Misteri (Penjaga) Asrama dan Cakrawala Terbuka Novela
Ogawa[1]
Identitas Buku
Judul : Asrama
Penulis : Yoko Ogawa
Penerjemah : Bagus Dwi Hananto
Penerbit : Basabasi
Cetakan : Pertama, Januari 2021
Ketebalan : 68 halaman
ISBN : 978-623-305-170-5
Apakah sebenarnya yang membuat seseorang
betah-bertahan selama berjam-jam—bahkan terkadang mampu mengisi waktu seharian
penuh—di hadapan sebuah cerita yang dibangun karya sastra, prosa secara
khususnya? Ketika membicarakan aktivitas demikian dalam konteks “murni” sebagai
sebuah kenikmatan, artinya terbebas dari beban kerja semacam penelitian atau
tugas-tugas perkuliahan, maka jawaban barangkali didapatkan lewat keterlibatan
pribadi dalam aktivitas yang serupa. Kau,
harus menyukainya pula terlebih dahulu: seperti tuturan seorang cendekiawan,
lebih baik kuulurkan cabai untuk kau kunyah, daripada harus menguraikan secara
lebar dan panjang bagaimanakah rasa yang disebut pedas. Ringkasnya,
kepenuhan pengetahuan, hanya kita dapatkan setelah keterlibatan yang sungguh-sungguh.
Ya, memang kita pun mafhum, tatkala pertanyaan
demikian dilemparkan pada mereka yang berlabel “ahli sastra”, penanya tentu
akan digiring ke ranah jawaban praktis sekaligus teoretis. Apa, misalnya?
Sebutlah fondasi dasar dalam memahami sastra, sebaris “diktum” yang universal: dulce et utile (nikmat dan bermanfaat) dari Quintus Horatius Flaccus, atau
yang lebih masyhur sebagai Horace.[2]
Sastra sebagai teks, yang kita masuki lewat aktivitas membaca, hadir sebagai
pemberi kenikmatan berupa hiburan dan rasa senang, sekaligus di luar dirinya,
ia membicarakan berbagai aspek kehidupan yang menunjang atau memengaruhi cara
berpikir, bersikap, berperasaan, dan bertindak para pembaca—setidaknya, ia
mampu menggeser atau memberi alternatif cara pandang yang baru.[3]
Khususnya prosa, telah menjadi rahasia umum di jagat
sastra, bahwa koherensi dan kohesi (kepaduan) antarstruktur cerita—yang
membentuk totalitas—merupakan faktor penentu keberhasilan sebuah karya. Akan
tetapi, jika dapat dikatakan, di samping kesatupaduan struktur-struktur tersebut,
secara spesifik elemen alur dan gaya penceritaan dapat dikatakan memegang
peranan signifikan. Eksplorasi lihai dari sang pengarang terhadap elemen inilah
yang biasanya “menjerat” pembaca untuk tetap bertahan dan berlama-lama di
hadapan cerita.
Sebagai contoh, novela tipis karya pengarang Jepang,
Yoko Ogawa, dapat dikatakan masuk dalam kategori terakhir ini: di Indonesia, karya
tersebut diberi judul Asrama, dan
diterbitkan oleh Penerbit Basabasi pada pembuka 2021 silam. Ogawa sendiri telah
menerbitkan lebih dari lima puluh judul karya, baik fiksi maupun nonfiksi,
serta memenangkan penghargaan sastra prestisius: Akutagawa Prize (1990); Izumi
Kyōka Prize (2004); Tanizaki Prize (2006); American Book Award (2020); dll.
Menyusuri Narasi-narasi Asrama
Cerita dibuka dengan kerinduan tokoh-aku pada asrama
yang pernah ia tinggali semasa menjalani studi, kurang lebih enam tahun silam.
Ia seorang perempuan yang tengah menunggu kemapanan suaminya yang bekerja di
Swedia, sebagai pekerja pembangunan pipa minyak bawah laut. Jika target kemapanan
itu telah tercapai, ia bakal lekas menyusul. Kerinduan sang-tokoh didukung
situasi adik sepupunya, seorang yatim yang membutuhkan tempat tinggal saat akan
melanjutkan kuliah di Tokyo, bulan April mendatang. Ia kemudian mengisi
masa-masa penantian itu, salah satunya dengan membantu persiapan kuliah sang
sepupu, termasuk persiapan tinggal di bekas asramanya.
Tempat itu menjadi pilihan lantaran situasi
perekonomian, terlebih asrama tersebut adalah asrama yang dikelola dengan baik
secara pribadi (bukan oleh perusahaan atau koperasi), dan dengan biaya sewa
yang cukup terjangkau. Hal itu tentu dibarengi dengan beberapa catatan tentang
kekurangannya, seperti kamar yang telah tua dan berukuran kecil, serta letaknya
yang cukup berjarak dari stasiun.
Sang-tokoh pun mengontak pengelola asrama (Kanrinin), tetapi dalam perbincangan
yang selintas via telepon itu, seakan terdengar keraguan Kanrinin untuk membuka asrama kembali, sebab ada hal aneh yang
menurutnya sulit terjelaskan—yang terjadi sekepergian tokoh-aku, sehingga
efeknya adalah sedikitnya para penyewa yang datang, bahkan dapat dikatakan lebih
banyak kamar menganggur. Penjaga juga
menjelaskan, bahwa saat ini, di asrama tersebut tak disediakan lagi juru masak
sebagaimana dahulu—asrama itu, menuju ambang kehancuran di mata Kanrinin.
Pernyataan-pernyataan Kanrinin dan misteri yang terselip di sebaliknya, memunculkan tanya
di kepala tokoh-aku. Di samping itu, tokoh-aku juga melihat Kanrinin adalah kemisteriusan itu
sendiri: “Aku tak begitu yakin orang
seperti apa dia itu, … Dia semacam orang misterius. Dia kelola itu asrama,
tetapi selebihnya aku tak tahu. … Ia tinggal sendiri, dan sepertinya tak
berkeluarga. Aku tak pernah melihat foto kerabatnya, dan aku tak ingat pernah
ada orang mengunjunginya. … Ia tak berhubungan dengan siapa pun dan sepertinya
tak terikat dengan tempat mana pun.” (hlm. 18–19). Secara fisik, Kanrinin pun dinarasikan sebagai sosok
yang kehilangan satu kaki beserta kedua tangannya, karena sebab yang tidak dijelaskan.
Jika digarisbesarkan, alur dari novela ini meliputi:
ingatan tokoh-aku pada masa lalunya, kedatangan sang sepupu yang akan menempati
asrama, dan yang seterusnya adalah pertemuan (kembali) dengan Kanrinin yang menghabiskan hampir
separuh porsi dari keseluruhan novela. Cerita bergerak dengan latar utama di
asrama yang telah tua, dan tetap dijaga oleh Kanrinin. Sejauh menikmati lembar demi lembar novela, pembaca akan
disuguhkan olahan miseteri ala Ogawa, dengan bumbu narasi bermetafor menawan
yang konsisten, serta riak-riak kecil di permukaan bagi konflik yang sebenarnya
berarus deras di kedalaman: tokoh Kanrinin
dengan segenap keganjilannya adalah pusar dari konflik yang disiratkan.
Sebagai contoh penarasian yang menawan dalam novela
ini: “Musim semi berawan tahun itu,
seolah langit tertutup selembar kaca beku yang dingin.
Segalanya—jungkat-jungkit di taman, petak kembang berbentuk jam di depan
stasiun, sepeda-sepeda di garasi—ditabiri sinar kelam nan redup, dan kota itu
seperti tidak mampu mengempaskan sisa-sisa musim dingin yang masih menempel.”
(hlm. 11–12); atau “… Rimbun gulma
mencuat di halaman, dan seseorang meninggalkan helm di keranjang sepeda. Ketika
angin berembus, rerumputan seakan-akan berbisik.” (hlm. 24).
Misteri Kanrinin dan Cakrawala Terbuka
Setidaknya bagi Stanton, alur adalah tulang punggung
bagi cerita, yang sebagaimana elemen-elemen lain, memiliki hukum-hukumnya
sendiri: hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata;
meyakinkan dan logis; dapat menciptakan bermacam kejutan; dan memunculkan
sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan. Alur mengalir karena mampu
merangsang berbagai pertanyaan dalam benak pembaca—terkait keingintahuan,
harapan, atau rasa takut. Pertanyaan yang kerap muncul dalam benak pembaca
ialah, “Apa yang kira-kira bakal terjadi selanjutnya?”[4]
Melihat Asrama
dengan bertolak dari pandangan Stanton tersebut, maka novela ini bisa dikatakan
tak begitu banyak menyajikan konflik antartokoh secara tersurat (eksplisit),
namun justru seakan-akan menciptakan banyak “kecamuk” di kepala pembaca: sedari
mula menghadirkan banyak ruang terbuka, serta memunculkan pertanyaan dan
menciptakan berbagai asumsi perihal identitas sebenarnya dari Kanrinin, lantaran hanya dirinyalah yang
lantas bertahan di ambang kehancuran asrama tersebut. Di antara konflik yang
dapat dicerap secara jelas, sekaligus menjadi clue bagi konflik-konflik lainnya yang tersembunyi, ialah kasus
menghilangnya salah seorang penyewa asrama. Karena konflik tersebut pula,
secara berangsur batas-batas antara yang realis dengan yang magis dalam
penarasian novela ini menjadi kabur: itulah yang makin menuntun pembaca untuk
betah mengikuti Asrama hingga
pemungkasnya—pembaca serupa seorang
pencari kunci bagi sebuah “gembok misteri”.
Andai dirangkum dari awal sampai akhir, pertanyaan-pertanyaan
yang dimunculkan novela ini, antara lain: apa sesungguhnya pertautan antara
bercak di langit-langit kamar, lebah yang kerap muncul sedari awal, tokoh Kanrinin, dan penyewa yang diberitakan
menghilang?; Apakah madu, atau justru darahlah yang sebenarnya terus menetes
dari langit-langit kamar Kanrinin?;
Mengapa Kanrinin paham benar detail
otot sepupu tokoh-aku, dan seperti begitu berhasrat pada tangan kiri penyewa
asrama yang menghilang?; Apakah penyewa yang menghilang—yang begitu gemar pada
rumus-rumus Matematika—dan sepupu tokoh-aku yang tak pernah muncul kembali,
jangan-jangan terbunuh oleh lebah yang memiliki pertautan dengan
keganjilan-keganjilan tokoh Kanrinin—lebih-lebih
dugaan itu diperkuat dengan tipe cerita yang mengambang antara realis dengan
magis pada lembar-lembar terakhir?; Apa pula penyebab tubuh Kanrinin menjadi ringan (menyusut?) dan
tak terbangun lagi di ending cerita? Sekali
lagi, rentetan pertanyaan tersebut, yang bertahan hingga akhir novela, layaknya
ruang-ruang tanya yang sengaja dibiarkan terbuka, dan menuntut berbagai terkaan
dari para pembaca. Lebih-lebih, didukung dengan pilihan sudut pandang (point of view) orang pertama terbatas,
sehingga pembaca bisa memosisikan diri pula sebagai tokoh-aku yang langsung
berhadapan dengan “teka-teki” konflik.
Inilah yang bisa kita sebut sebagai peran signifikan
alur—termasuk konflik di dalamnya—dan gaya penceritaan sebagaimana telah
disitir. Sibakan misteri, alur yang serasa diulur-ulur, yang sekaligus dikemas
dengan gaya narasi menawan, seakan-akan berhasil memenjarakan pembaca untuk
tetap bertahan dalam debar penantian, “Apa sebenarnya yang disembunyikan novela
ini, secara khusus, di bagian penghujungnya?”
Barangkali, keterbukaan ending bagi sebagian penikmat
prosa, adalah “luka” terbuka yang mesti ditambal dengan kejelasan. Akan tetapi,
sebagian pembaca mungkin juga memandangnya sebagai suatu berkat: dengan
demikian, ketika keterbukaan eksis, maka—dalam terma Wolfgang Iser—respons estetik
atas karya terkait dimungkinkan ada, tentunya dengan peluang lebih besar.
Artinya, karya ini berpotensi menciptakan kutub estetik atau realisasi dari
pembaca berikutnya.
Kendati menyajikan dunia yang ringkas, dan dapat
dibaca tuntas dalam “beberapa tarikan napas”, novela ini justru mampu
menciptakan dunia “belakang layar” yang sungguh luas: tafsiran-tafsiran apa
yang bakal terjadi setelah pemungkas cerita, yang terjadi dalam semesta
kata-kata (sastra), bakal bergantung seberapa jembar horizon pengetahuan para
pembaca yang telah memilih untuk menikmatinya dengan kesungguhan. Demikianlah
setidaknya.
Tentang Penulis
Ilham
Rabbani, lahir
di Lombok Tengah, 9 September 1996. Hingga kini, aktif mengelola komunitas Jejak Imaji di Yogyakarta. Studi di Magister Sastra, Universitas Gadjah Mada. Perihal Sastra & Tangkapan Mata (Jejak
Pustaka, 2021) adalah buku esai tunggalnya. Dapat dihubungi via surel ilhamrabbani505@gmail.com.
[1] Catatan
ini adalah hasil diskusi penulis bersama Hatindriya Hangganararas (alumnus
Sastra Jepang, Universitas Jenderal Soedirman).
[2] lihat
Teeuw, Andreas. 2015. Sastra dan Ilmu
Sastra. Bandung: Pustaka Jaya, hlm. 41.
[3] lihat
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, hlm. 433.
[4] lihat
Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi Robert
Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
hlm. 28.