Aku,
Hujan, dan Genangannya
Jika
Sapardi mengatakan “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni” maka bagiku
November adalah bulan perayaan hujan paling ramai sekaligus mengharukan. Karena
November adalah bulannya hujan, November
rain. Segala muasal tentang hujan
dimulai dari sini, yang menderas dari linangan meninggalkan kenangan, dari
kenangan menyisakan genangan.
Hujan
pernah mempertemukanku dengan seorang lelaki brengsek yang mengaku filsuf. Sialnya,
aku percaya dan mencintainya begitu saja, dia juga mencintaiku. Tapi Setelah
perasaan itu selesai, aku berpisah dengannya, tanpa aba-aba, tanpa kata-kata,
tanpa meninggalkan jeda. Setelah perpisahan yang begitu menyakitkan, kini
tiba-tiba saja dia meneleponku dan mengajakku untuk bertemu.
Entah
angin apa yang membuatnya seperti itu. Aku tak tahu apakah otaknya sedang
baik-baik saja, setelah semua kejahatan yang dia lakukan kepadaku. Kini dengan
gagah berani dan begitu percaya diri dia mengajakku untuk bertemu, bahkan dia
mengajakku bertemu di tempat yang pernah menjadi saksi bisu kisah cinta kami
berdua; Warung Makan ABG 99.
Semenjak
ia memaksaku menghapus segala ingatan dan kenangan tentangnya dulu, maka sejak
saat itulah aku bersumpah untuk menyudahi segala pertemuan dengannya. Dan aku
rasa aku berhasil melakukan itu. Jika mau dihitung, mungkin sangat lama sekali
kami sudah tidak pernah bertemu. Setelah KKN yang tak meninggalkan bekas
apa-apa itu, dan kemudian kami baru bertemu lagi hanya sekilas dalam satu
ruangan saat tes CPNS berlangsung, dan aku tahu, kami sama-sama tidak lulus di
Tes Wawasan Kebangsaan, dan saling tak acuh satu sama lain.
Setelah
itu kami tidak bertemu lagi. Kami berdua hening kembali, tak ada kata-kata
sapaan yang khas dia berikan tiap pagi, tak ada kata-kata mesra yang
sering disisipkan, tak ada kata-kata
motivasi hijrah yang selalu dia kirimkan padaku via whatsapp, tiap aku bangun dan menjelang tidur. Sudah tidak ada
lagi, itu semua tinggal kenangan.
Tapi
kali ini lain, dia menelpon dan
mengajakku bertemu ketika aku sudah belajar melupakannya. Apakah dia tahu, tak
ada yang lebih menyakitkan selain melupakan sesuatu yang benar-benar dicintai.
.
Di luar hujan, setelah menutup telepon darinya. Aku tergugu, tercekat,
segalanya yang dulu kupendam dalam ingatan tumpah. Air mataku merembes,
menderas, netes ke mi instan yang
sedang kumakan sore ini. Aku terngiang kembali suaranya yang tiba-tiba meminta
ingin bertemu. Aku langsung keluar rumah, memulai percakapan dengan hujan; entah mengapa perasaan ini begitu melelahkan
dan menyakitkan.
Aku
masuk ke dalam hujan. Hujan-hujanan di luar
sambil menangis. Apa benar jika kandungan air di dalam hujan itu hanya satu
persen saja, sisanya adalah kenangan, nyatanya tubuhku kuyup dan menggigil
seperti rindu telah sampai ke ujung kematiannya. Menangis dalam hujan adalah
sebuah trik yang kudapatkan waktu berkelahi dengan teman saat kecil. Hujan-hujanan
sebagai kamuflase saja untuk tak
ketahuan ketika aku sedang menangis, untuk menutupi kesedihan dan kekalahan.
Kata
ibu, air hujan itu mengandung obat, sedangkan bagi penyair hujan digunakan sebagai inspirasinya membuat puisi, meskipun
saat hujan mereka melipir dan memilih berteduh di emper toko, atau memakai jas
hujan. Mengaku penyair hujan, yang puisi-puisinya menceritakan tentang hujan,
tapi saat hujan lebat turun, mereka memilih untuk berteduh. Sedangkan aku menangis
di dalam hujan, menangisi perasaanku sendiri dan menangisi seorang lelaki yang
sedang kucoba untuk melupakannya, tapi hatiku ingin terus menggenggamnya.
Lelaki yang kemudian kembali mengajaku bertemu, dan tololnya aku
menyanggupinya. Apakah cinta setolol ini?
***
Hari
yang dijanjikan tiba. Jika Sapardi mengatakan “tak ada yang lebih tabah dari
hujan bulan Juni” maka bagiku November
adalah bulan perayaan hujan paling ramai sekaligus mengharukan. Segala muasal
tentang hujan dimulai dari sini, yang menderas dari linangan meninggalkan
kenangan, dari kenangan menyisakan genangan.
Kami akhirnya bertemu, setelah sekian lama aku
belajar untuk melupakannya, tapi tetap saja tak bisa. Dan sekarang aku
bersamanya di warung makan, kami memilih meja yang dekat sawah. Meja favorit kami
dulu saat hubungan kami masih menyenangkan. Dia memesan makanan, ayam goreng
kriuk sambal bawang, menu kesukaanku. Padahal aku tahu dia paling suka makan di
sorjem-nya Bu Pardi (ngisor jembatan)[1].
Tapi hari ini dia mungkin ingin mengatakan sesuatu yang penting, maka memesan
menu spesial untukku adalah sebuah pilihan yang tepat.
“Kamu
apa kabar? Lama tak bersua” dia membuka percakapan seperti biasa, basa-basi
yang terlalu basi, ditambah dengan raut muka yang tak pernah berubah. Sumringah
dan ndesa, tapi wajah itulah yang
menjadi salah satu alasan untuk membuatku berkali-kali mencintainya. Betapa
mencintai semenyebalkan ini.
Aku
tidak menjawab pertanyaannya. Hanya diam seperti sedang terkena penyakit gusi
bengkak, sambil diam-diam terus menahan air mata yang selama ini aku simpan
sendiri di lubuk ingatan. Aku mencoba dingin kepadanya. Tapi sekali lagi itu
sia-sia, aku tak bisa. Ada sedikit air mata yang merembes dari mata sebelah kiriku, menuju
pipi turun ke dagu, dan aku pura-pura kelilipan. Kutarik napas panjang sebelum memulai kalimat
pertama.
“Kamu
tiba-tiba menghilang meninggalkanku dan sekarang dengan enteng meminta bertemu,
kamu kira aku ini apa?” Dia terkesiap, diam, wajahnya yang agak bodoh dan lucu
berubah menjadi wajah lelaki kikuk yang ketahuan habis nyolong ayam.
“Aku
tak pernah meninggalkanmu, kamu saja yang tak tahan untuk menunggu,” katanya
sambil memalingkan wajah ke lantai, seperti sedang mencari uang receh yang jatuh. Mendengar kata-kata itu,
ingin sekali kugampar mulutnya biar sedikit mencicipi rasa sakit ditinggalkan
dan dicampakkan tanpa kabar. Tapi niat yang sudah bulat itu kuurungkan, melihat
wajahnya yang kuyu itu aku tak tega, tak sampai hati aku melakukannya.
Betapapun
marahnya seorang perempuan yang selalu disakiti, pasti ada saja pintu maaf yang
terbuka untuk lelaki yang paling dicintainya. Apakah hanya aku saja yang
melakukan hal seperti itu, seorang perempuan yang paling perasa sekaligus
rapuh? atau apakah ini bentuk lain dari filsafat kebodohan? Ah entahlah.
“Herlin,
aku ke sini ingin meminta maaf baik-baik perihal ketakjelasan hubungan kita
selama ini. Bukankah kamu juga sibuk dengan cita-citamu menjadi seorang youtuber profesional, sedangkan aku
sibuk dengan cita-citaku menjadi pengisi suara anime. Bukankah logis jika kita
saling meninggalkan kemudian melupakan satu sama lain, karena ditelan kesibukkan
masing-masing?” katanya sambil menggunakan suara Naruto. Hampir saja aku
tertawa dibuatnya, tapi aku berhasil menahan ke-sok-lucuannya itu, jangan harap
ini akan semenyenangkan dulu.
“Kamu
tidak usah membawa cita-cita, bilang saja kalau kamu itu hanya lelaki yang tak
memiliki komitmen, seorang lelaki pace,
cembrean, cemen dan pengecut. Seorang lelaki yang meninggalkan kekasihnya
tanpa kabar, apakah berlebihan jika kusebut dirimu sebagai pecundang!!!” mendengar
kata-kataku yang mengandung magma kemarahan, dia diam. Warung ABG 99 seperti
hening seketika, hanya ada aku, dia, dan cerita yang belum selesai.
Dua
porsi ayam kriuk goreng, dua gelas es jeruk, sambal bawang, dan tumis kangkung
tiba di meja tempat kami berdebat tentang masa lalu dan kenangan.
“Herlin,
kamu tahu tidak…?”
“Tidak!!!”
mendengar jawabanku, wajahnya semakin kuyu, kusut dan seperti sedang menyimpan
ketakutan demi ketakutan. Memang harus seperti itu wajah orang yang bersalah.
Jangan seperti para pejabat korup, yang setelah tertangkap tangan, masih bisa cengangas-cengenges di depan layar kaca
sambil mengacungkan ibu jari, pis,
dan metal. Aku tahu dia ingin melucu
untuk mencairkan suasana, tapi seharusnya dia juga berpikir, sekarang kami
dalam posisi dan keadaan yang tidak lucu.
Kami
saling terdiam untuk beberapa saat, kepulan nasi hangat menggoda selera
makanku, sambal goreng bawang yang lumer dengan minyak jelantah di atasnya, dan
tumis kangkung, oh… kuatnya aroma micin ini sangat menggairahkan nafsu
makanku.
“Ini
boleh kumakan?” tanyaku ketus.
“Ya
silakan” dia menjawab dengan senyum kecut mengembang. Aku bingung ingin
melanjutkan percakapan ini atau tidak, kami menjadi semakin canggung untuk
waktu yang lama. Padahal kami duduk di meja yang sama, saling berhadap-hadapan.
Tapi memang waktu dan keadaan menjadikan kami tak semenyenangkan seperti dulu,
menjadi dua orang asing yang saling tak mengenal satu sama lain.
Dada
ayam goreng kulahap habis, dengan menggunakan tangan kosong, dia ragu-ragu
untuk memakan. Biarlah aku tak akan jaim
lagi di depannya.
“Mau
tambah lagi?” dia menawariku untuk tambah
“Ya
boleh, baiklah” entah mengapa aku menyanggupi tawarannya. Aku tak tahu ini
menjadi pertanda apa bagiku. Dia mulai tersenyum, menyeringai jahat lebih
tepatnya. Lalu kemudian mulai ikut
melahap sepiring nasi dan sayap ayam goreng sebagai lauknya.
Selesai
makan aku mengambil petilan papan kayu yang memagari warung makan, di papan
kayu itu ada sebuah tulisan dengan tipe-x yang mulai pudar warnanya. Aku ingat
tulisan itu dibuat olehnya beberapa tahun lalu, tulisan itu berbunyi “Ratno lope Herlin,, cintaqoeh abadi bersama
qamoeh celamanya”. Setelah membaca itu ingin sekali aku mengumpat dan
muntah, tapi tak kulakukan aku masih bisa menahan diri. Petilan kayu itu
kujadikan sebagai tusuk gigi untuk mencari slilit
yang ada di sela gigi.
“Baik
Herlin, sekarang aku ingin berbicara serius, bisakah kamu memperhatikanku
sebentar?”
“Kamu
kira dari tadi kita tidak berbicara serius Mas?” kataku meradang, dia menelan
ludah. Dia kemudian mengambil ranselnya,
mengambil sesuatu di dalamnya lalu memberikannya kepadaku, sebuah kartu
berwarna merah jambu dengan motif bunga-bunga dan ada sepasang merpati di
depannya.
“Tujuanku
mengajakmu bertemu sebenarnya pertama ingin silaturahim, yang kedua ingin
memberikan ini kepadamu”
“Apa
ini?”
“Undangan
pernikahanku. Insyaallah Minggu depan aku akan menikah, kamu datang ya”
Mendengar
itu entah mengapa air mataku tiba-tiba ingin tumpah. Segera aku menggosokan
tanganku yang belum kucuci ke mata, mengucek mata dengan tangan bekas sambal
goreng bawang, dan tumis kangkung. Mataku menjadi perih luar biasa.
“Aduh
perih, aku ke belakang dulu” aku pergi ke toilet meninggalkannya, air mataku
mengucur deras, menetes ke lantai. Entah air mata itu akibat dari sambal atau
dari undangan yang dia berikan. Di dalam toilet aku tuangkan semua air mata,
hidungku tersumbat ingus yang tiba-tiba menggumpal, dadaku sesak, dan aku sesenggukan.
Warung makan ABG 99 yang dulu menjadi saksi kisah cintaku, dan kini sekali lagi
menjadi saksi kisah cintaku yang harus berakhir kandas dengan bekas sambal yang
belepotan di mata.
Purwokerto
2018-2021
[1] Sebuah warung makan
terbuka pinggir jalan, yang berada di bawah jembatan dekat Stasiun Purwokerto.
Tentang Penulis
Juli
Prasetya adalah seorang pemuda desa
sederhana yang seringkali mencintai seseorang yang tidak pernah
mencintainya. Sekarang sedang berproses di Bengkel Idiotlogis asuhan Cepung.
Kini ia bermukim di Desa Purbadana RT 05/02 Kembaran, Banyumas