Catatan Wabah, 26 Maret
Kewaspadaan ini apakah hanya
tentang ketakutan?
Orang-orang di dalam rumah dan pertemuan berjarak,
kita menjumlah mayat sambil
menutup pintu dan berkata:
“Bukan aku. Bukan saudaraku. Semua baik-baik saja. “,
setelah memborong makanan di pasar;
ongkang kaki sambil main ponsel dan tetap
berdebar
mengingat-ingat sisa tabungan.
Harga-harga naik, alat-alat kedokteran
langka,
dan orang-orang yang upah kerja sehari-hari
habis untuk makan sehari-hari menghitung
mata dadu nasib
antara mati diserang wabah atau karena
kelaparan.
“Selama bukan aku, bukan
saudaraku,
semua baik-baik saja.”
Ada yang lebih menakutkan dari
sekadar virus mematikan.
tapi kita seperti tak tahu apa dan mengapa.
2020
Adakah yang
Lebih Berarti….
Adakah yang lebih
berarti kini
selain
senyuman?
Kabar kematian telah
jadi lonceng
musim angin
berderai-derai
hingga di beranda
mengintip
dari celah jendela kamar.
Kata-kata tak dapat
menangis lagi.
Kepergian demi kepergian
terjadi
begitu saja tanpa sempat
memberi
isyarat perpisahan.
Mondar-mandir pikiran
kita
dari
ketakutan ke ketakutan
sementara
jauh sebelum wabah ini ada
kita
seperti ragu bahwa kematian
lebih dekat
dari aroma parfum
kekasih
lunglai dalam pelukan.
Adakah yang lebih berarti
kini
selain
senyuman? Hari-hari
kita memang
digelandang duka
tapi walau
sekelam warna logam
kehidupan
dan kematian
tak benar
berkenan pada tangisan.
2021
Baru
Agak Reda Ingatan Kita
Baru
agak reda ingatan kita tentang wabah
–belajar
menata letak gelas dan agenda kerja
untuk
kehidupan yang kita sebut norma baru–
hari-hari
kini kita dikepung kabar kematian
dan
orang-orang sakit yang makin dekat dari rumah,
bahkan diam-diam telah ada di rumah kita.
Seperti
laron dalam badai cahaya
kita
mencari kegelapan untuk istirahat
dari
berita yang terlalu benderang.
Adakah
berita saban hari ini semacam
suluh
bagi hutan berhantu atau ianya bisik
setan
di telinga kiri seorang bayi?
Kota-kota
waspada, bagi orang besar
bagi
orang kecil membunyikan sirine yang berbeda.
Orang
besar diurus negara, sebagian mereka
masuk
televisi sebelum dibui
setelah
mereguk untung
pungli Bansos
dan
main-main dengan alat
swab antigen
tanpa sedikit pun disentuh hukuman mati.
Orang
kecil mengencangkan ikat pinggang
berdebar
melihat dapur yang makin ragu:
“Sampai kapan
ada jam makan di sini?”
Kampung-kampung
yang tenteram
jadi
was-was karena aparat melulu datang
dan berkata: “Jangan
sepelekan keadaan.
Kita
semua dalam bahaya!”
Adakah
ketegasan-ketegasan itu
semacam
petunjuk arah
bagi orang tersesat
ataukah
semacam penyesatan bagi orang terarah?
Baru
agak reda ingatan kita tentang wabah
–walau
jaga jarak dan bermasker, kita mulai terbiasa
membuat pertemuan
kecil bagi kerinduan kita–
kini
kita kembali dipaksa melipat
permadani
meletakkan
kue di lemari, dan menolak ketibaan tamu.
Seperti
kuncup bunga batal mekar
pada
pagi mendung yang dikira akan cerah
kita
mengunci pintu-jendela yang telah dibuka
sambil
bertanya-tanya: ketika
wabah
ini berakhir, apakah kita masih ada?
Catatan
27 Juni 2021
Kepada Musa
Musa! Musa!
Di mana tongkat pembelah laut
itu?
Aku tak punya lembu
makanan dari langit tak juga
turun,
sementara para pemalas memimpikan
kemegahan masa depan.
Musa! Musa!
Di mana tongkat pembelah laut
itu?
Keluh kesah adalah badai
samudera yang mengepungku
dan keinginan adalah anjing
lapar yang menggonggongi
jam tidurku
di kemah asing ini.
2020
Mulanya Kemah
Kita lihat lagi kota yang sedih
ini:
setelah suluh ditiup, subuh labuh;
ke jalanan kita seperti anomalia
school fish tak dikenal samudera.
Dengan berjinjit menuju bukit,
terasa kita telah dekat dengan langit.
Tetapi sepasang mata yang pedih
menatap hunian yang kita sapih
dikirab amarah dan merintih.
Ada retakan, di sana: haru dari hari
riuh yang terus tumbuh.
Kita bukan semata angin ingin
melabuh tubuh pada daun runtuh
musim luruh lalu luh.
Perhatikanlah bagaimana kemah
ini mulanya: setelah kisah
surgawi, angin siut-laut surut.
Berdebaran tuba Hawa
lalu hidup yang
terlunta ini ada.
2020
Malam Ini Saja
Malam ini saja, diamlah
omongan kemanusiaan.
Diamlah omongan negara.
Omongan keadilan.
Omongan bertubrukan yang
bikin sakit kepala.
Kemerdekaan penuh
intruksi penangkapan,
ancaman penjara;
kebebasan, kata-kata murung
di mulut orang takut.
Jendela kamar telah kututup. Tirai ranjang
seperti layar kapal yang kuyup menuju pulau
jauh.
Lampu padam, aku pulang sekarang.
Dengus napas anak sekolah yang bermain
klentit waria
di remang pohon-pohon, kutinggalkan,
abab orang berseragam menyusu dalam mabuk
di dada gadis-gadis keluar malam.
Diamlah. Di kamar aku akan masuk ke riuh
keheningan: membangkitkan suara yang
dibunuh
di pasar; di balik meja rektor; dan di buku
mereka
yang bicara dengan bahasa pengetahuan dari
gosip
kebenaran sehari-hari. Bila matahari tiba,
akan kutunjukkan mayat-mayat yang
kubangkitkan.
Mereka akan bicara kepadamu.
Diamlah. Malam ini saja. Dari kolong dan
lorong
gelap, susah payah telah kuseret
mayat-mayat ini
ke kamarku.
Tanah Air, 2020
Lebaran Kini
Lebaran kini aku
kehilangan kata-kata bukan sebab
tak ada, tapi sebab selalu ada
bahkan ketika tak hendak dikatakan.
Dari tahun ke tahun kata-kata
itu dan itu saja yang kuberi dan kuterima.
Bukan bosan. Lagipula kata-kata
tak harus terus dibuat baru
untuk suatu maksud yang sama.
Tetapi aku melihat kata-kata
seperti bunga plastik di meja makan.
Terlampau akrab, tapi terasa asing
di antara pisau, irisan ketupat,
panggang gemblong, dan beberapa
potong opor daging kerbau
di piring kecil pada meja kecil.
“Mohon maaf lahir dan batin,” begitu
ringan tanpa menyebut apa dosa
lalu sambil berlalu kata-kata
lain dari mulut yang kurang terjaga
meruncing. Kembalilah orang-orang
kepada ritual omongan sehari-hari.
Ghibah sehari-hari.
Fitnah sehari-hari.
Oh, maaf. Aku berlebihan. Lebaran tiba
waktunya bertakbir: Allaahu akbar.
Allaahu akbar. Allaahu akbar.
Laa-ilaaha illallallahu Allaahu Akbar.
Allaahu akbar walillaahil hamd.
Tetapi maaf, aku seperti kehilangan
penglihatan Lebaran kini, setelah
sebulan
belajar menghayati arti dari lapar
menekuni makna menahan diri
dari amarah dan birahi duniawi,
bukan kesadaran bahwa diri
tiada apa-apa yang kusaksikan
melainkan orang-orang yang saling
memperhatikan pakaian lalu tanpa
malu
menyebut bandrol harga gamis
yang dibeli lebih dari tiga helai,
tiga model, dan tiga warna
untuk bergantian dikenakan
selama setengah hari keliling kampung,
berziarah, dan makan bakso di warung.
Agak berbisik berebut klaim pakaian termahal
sambil memainkan gelang-gelang emas.
O, mataku yang payah tersesat,
terseret dan terluka pada berpasang-
pasang mata yang lapar
di antara mulut-mulut yang menguyah.
Di warung-warung itu mereka
tak habis-habisnya meneliti merek
sandal dan motif bros.
O hari kemenangan.
Hari bahagia yang dirindukan
orang-orang mukmin dalam kesedihan
melepas tangan-tangan Ramadan,
aku seperti kehabisan napas
ketika menghirup kenyataan.
Maafkan aku, lahir dan batinku.
Maafkan aku, pikiran dan hatiku.
Maafkan aku, wahai Ramadanku.
Maafkan aku, duhai Syawalku.
Betapa sinis kata-kata kini
Betapa sinis penglihatan kini.
Betapa sinis udara kini.
Setiap orang punya cara merayakan
apa saja dengan bagaimana saja.
Mestinya aku ikut bergembira.
Ya! Aku mesti ikut bergembira.
Bergembira bersamamu
O Syawalku. O fitrahku.
Lebaran kini kukelilingi lagi kampungku
seperti lebaran yang sudah-sudah.
Menemui saudara, tetangga, kerabat,
sahabat lama dan sahabat baru
untuk mengucapkan apa
yang juga mereka ucapkan.
Kulihat langit. Ia berbisik:
“Berdamailah karena kemenangan
tak selalu lahir dari pertentangan
-pertentangan, sebagaimana kisah perang
yang dituturkan orang-orang yang kalah.”
Allahu akbar. Allahu akbar.
Allahu akbar. Allaahu akbar kabiiraa.
Walhamdulillaahi katsiiraa.
Wasubhaanallaahi bukrataw-wa ashillaa.
Laa-ilaaha illallallahu
walaa na’budu illaa iyyaahu,
mukhlishiina lahuddiin,
walau karihal-kaafiruun …
1 Syawal, 1434 Hijriyah
Imbauan
Kami mengimbau, Tuanpuan. Kami mengimbau.
Wabah merebak kemana-mana.
Orang tak tampak sakit tahu-tahu mati kejang.
Kami benar-benar mengimbau, Tuanpuan.
Jangan keluar rumah. Itu kiranya jalan terbaik
untuk menghentikan penularan virus
yang mulanya
kami kira hanya akan keliaran di Wuhan.
Ya, kami memang pernah berkata:
“Jangan takut Covid 19. Negara kita aman.”
Kami men-discount tiket pesawat
agar berbondong turis datang, ekonomi
meroket.
Kami memiliki niat baik, untuk kesejahteraan.
Sama sekali tidak terbayangkan oleh kami
virus itu tiba juga di negera kita.
Tuanpuan jangan terus menyalahkan kami
karena itu akan membuat kerja kami lebih berat.
Hidup Tuanpuan tentu akhirnya lebih susah.
Jadi, ringankanlah langkah kaki
kami.
Mohon dengarkan dengan seksama imbauan ini:
Tutup pintu. Jangan ada pertemuan. Stop jualan di pasar.
Berbelanjalah dari rumah. Bekerja di rumah!
Ya, ini memang imbauan yang sangat janggal.
Terlalu banyak kata “jangan”,
sementara kami
tidak berani menanggung hajat hidup Tuanpuan.
Kami sangat tahu rata-rata rakyat Indonesia
tidak mungkin hidup bila mendekam di rumah
tapi kami terpaksa mengimbau dengan kata perintah
sambil menutup telinga kami dari protes.
Tuanpuan tentu mengerti, urusan makan
mesti diurus
sendiri-sendiri. Kami tidak punya
uang.
Pendapatan pajak tidak cukup.
Tidak, Tuanpuan. Tidak perlu mengulik luka lama.
Kawan-karib kami yang dibui, para koruptor
yang pasti sangat Tuanpuan kenal
takkan mau
mengembalikan uang negara yang mereka rampok.
Lagipula belum tentu uang itu masih ada.
Sebab ihwal rampok merampok berarti juga ihwal kongkalikong.
Bagi membagi jatah, mutlak hukumnya.
Istilahnya, uang tutup mulut.
Jadi Tuanpuan, baiknya, tutup mulut sajalah.
Kami tidak kuasa memberantas apa yang telah mengakar
jauh sebelum kami duduk di sini
di dalam kerusakan sistemik ini.
Tuanpuan mesti bijak, mesti mengerti keadaan negara
yang kata Tuanpuan amat dicintai
ini.
Ingatlah: jangan tanyakan apa yang negara berikan
tapi tanyakan apa
yang Tuanpuan berikan.
John F. Kennedy yang sudah mati itu, dengarkanlah.
Perkataan bijak dan menenangkan lebih diperlukan
ketimbang suara-suara kekecewaan dan kemarahan.
Soal
terpenting kini adalah keselamatan,
bukan
menghitung kesalahan.
Bahwa
yang sudah mati, ya sudahlah. Hanya sejuta orang
dari
271 juta penduduk; hanya 0 sekian persen.
Tuanpuan
musti mendengar imbauan ini jika benar
Tuan-puan
tidak ingin lebih banyak lagi yang mati.
Betul.
Imbauan tidak musti diikuti, sebab asal hukumnya mubah.
Tetapi
kali ini, mohon Tuanpuan mengerti, ini musti diikuti.
Tidak!
Kami tidak akan mengeluarkan perintah.
Cukup
dengan imbauan, karena dengan begitu,
kami
dapat menekan tanpa harus tertekan.
Hidup,
beginilah kiranya hidup.
Wabah
bukan ini kali saja, karena raja-raja terdahulu
menghadapi berjuta nyawa melayang.
Tuanpuan, mohon tidak mengaduh melulu. Kami bukan Caligula gila.
Kami ada dan terus mengolah tatanan kehidupan
mengolah anggaran, hutang negara, dan sesekali kami berpikir
tentang
bagaimana mencetak uang atau menggunting
angka
nol di belakang. Ini keadaan sulit, Tuanpuan.
Ruwet!
Ruwet!
Kita
sama-sama memasuki rahasia tidak terbaca
dalam
gerak tangan elit dunia. Tuanpuan harus mengerti,
selalu
ada tangan lain di luar
berpasang-pasang
tangan yang tampak di muka.
Kami
tidak mungkin menjelaskannya sejelas-jelasnya
meski
Tuanpuan terus meminta kejelasan.
Ilmu
politik yang kami imani adalah ilmu abu-abu.
Kami
belajar di dalam keremang-remangan
bersama
guru-guru kami yang jelas
betul ketidakjelasannnya.
Tuan-puan, mohon cukupkan pertanyaan.
Kami kehabisan kata untuk
menjawab.
Ikuti saja imbauan kami.
Kami mengimbau, Tuanpuan.
Kami mengimbau.
Tentang Penulis
Muhammad Rois Rinaldi, penyair, Redaktur Sastra
Biem.co dan Wakil Ketua Gabungan Komunitas Sastra ASEAN (Gaksa).