Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Puisi

Puisi Muhammad Rois Rinaldi

Admin by Admin
8 Agustus 2021
2
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter

Catatan Wabah, 26 Maret

 

Kewaspadaan ini apakah hanya
tentang ketakutan?

Orang-orang di dalam rumah dan pertemuan berjarak,

kita menjumlah mayat sambil
menutup pintu
dan berkata:

 

“Bukan aku. Bukan saudaraku. Semua baik-baik saja. “,

setelah memborong makanan di pasar;

ongkang kaki sambil main ponsel dan tetap
berdebar

mengingat-ingat sisa tabungan.

 

Harga-harga naik, alat-alat kedokteran
langka,

dan orang-orang yang upah kerja sehari-hari

habis untuk makan sehari-hari menghitung
mata dadu nasib

antara mati diserang wabah atau karena
kelaparan.

 

“Selama bukan aku, bukan
saudaraku
,

semua baik-baik saja.”

 

Ada yang lebih menakutkan dari
sekadar virus mematikan.

tapi kita seperti tak tahu apa dan mengapa.

 

2020

 



 

Adakah yang
Lebih Berarti….

 

Adakah yang lebih
berarti kini

selain
senyuman?

Kabar kematian telah
jadi lonceng

musim angin

 

berderai-derai
hingga di beranda

mengintip
dari celah jendela kamar.

Kata-kata tak dapat
menangis lagi.

Kepergian demi kepergian

terjadi
begitu saja tanpa sempat

memberi
isyarat perpisahan.

 

Mondar-mandir pikiran
kita

dari
ketakutan ke ketakutan

sementara
jauh sebelum wabah ini ada

kita
seperti ragu bahwa kematian

lebih dekat
dari aroma parfum

kekasih
lunglai dalam pelukan.

 

Adakah yang lebih berarti
kini

selain
senyuman?
Hari-hari

kita memang
digelandang duka

tapi walau
sekelam warna logam

 

kehidupan
dan kematian

tak benar
berkenan pada tangisan.

 

2021



 


Baru
Agak Reda Ingatan Kita

 

Baru
agak reda ingatan kita tentang wabah

–belajar
menata letak gelas dan agenda kerja

untuk
kehidupan yang kita sebut norma baru–

hari-hari
kini kita dikepung kabar kematian

dan
orang-orang sakit yang makin dekat
dari rumah,

bahkan diam-diam telah ada di rumah kita.

Seperti
laron dalam badai cahaya

kita
mencari kegelapan untuk istirahat

dari
berita yang terlalu benderang
.

 

Adakah
berita saban hari ini semacam

suluh
bagi hutan berhantu atau ianya bisik

setan
di telinga kiri seorang bayi?

 

Kota-kota
waspada, bagi orang besar

bagi
orang kecil membunyikan sirine yang berbeda.

Orang
besar
diurus negara, sebagian mereka

masuk
televisi sebelum
dibui

setelah
mereguk
untung
pungli Bansos

dan
main-main
dengan alat
swab antigen

tanpa sedikit pun disentuh hukuman mati.

Orang
kecil mengencangkan ikat pinggang

berdebar
melihat dapur yang makin ragu:

“Sampai kapan
ada jam makan di sini?
”

Kampung-kampung
yang tenteram

jadi
was-was karena aparat
melulu datang

dan berkata: “Jangan
sepelekan keadaan.

Kita
semua
dalam bahaya!”

 

Adakah
ketegasan-ketegasan itu

semacam
pe
tunjuk arah
bagi orang tersesat

ataukah
semacam penyesatan
bagi orang terarah?

 

Baru
agak reda ingatan kita tentang wabah

–walau
jaga jarak dan bermasker, kita
mulai terbiasa

membuat pertemuan
kecil bagi kerinduan kita–

kini
kita
kembali dipaksa melipat
permadani

meletakkan
kue di lemari
, dan menolak ketibaan tamu.

Seperti
kuncup bunga batal mekar

pada
pagi mendung yang dikira akan cerah

kita
mengunci pintu-jendela yang telah dibuka

sambil
bertanya-tanya:
ketika

wabah
ini berakhir, apakah kita masih ada?

 

Catatan
27 Juni 2021

 

 

Kepada Musa

 

Musa! Musa!

Di mana tongkat pembelah laut
itu?

 

Aku tak punya lembu

makanan dari langit tak juga
turun,

sementara para pemalas memimpikan

kemegahan masa depan.

 

Musa! Musa!

Di mana tongkat pembelah laut
itu?

 

Keluh kesah adalah badai

samudera yang mengepungku

dan keinginan adalah anjing

lapar yang menggonggongi

 

  
jam tidurku

di kemah asing ini.

 

2020



 

 

 

Mulanya Kemah

 

Kita lihat lagi kota yang sedih
ini
:

setelah suluh ditiup, subuh labuh;

ke jalanan kita seperti anomalia

school fish tak dikenal samudera.

 

Dengan berjinjit menuju bukit,

terasa kita telah dekat dengan langit.

Tetapi sepasang mata yang pedih

menatap hunian yang kita sapih

dikirab amarah dan merintih.

 

Ada retakan, di sana: haru dari hari

riuh yang terus tumbuh.

Kita bukan semata angin ingin

melabuh tubuh pada daun runtuh

musim luruh lalu luh.

 

Perhatikanlah bagaimana kemah

ini mulanya: setelah kisah

surgawi, angin siut-laut surut.

Berdebaran tuba Hawa

lalu hidup yang
terlunta ini ada.

 

2020



 

 

 

Malam Ini Saja

 

Malam ini saja, diamlah
omongan kemanusiaan.

Diamlah omongan negara.
Omongan keadilan.

Omongan bertubrukan yang
bikin sakit kepala.

Kemerdekaan penuh
intruksi penangkapan,

ancaman penjara;
kebebasan, kata-kata murung

di mulut orang takut.

 

Jendela kamar telah kututup. Tirai ranjang

seperti layar kapal yang kuyup menuju pulau
jauh.

Lampu padam, aku pulang sekarang.

Dengus napas anak sekolah yang bermain
klentit waria

di remang pohon-pohon, kutinggalkan,

abab orang berseragam menyusu dalam mabuk

di dada gadis-gadis keluar malam.

 

Diamlah. Di kamar aku akan masuk ke riuh

keheningan: membangkitkan suara yang
dibunuh

di pasar; di balik meja rektor; dan di buku
mereka

yang bicara dengan bahasa pengetahuan dari
gosip

kebenaran sehari-hari. Bila matahari tiba,

akan kutunjukkan mayat-mayat yang
kubangkitkan.

Mereka akan bicara kepadamu.

 

Diamlah. Malam ini saja. Dari kolong dan
lorong

gelap, susah payah telah kuseret
mayat-mayat ini

ke kamarku.

 

Tanah Air, 2020



 

 

Lebaran Kini

 

Lebaran kini aku

kehilangan kata-kata bukan sebab

tak ada, tapi sebab selalu ada

bahkan ketika tak hendak dikatakan.

Dari tahun ke tahun kata-kata

itu dan itu saja yang kuberi dan kuterima.

Bukan bosan. Lagipula kata-kata

tak harus terus dibuat baru

untuk suatu maksud yang sama.

Tetapi aku melihat kata-kata

seperti bunga plastik di meja makan.

Terlampau akrab, tapi terasa asing

di antara pisau, irisan ketupat,

panggang gemblong, dan beberapa

potong opor daging kerbau

di piring kecil pada meja kecil.

“Mohon maaf lahir dan batin,” begitu

ringan tanpa menyebut apa dosa

lalu sambil berlalu kata-kata

lain dari mulut yang kurang terjaga

meruncing. Kembalilah orang-orang

kepada ritual omongan sehari-hari.

Ghibah sehari-hari.

Fitnah sehari-hari.

 

Oh, maaf. Aku berlebihan. Lebaran tiba

waktunya bertakbir: Allaahu akbar.

Allaahu akbar. Allaahu akbar.

Laa-ilaaha illallallahu Allaahu Akbar.

Allaahu akbar walillaahil hamd.

Tetapi maaf, aku seperti kehilangan

penglihatan Lebaran kini, setelah
sebulan

belajar menghayati arti dari lapar

menekuni makna menahan diri

dari amarah dan birahi duniawi,

bukan kesadaran bahwa diri

tiada apa-apa yang kusaksikan

melainkan orang-orang yang saling

memperhatikan pakaian lalu tanpa
malu

menyebut bandrol harga gamis

yang dibeli lebih dari tiga helai,

tiga model, dan tiga warna

untuk bergantian dikenakan

selama setengah hari keliling kampung,

berziarah, dan makan bakso di warung.

Agak berbisik berebut klaim pakaian termahal

sambil memainkan gelang-gelang emas.

 

O, mataku yang payah tersesat,

terseret dan terluka pada berpasang-

pasang mata yang lapar

di antara mulut-mulut yang menguyah.

Di warung-warung itu mereka

tak habis-habisnya meneliti merek

sandal dan motif bros.

 

O hari kemenangan.

Hari bahagia yang dirindukan

orang-orang mukmin dalam kesedihan

melepas tangan-tangan Ramadan,

aku seperti kehabisan napas

ketika menghirup kenyataan.

Maafkan aku, lahir dan batinku.

Maafkan aku, pikiran dan hatiku.

Maafkan aku, wahai Ramadanku.

Maafkan aku, duhai Syawalku.

Betapa sinis kata-kata kini

Betapa sinis penglihatan kini.

Betapa sinis udara kini.

Setiap orang punya cara merayakan

apa saja dengan bagaimana saja.

Mestinya aku ikut bergembira.

Ya! Aku mesti ikut bergembira.

Bergembira bersamamu

O Syawalku. O fitrahku.

 

Lebaran kini kukelilingi lagi kampungku

seperti lebaran yang sudah-sudah.

Menemui saudara, tetangga, kerabat,

sahabat lama dan sahabat baru

untuk mengucapkan apa

yang juga mereka ucapkan.

Kulihat langit. Ia berbisik:

“Berdamailah karena kemenangan

tak selalu lahir dari pertentangan

-pertentangan, sebagaimana kisah perang

yang dituturkan orang-orang yang kalah.”

 

Allahu akbar. Allahu akbar.

Allahu akbar. Allaahu akbar kabiiraa.

Walhamdulillaahi katsiiraa.

Wasubhaanallaahi bukrataw-wa ashillaa.

Laa-ilaaha illallallahu

walaa na’budu illaa iyyaahu,

mukhlishiina lahuddiin,

walau karihal-kaafiruun …

 

1 Syawal, 1434 Hijriyah



 

Imbauan

 

Kami mengimbau, Tuanpuan. Kami mengimbau.

Wabah merebak kemana-mana.

Orang tak tampak sakit tahu-tahu mati kejang.

 

Kami benar-benar mengimbau, Tuanpuan.

Jangan keluar rumah. Itu kiranya jalan terbaik

untuk menghentikan penularan virus
yang mulanya

kami kira hanya akan keliaran di Wuhan.

Ya, kami memang pernah berkata:

“Jangan takut Covid 19. Negara kita aman.”

Kami men-discount tiket pesawat

agar berbondong turis datang, ekonomi
meroket.

Kami memiliki niat baik, untuk kesejahteraan.

Sama sekali tidak terbayangkan oleh kami

virus itu tiba juga di negera kita.

 

Tuanpuan jangan terus menyalahkan kami

karena itu akan membuat kerja kami lebih berat.

Hidup Tuanpuan tentu akhirnya lebih susah.

Jadi, ringankanlah langkah kaki
kami.

Mohon dengarkan dengan seksama imbauan ini:

Tutup pintu. Jangan ada pertemuan. Stop jualan di pasar.

Berbelanjalah dari rumah. Bekerja di rumah!

 

Ya, ini memang imbauan yang sangat janggal.

Terlalu banyak kata “jangan”, 
sementara
kami

tidak berani menanggung hajat hidup Tuanpuan.

Kami sangat tahu rata-rata rakyat Indonesia

tidak mungkin hidup bila mendekam di rumah

tapi kami terpaksa mengimbau dengan kata perintah

sambil menutup telinga kami dari protes.

Tuanpuan tentu mengerti, urusan makan

mesti diurus
sendiri-sendiri.
Kami tidak punya
uang.

Pendapatan pajak tidak cukup.

 

Tidak, Tuanpuan. Tidak perlu mengulik luka lama.

Kawan-karib kami yang dibui, para koruptor

yang pasti sangat Tuanpuan kenal
takkan mau

mengembalikan uang negara yang mereka rampok.

Lagipula belum tentu uang itu masih ada.

Sebab ihwal rampok merampok berarti juga ihwal kongkalikong.

Bagi membagi jatah, mutlak hukumnya.

Istilahnya, uang tutup mulut.

Jadi Tuanpuan, baiknya, tutup mulut sajalah.

Kami tidak kuasa memberantas apa yang telah mengakar

jauh sebelum kami duduk di sini

di dalam kerusakan sistemik ini.

Tuanpuan mesti bijak, mesti mengerti keadaan negara

yang kata Tuanpuan amat dicintai
ini.

 

Ingatlah:  jangan tanyakan apa yang negara berikan 

tapi tanyakan apa
yang Tuanpuan berika
n.

John F. Kennedy yang sudah mati itu, dengarkanlah.

Perkataan bijak dan menenangkan lebih diperlukan

ketimbang suara-suara kekecewaan dan kemarahan.

Soal
terpenting kini adalah keselamatan,

bukan
menghitung kesalahan.

Bahwa
yang sudah mati
, ya sudahlah. Hanya sejuta orang

dari
271 juta penduduk;
hanya 0 sekian persen.

Tuanpuan
musti mendengar imbauan ini jika benar

Tuan-puan
tidak ingin lebih banyak lagi yang mati.

Betul.
Imbauan tidak musti diikuti,
 sebab asal hukumnya mubah.

Tetapi
kali ini, mohon Tuanpuan mengerti
, ini musti diikuti.

Tidak!
Kami tidak akan mengeluarkan perintah.

Cukup
dengan imbauan,
karena dengan begitu,

kami
dapat menekan tanpa harus tertekan.

 

Hidup,
beginilah kiranya hidup.

Wabah
bukan ini kali saja, karena raja-raja terdahulu

menghadapi berjuta nyawa melayang.

Tuanpuan, mohon tidak mengaduh melulu. Kami bukan Caligula gila.

Kami ada dan terus mengolah tatanan kehidupan

mengolah anggaran, hutang negara, dan sesekali kami berpikir

tentang
bagaimana mencetak uang atau menggunting

angka
nol di belakang. Ini keadaan sulit, Tuanpuan.

Ruwet!
Ruwet!

 

Kita
sama-sama memasuki rahasia tidak terbaca

dalam
gerak tangan elit dunia.
Tuanpuan harus mengerti,

selalu
ada tangan lain  di luar

berpasang-pasang
tangan yang tampak di muka.

Kami
tidak mungkin menjelaskannya sejelas-jelasnya

meski
Tuanpuan terus meminta kejelasan.

Ilmu
politik yang kami imani adalah ilmu abu-abu.

Kami
belajar di dalam keremang-remangan

bersama
guru-guru kami
yang jelas
betul ketidakjelasannnya.


Tuan-puan, mohon cukupkan pertanyaan.

Kami kehabisan kata untuk
menjawab.

Ikuti saja imbauan kami.

Kami mengimbau, Tuanpuan.

Kami mengimbau.




Tentang Penulis


Muhammad Rois Rinaldi, penyair, Redaktur Sastra
Biem.co dan Wakil Ketua Gabungan Komunitas Sastra ASEAN (Gaksa). 

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In