Ilusi-ilusi dan Makna (Cinta)
Perih Damtoz Andreas
Agus Manaji
/1/
Engkau sempat menulis sajak cinta di
ufuk usia.
meski tak ada yang datang juga menjelang
senja
langit biru tua dan perlahan meluruh ke
balik doa.
Sebelum yang tak dinantikan akhirnya tiba
juga.
Meski tertulis nama Pablo Neruda
pada bagian subjudul, penyair chile yang kondang akan puisi pamplet dan puisi
cintanya, namun saya justru melihat sang penyair sendiri, Damtoz Andreas, yang hadir sebagai engkau
dalam puisi Sajak Cinta Pada Senja tersebut
di atas. Buku puisi Ilusi-ilusi pada
Sejuta Milyar Lembar Daun Lontar yang juga memuat puisi di atas terbit
akhir tahun lalu, Desember 2020. Tampilan fisik buku puisi ini apik : Sosok
penari bertopeng tampak blur pecah pada cover buku seakan menekankan kata “Ilusi-ilusi”.
Buku ini terdiri atas dua kumpulan puisi, yakni Grafiti Ungu Lebam (bertitimangsa
tahun 2019) dan Sang Maha_Dewi (bertitimangsa 2020). Apakah hanya tahun
penciptaan saja yang menjadi dasar pemilahannya? Entahlah, biarlah saja menjadi
rahasia sang penyair.
/2/
Tema cinta banyak mewarnai puisi dalam buku
ini. Gambaran akan kebersamaan sekaligus keberjarakan dan rasa rindu pada
kekasih segera saja menyergap pembaca lewat puisi pertama: Dewi Menjadi Sore yang Dibenci Gerimis.
Sekedar membaca judul puisi Dewi Menjadi Sore yang Dibenci Gerimis subjudul
ilusi ke seratus akan tampak ganjil
dan rumit. Meski kita temukan ‘sore’ pada frase sebelum gelap turun dalam kabut pada bait kedua. Seutuhnya kita
baca puisi ini:
Ketika engkau tidur
aku menyusuri
sembarang alamat
pada tubuhmu.
Pernah kau sembunyikan
sesuatu, sebelum
gelap turun
dalam kabut
– mungkin kunci
atau sekedar
jarum
penyumbat waktu.
Aku ingin
mencium wangi
dalam ceruk
tabirmu.
Lalu dalam kelu
aku menderu
menjadi
gila di sekujur
malammu.
Dalam puisi ini, penyair mengungkapkan kedekatan,
juga sekaligus bentang jarak sepasang kekasih. Betapa kedekatan fisikal sepasang
kekasih dalam kamar, di atas tempat tidur yang sama(?), ternyata masih
menyisakan rahasia dan jarak tak terungkap. Sosok Aku menyusuri sembarang alamat
(tidak pasti) pada tubuh kekasih yang tidur (bukan jaga). Sang Aku juga menilai
Sang Kekasih (sosok Kau) telah menyembunyikan sesuatu darinya: mungkin kunci. Meski demikian, Sang Aku
masih berikhtiar memahami sang kekasih: aku
ingin mencium wangi/ dalam ceruk tabirmu. Frase ceruk tabirmu secara tepat mengungkapkan dilema ambiguitas dekat
jauh dan rahasia tak terungkap. Diksi Ceruk
melambangkan area privat, hanya orang terdekat (kekasih) yang tahu. Namun
penyandingan kata ini dengan kata tabir
(yang bersifat menutupi) menyempurnakan efek dilema makna dekat jauh. Demikian
si Aku dalam jarak paling dekat, telah sampai di ceruk tabir kekasih, akhirnya
hanya mendambakan mencium wangi.
Seperti dalam puisi Dewi Menjadi Sore yang Dibenci Gerimis, momen suasana kedekatan antara
sepasang kekasih nyaris tak pernah utuh tampak dalam puisi-puisi lain Damtoz
Andreas. Kedekatan itu selalu diikuti kenyataan jarak membentang. Puisi lain
berjudul Bandana kembali mengungkap hal ini. Larik Bandana kulepas dan rambutmu/ yang hitam panjang seketika udar
menggarisbawahi kedekatan. Namun segera pada bait selanjutnya muncul jarak, ada riak yang berubah dingin,/ membekukan
tubuhmu yang menyelam dan lenyap.
Dua puisi yang kita baca tadi adalah
puisi pertama dan ketiga dalam buku Ilusi-ilusi pada Sejuta Milyar Lembar Daun
Lontar. Menarik bahwa pada puisi-puisi selanjutnya justru mengungkapkan (atau setidaknya
membayang) sebuah konflik antara sosok aku dan kau. Dalam puisi Pejalan Buta, Sosok Aku berseru sesungguhnya aku lelah// bersamamu umpama
pejalan buta. Pada puisi lain, Sembilu,
Sang Aku berkata kekasih, engkau
melukaiku./ dan itu tersakit dari siksaan apa pun, meski harapan masih
menggema pada bait ke dua: kita tetap
akan merindukan kopi/ di kedai kita. Sebab hanya ada/ satu cangkir di dunia
ini./ dan itu milik kita.
Dalam puisi-puisi tadi tampak pula kesan
sosok aku menyudutkan sosok kau sebagai pihak pencipta jarak, pembentang
ketegangan. Bahkan ketika keduanya telah berpisah, dalam momen pengenangan
sosok Kau masih tampak angkuh: alangkah
angkuh sembarang kelebat tilasmu (puisi Tumbang).
Berlainan dengan puisi-puisi tadi maka melalui puisi bernada satire Kebohongan Suci sang aku, justru
sebaliknya, mengakui kesalahan dan kekurangan dirinya. Judul dan isi puisi ini benar
satu tubuh yang harus kita baca utuh. Judul tak hanya sekedar judul tetapi
menentukan pemaknaan tubuh puisi. Kita simak sepenuhnya puisi ini:
Kebohongan
Suci
maaf aku
mencintaimu.
sebab sebagai
lelaki beriman
aku harus
melakukan
dua ibadah
terpenting.
yaitu sembahyang
dan
membahagiakanmu.
Apa yang menjadi akar masalah konflik dan
perpisahan sepasang kekasih ini tak pernah terang tertulis dalam puisi. Rasanya
pun memang tak perlu hal ini muncul dalam puisi agar buku puisi ini tidak
menjadi buku diary termehek-mehek. Puisi Reka
Ulang tak lagi menggemakan konflik, tetapi mengungkap rasa sadar diri yang
melunak. Dalam puisi ini tak lagi muncul kata aku, sedang kata engkau dan –mu hanya
muncul dua kali, di baris pertama puisi dan baris ke tiga. Selanjutnya justru
muncul tiga kali kata ‘kita’. Kita, sosok aku dan kau, telah menyadari inilah akhir dari setiap perdebatan kita…./
sekarang kita tahu tak lagi ada pintu/ sebab ini Cuma rekonstruksi dari seratus
/bahkan sejuta ketegangan yang sama,/ sepanjang melodrama norak kita punya.
Dalam puisi lain Kopi Terpahit
kesadaran akan ‘gairah cinta kita’ disadari bergayut dengan keremajaan usia dan
melihat kesamaannya dengan aktivitas meminum
kopi terpahit. Penyair berseru, sesungguhnya
kita masih terlalu muda / untuk memuja cinta sebagai berhala….seperti meminum
kopi terpahit di dunia.
Perpisahan kadang harus terjadi, meski
hati masih (saling) mencintai. Dalam situasi seperti inilah lalu kerinduan
menerjang. Kadang rasa kangen yang kuat sering mengabaikan tetek bengek konflik
yang telah terjadi. Rindu tak mememerlukan dalih apapun. Damtoz Andreas menuangkan
rindu dalam puisi Amsal:
rindu terkadang
menyakitkan.
tapi itulah
kenapa cinta harus ada.
meski seperti
malam,
semua tampak
gelap
dan menakutkan.
seperti bintang,
begitu jauh dan
takterbayangkan.
Jadi relakan!
tak akan sesakit
kesendirian.
Puisi Amsal ini membawa ingatan saya pada puisi Kangen WS Rendra. Dalam puisi tersebut Rendra berseru, Membayangkan
wajahmu adalah siksa. /Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan. /Engkau
telah menjadi racun bagi darahku. /Apabila aku dalam kangen dan sepi/itulah
berarti aku tungku tanpa api. Rendra seakan
berseru pada sang kekasih, namun Damtoz Andreas seakan berseru pada diri
sendiri dan para pencinta. Damtoz menginsyafi kenyataan betapa rindu perih
tiada lain adalah konsekuensi dari rasa cinta dimana sosok yang dicinta hadir
dan didamba dalam hati. Karenanya kemudian Damtoz masih melipur diri di ujung
puisi, (rindu) tak akan sesakit /
kesendirian.
Rasa rindu juga diungkap secara asyik
oleh penyair dalam puisi Teleskop : jarak terjauh / dari hatiku / adalah alis
matamu// yang hitam/ melengkung // mencari arah/ saat mata angin / patah //
mengunci pintu// alamat rindu. Penyair secara jeli mengambil imaji “alis
matamu”, “mata angin patah”, “pintu”, dan “alamat rindu”. Pada puisi ini juga
membayang khaos yang justru menjadi penebar rindu, perpisahan itu.
Selain rasa rindu, sehabis perpisahan
terjadi juga timbul harapan untuk rujuk bersama kembali. Kutipan-kutipan
berikut ini mengungkapkan harapan itu:
Tapi coba lihat
esok pagi.
Apakah aku masih
jago
membujukmu
dengan puisi. (puisi Tumbang)
aku mohon,
jangan tutup pintumu.
Aku akan datang
malam-malam,
menyamar sebagai
bayangan.
(puisi Pesan Pendek)
tapi biarkan
saja.
kau tetap akan
merendah,
jika tahu
sayapku menyembang
dengan indah.
(puisi Burung Rantau)
Jangan
ucapkan selamat jalan.
Aku tak akan
pergi sejauh harapan,
dan tak akan
tinggal sedalam kenangan (puisi Mata Air)
Tapi,
harapan tak selalu hadir, terkadang rasa putus asa tak berdaya menyelimuti sang
pencinta. Puisi-puisi bernada murung mengungkapkan perasaan seperti ini. Dalam
puisi Elegi Damtoz seakan bergumam aku akan menyelinap, dan / membiarkanmu tak
lagi peduli. Barangkali karena perjuangan cintanya tidak berhasil, kali
lain Si Aku menyadari jika cintanya sekedar Cinta
yang Sederhana, sekedar retakan cinta
yang compang-camping. Si aku merasa hanya
punya sisa kata, yang katanya kukais
dari / kicauan para filsuf / kurangkai ulang / menjadi keluh kesah / kadang
makian. Tak cukup sampai di situ, Si Aku mengaku sebagai Lelaki Miskin, aku Cuma punya selarik puisi / yang kutulis di tengah malam hari
yang bahkan karenanya (ia merasa menampak di tengah langit malam) segugus galaksi pudar – menyindir / gurat
hatiku yang sesak oleh ilusi. Boleh jadi karena hati sesak oleh ilusi dan
perjuangan cinta yang tidak berbuah hasil itulah maka Si Aku merasa sebagai
Lelaki Miskin. Kesadaran dan perjuangan puncak Si Aku agaknya tampak pada puisi
Ranting Patah, Aku tahu kini: tak lagi sebaris pun pesan singkat / bergetar di
jantungku, dari telfon genggammu.
Puisi-puisi yang kita selami bersama
di atas menjadi bagian dari kumpulan pertama dalam buku ini: Grafiti Ungu Lebam. Puisi Grafiti Ungu Lebam Sendiri seakan
menggarisbawahi kecenderungan banyak puisi (tidak semua) bertemakan cinta
berlarat-larat dan kandas. Kata lebam bukankah merujuk pada luka tubuh yang
tidak menampakkan sobeknya jaringan kulit, tetapi kerusakan terjadi pada jaringan
dalam tubuh. Bagian tubuh lebam biasanya terlihat berwarna ungu. Demikian, puisi
Grafiti Ungu Lebam justru mengungkap
realitas luka remuk dalam diri Kau (boleh jadi juga Si Aku) yang berujung
ketidakpastian dan melahirkan ilusi: apa
yang kau tuliskan/ cuma gurat yang diulang-ulang./ mencari sendiri tanda dan
simpang…./di guguran cahaya: huruf dan tanda baca hangus, lantas hilang./ Di
noktah yang lain, bisik yang /tak selesai menandai kata jadi Tanya.
Tentu saja Damtoz Andreas juga menulis
puisi-puisi cinta yang manis, tidak murung. Puisi-puisi demikian tidak banyak, bisa
kita simak pada puisi Senyum yang
Membunuh, Lagu Pop 1, dan Lagu Pop 2.
/3/
Selain sebagai sarana ungkap rasa, puisi
merupakan media ungkap penghayatan hidup. penyair adalah sosok perenung. Puisi
merekam spiritualitas dan religiusitas hidup. Demikian, bukan kebetulan tentu jika
Wedhatama karya KGPA Mangkunegoro IV, serat-serat karya Ronggowarsito, atau
buah pikir renung Jalaluddin Rumi mengambil bentuk puisi. Melalui puisi, Damtoz
Andreas juga merenungkan cinta dan menggiringnya kepada sebentuk spiritualitas.
Serangan sakit vertigo pada tubuh di
malam hari mengantar penyair kepada penilaiannya akan makna hidup dan usia. Damtoz
menulis gagah, meski gelap/ dan wingit/ aku
tidak takut. Di luar itu, Penyair menyadari hanya menjadi tua/ karena yang berharga/ hanya tinggal sesal/ mengerak
di ujung usia. Puisi lain, masih berkisar pada pengalaman sakit, penyair
menemukan sosok lain, mungkin justru Ia sendiri atau hati nuraninya sendiri.
Ungkap penyair, hanya mendengar seorang
gadis kecil menangis di sudut jantungku – isaknya seperti gerimis (puisi
Dalam Sakit).
Dalam puisi lain Azan, penyair melarut
dalam suasana mistis, mungkin saat senja, ketika azan magrib bergema dari toa
sebuah masjid menggetarkan udara, menggetarkan bumi dan langit, dan penyair merasa
seperti gimbal bocah bajang yang mengikuti
(menjawab) suara azan, namun seketika itu tiba-tiba ia tercekat tak mampu
meneruskannya karena, hempasan nyali/
menggugurkan takbirku.
Hidup adalah perjalanan. Perjalanan jasmani
ruhani, mungkin bahkan perjalanan itu sejatinya perjalanan pulang saja.
Sebagaimana umat muslim melalui Ramadhan, perjalanan lapar haus tubuh sekaligus
ruh, kemudian merayakan kepulangan batin dengan idul fitri dan berdamai dengan
sesama dan alam semesta. Damtoz Andreas menghayati gagasan ini dan
mengungkapkannya dalam puisi Memo
Perjalanan :
yang abadi
adalah perjalanan tak pernah usai.
Mencari kota
yang menjanjikan penemuan abadi.
Perenungan
dan perjalanan terkadang tidaklah mulus, dalam perjalanan menempuh diri
seringkali yang ditemui justru kenyataan. Puisi Tebing mengungkap hal ini: kenapa
bahkan bayang sendiri/ begitu menakutkan? Karenanya, kemudian si aku
memohon:
aku masih ingin
berjalan, ya Tuhan.
mencari peta
asing yang lain.
dengan rute yang
belum Kau tunjukkan.
Hampir
senada dengan itu, dalam Puisi Malam,
si Aku merasa mulai pangling pada diriku/
terjebak pada bayangan bulan/ yang ingin sendiri…/ rute yang makin samar /dan –
bertepi.
Perjalanan pulang bertaut dengan
tujuan: rumah. Bukan kebetulan jika Damtoz Andreas berkali-kali mengungkap
gagasan ini. Dalam Puisi Pulang ia
berseru jejak itu pudar/ mencari arah/
yang patah // kecuali sisa nama / kata sakti yang remuk/ di ruang gema.
Puisi lain Rumah Sangkan lebih sublim
mengungkap, di mana Si Aku menemu kenyataan pada pintu (rumah) dengan gembok berkarat,
kemudian Si Aku menuliskan puisi
sederhana ini– sebaris nostalgi. Diksi “sebaris nostalgi” boleh jadi lambang
dunia murni sebelum dosa dan jarak tercipta karena ketersesatan manusia. Puisi
ini menjadi goresan yang meski tak melukai tapi sekeras garam di lubang luka. Pandang
dia, seru penyair (Si Aku) pada dirinya, seperti epitaph pada nisan. Lebih lanjut, Si Aku mengakui untuk memaknai
kehidupan berarti juga menyusuri arti kematian.
Puisi Rumah Sunyi agaknya merupakan gambaran dari diri palsu, yang patah,
sesat dan tak murni: rumahku di sini/
pikiran yang dijejali mimpi/ hati yang sibuk oleh hasrat/ dan rencana-rencana.
Meski demikian dalam puisi Subuh ke
Sekian kabar harapan pulang masih ada menghampiri Si Aku, subuh yang begitu dekat menyulit kembali
dimar mati pada sisa zikirku. Perenungan penyair akan makna perjalanan dan
kepulangan abadi tidak selalu berpusar pada diri, sekali waktu penyair berkaca
pada alam, pada Daun yang Harus Luruh.
Sebagai daun
kering dan rapuh,
tangkai telah
melepas getah nadi
: ia harus
memilih sendiri waktunya,
untuk luruh.
….
Di
bait terakhir penyair menggunakan majas perumpamaan. Ia mengandaikan dirinya sebagai
daun luruh. Terbesit sikap tenang dan ikhlas menerima, sumeleh.
Sebagai daun
kering dan rapuh,
aku harus
mencari waktu yang bagus
untuk luruh.
Bukan karena kalah
oleh musim yang
angkuh dan tak iba
tapi karena
tanah adalah tujuan akhirnya.
Sebuah perkembangan dari perjalanan
spiritual ditunjukkan pada beberapa puisi. Spiritualitas manusia mafhum
dimaknai tidak semata dengan relasinya dengan Tuhan, tetapi juga dengan alam.
Menarik jika kita telusur pada beberapa sajak, relasi penyair dengan alam
sebagai bagian dari proses pencarian. Setidaknya terdapat tiga kondisi relasi
manusia (penyair) dengan alam. Pada fase
pertama, alam semata menjadi latar atau ornament, atau penyair menjadi
saksi atas gejala alam. Puisi jenis ini paling dominan dalam buku ini. Misalnya
pada puisi Amsal yang kita telah ulas
di atas. Bulan dan bintang menjadi hiasan untuk mengungkap perasaan kangen cinta
Si Aku. Fase kedua, relasi manusia
dengan alam tidak akur, bahkan menyiratkan sebuah konflik. Puisi Lelaki Miskin menggambarkan fase ini: lantas segugus galaksi pudar – menyindir/
gurat hariku yang sesak oleh ilusi. Dalam puisi Like a Sad Song penyair menulis seperti, lagu sedih: hujan tidak lagi / memperdengarkan musik sorga. Dalam
puisi lain Dalam Sakit penyair bahkan
merasa bulan dan bintang menyumpahiku.
Juga angin, satwa,/ bahkan para malaikat dari sembarang buku. Fase ketiga
adalah fase dimana alam mendukung manusia (penyair) atau meminjam istilah
Yohannes Surya Mestakung (alam semesta mendukung). ini tampak pada puisi Daun yang Harus Luruh yang tadi sudah
kita bahas juga pada puisi Puncak:
Jika Kautanya
dimana ujung, dan kebenaran itu
boleh kumiliki
maka jawabku, “masih cukup jauh
bagiku, Yang
Maharuh”.
Tiba-tiba angin
memilihku dan langit makin biru
mewarnai wajah-Mu.
di tanah aku bersujud,
tetumbuhan dan
satwa berebut memelukku.
/4/
Damtoz Andreas telah berbagi pengalaman (spirituaitas)
cinta. Jujur, bukan kisah cinta yang berujung bahagia, bukan semata puisi-puisi
manis penuh rayuan. Puisi-puisi Damtoz Andreas kaya akan imaji dan tampaknya
lahir dari momen ledakan-ledakan puitis tak tertahan. Dengan memanfaatkan
teknik enjabemen, penyair menampilkan larik-larik pendek dan berikhtiar
mengolah ledakan puisi dan kekhusyukan. Beberapa puisi akan apik dideklamasikan,
namun tak sedikit puisinya lebih cocok kita baca dalam kamar sebagai gumam. Apakah
puisi-puisi cinta ini akan memberi makna di masa pandemi seperti ini? Perkara cinta,
bukankah akan selalu menjadi masalah utama kehidupan manusia kapan dan di mana
pun? Karenanya kita bisa menyadap sesuatu dari puisi-puisi Damtoz Andreas. Di
sisi lain, sebagaimana Ignas Kleden nyatakan dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, pengaruh karya sastra pada
pembaca sering tidak lagi terlalu tergantung pada konteks produksi karya itu,
tetapi lebih tergantung dari konteks hidup dan pengalaman seorang pembaca.
Damtoz Andreas bukan orang baru dalam
kepenulisan sastra, puisi, cerpen dan artikelnya banyak dimuat oleh media massa
lokal maupun nasional sejak mulai tahun 80-an. Konon untuk cerpen ia banyak
menggunakan nama samaran. Ia pun menjalani kehidupan sebagai wartawan, pelukis
dan sebagai desainer grafis. Patut dicatat ia juga menjadi salah seorang
pengelola penerbit Indonesia Tera, yang banyak menerbitkan buku-buku bermutu pada
sekitar awal tahun 2000-an. Pada tahun 2018, buku puisinya Seriuh Kata Sebisu
Kala meraih penghargaan Prasidatama dari Balai Bahasa Jawa Tengah pada tahun
2018.
Saya insyaf menuliskan esai ini sebagai
bagian dari salah saja satu tafsir pembacaan. Pembaca lain mungkin akan
memaknainya lain. Sekali lagi saya mengutip Ignas Kleden, makna sebuah teks
(yaitu text meaning) tidak perlu
selalu sejalan dengan makna yang dimaksud dan diniatkan pengarang (authorial meaning). Saya pun mengamini kata-kata
Sapardi Djoko Damono, dalam Kesusastraan
Indonesia Modern, beberapa Catatan, bahwa pada hakikatnya sebuah sajak itu
berdiri sendiri dan tidaklah membutuhkan perantara.
Tentang Penulis
Agus
Manaji, lahir
di Bekasi, 16 Maret 1979.
No
HP/WA: 0858 7081 6155.
Buku kumpulan puisi tunggalnya Seperti Malam-malam Februari, penerbit
Interlude, th 2018. Puisi-puisinya dimuat dalam Basabasi.co, majalah Horison,
Jurnal Puisi, Koran Kedaulatan Rakyat, dan beberapa media lainnya.
Buku-buku
antologi komunal: Taman di Seberang
Ingatan (komunitas Sastra Magelang, 2020), Sang Acarya (komunitas KKK, th 2021) GREGAH, antologi puisi dan geguritan peserta JOGLITFEST tahun 2019
(festival sastra yogyakarta tahun 2019), dan lain sebagainya.
Riwayat
prestasi: Puisinya Sajak Gelisah Buat
Kekasih meraih juara pertama Lomba Cipta Puisi dalam rangka Milad ke XX
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tahun 2001. Puisinya Prolog Badai Kering meraih juara Harapan dalam sayembara Penulisan
Puisi Remaja tahun 1997, penyelenggara Majalah Sastra Horison, Puisinya Diwan Batu-Batu terpilih sebagai salah
satu finalis dalam Lomba Cipta Puisi Indosat tahun 2010, Esainya “Menyelusuri Aspek-aspek Sufistik Puisi
Abdul Hadi WM dalam Madura, Luang Prabhang” meraih juara kedua dalam Lomba
Mengulas Karya Sastra yang diadakan oleh pusat perbukuan kemdikbud dan Majalah
Horison, tahun 2010.
Urun
Esai di Langgar.co, buku Merenda Kata Mendulang Makna (balai
Bahasa Jawa Tengah, th 2019), Nunggak
Semi, Dunia Iman Budhi Santosa (2021), 7
Jejak Guru (2020).