa-siapa

di sana.”

 

Napas

menarik dan megeluarkanmu

dari lintasan waktu—

jalan hidup yang masih

engkau percayai—

“tetapi engkau tetap tak bisa

berbuat apa-apa.”

 

Kau bersikeras

bergerak dan berlari—

tapi lagi-lagi, dan lagi-lagi—

berhenti dalam jebakan

pertanyaan “mengapa?”

ketika hari-hari berlalu

melintas begitu saja

dalam penantianmu.

 

Apakah seterusnya,

“You’ll
be waiting

for
the day to pass by,

oh
why?
”—

Oh
why?

 

Yogya,
Desember 2020



 


Intermeso
(I)

 

Dari jendela ini, kau melihat

di luar, benda-benda telah bergeser

disertai lebih banyak jeda—

ketika hujan menderas

dan bambu-bambu air

bergerak kanan-kiri

menuruti angin.

 

Tetapi di kepalamu

jalan-jalan dalam peta

telah banyak ditandai

saat kata dalam percakapan pertama

terkatakan.

 

Apa yang kau khawatirkan dari malam:

gelap yang memunculkan banyak
pertanyaan;

dingin yang merangkak pelan tapi dalam;

atau satu bayangan dari masa silam

membawa jerit dan sekian luka kenangan?

 

Rabalah jari-jarimu sendiri,

dengarkan derit-derit sendi

yang lekat dan berpasangan,

lalu baca juga ke mana arah menarik kita

pada telapak tangan masing-masing—

tempat Tuhan telah mengguratkan

sekian garis suratan.

 

Malam ini

tidak ada bintang-bintang

bagimu dan bagiku:

kau dan aku mungkin berpikir

jalan pulang telah dihapus

dengan sendirinya oleh peta—

tetapi pelan-pelan kita sadari

adakah sebenarnya

malam ini kita membutuhkan

semacam kata pulang

bagi akhir percakapan?

 

Kedai
Donqui, Desember 2020



 


Intermeso
(II)

 

Engkau

tak membutuhkan tidur

malam ini.

 

Masa lampau

telah menciptakan ruang

kesepian bagimu.

 

Tak ada lagi bangunan,

jalan-jalan basah lepas gerimis,

atau igau pengelana

yang terperangkap di emperan

toko-toko tua.

 

Engkau

hanya berandai

dan berandai:

kegembiraan mendekapmu,

menyediakan selimut

ketika suara lambung

merayapi dingin

dinding waktu.

 

Tidak juga

orang-orang yang engkau

cintai: mereka

telah menarik diri

dari tubuhmu

jauh sebelum bait pertama

puisi ini dituliskan.

 

Engkau

tak membutuhkan tidur

malam ini,

sebab ketakutan

pada masa depan

seakan-akan menghapus ruang

bagi daftar panjang

rencana-rencana

tergesamu.

 

Yogya,
Desember 2020



 


Intermeso
(III)

 

Telah kubiarkan

setiap yang lepas,

tiap yang bergerak, dalam kata

dan bahasa tatapanmu

mencari sendiri-sendiri

ruang semulanya

dalam tubuhku.

 

“Bukankah dalam penciptaan

Tuhan telah sengaja

mematahkan bagian

paling terpencil

dari rangka-rangkaku:

rangka yang luput

diberi nama?”

 

Kau menciptakan jalan

bagi perjalananmu

sendiri: bukan udara

dan laut arah datangmu,

tetapi tanah yang hampir beku

dan api yang tiba-tiba tercipta

di antara dua

pangkal paha.

 

Di tubuhku

kau tak menemukan apa-apa lagi

selain tempat yang menua

dan telah terbata-bata

mengenali dirimu

sekali lagi.

 

Yogya,
Desember 2020



 


Sebelum
Seluruhnya Berakhir

: Ipek,
Snow

 

Biarkan kuhitung sisa degup jantung

seperti orang-orang Kars yang nelangsa

melepas bahagia, lantaran tahu

sedih telah direncanakan

sesudahnya.

 

Keraguan mengepung jauh-jauh hari

dan kita nekat menentang nasib:

kita adalah sepasang pohon poplar

menggigil di musim salju,

cinta yang mengeras serupa batu,

nafsu yang memusingkan bagai raki.

 

Akan kulepaskan jemarimu

pada peralihan musim:

jalan-jalan perbatasan akan dibuka

samar, dan tidak seorang pun menyadari.

Perpisahan cukup dirayakan dalam wajar,

nihil upacara dan air mata.

 

Mendekatlah terakhir kali

ke stasiun dengan rel-rel

lurus dan berkarat.

Kita menimbang

yang sempat direncanakan:

sejauh mana napas kita

pula sebenarnya

satu dan padu?

 

Yogya,
2019—2020



 


Membuka
Jalan Baru

: HH

 

Sipit matamu:

gerbang yang mengimpit

tubuhku pada mula

perjalanan jauh—liku

dan curam jalan

tergelar panjang

ke arahmu.

 

“Tetapi kau

melengkungkan bibir, di antara

perpindahan mendung

dan basah pertama

di lentang jalanan.”

 

Aku mencintaimu,

tetapi di sini, dalam dunia

yang terbangun di tubuhku,

waktu melambat

dan udara beku—

selalu.

 

Kau bergerak ke jalan lalu,

sementara aku belajar membaca

peta buta di susut waktu.

 

Hanya senyap yang kukandung,

hanya gelap yang kau hitung—

pada penghabisan

percakapan itu, jalan baru

telah kau buka lagi: tetapi hanya

jalan lengang tanpa bangunan

tempat berumah

dan berbenah.

 

Yogya,
7 Desember 2020



Note:


[1] tiga bait terakhir
puisi “Twilight” karya Louise Glűck.




Tentang Penulis

Ilham
Rabbani,
lahir
di Lombok Tengah, 9 September 1996. Menulis puisi dan resensi. Hingga kini, aktif
mengelola kelompok belajar sastra Jejak Imaji di Yogyakarta. Sempat juga
terlibat dalam pengelolaan antologi Rumah Penyair dan Forum Apresiasi Sastra
(FAS) LSBO PP Muhammadiyah di Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Tahun 2016,
terpilih mengikuti program Sekolah Menulis yang diselenggarakan oleh Balai
Bahasa D.I. Yogyakarta (BBY). Alumnus prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia UAD, dan kini studi di Magister Sastra, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada (UGM). Perihal
Sastra & Tangkapan Mata
(Jejak Pustaka, 2021) adalah buku esai
tunggalnya yang telah terbit. 
WhatsApp: +6281226772044 dan E-mail:  ilhamrabbani505@gmail.com.

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In