Pulau Anteng dan
Pencari Ketenangan
Iya,
sekarang tanpa mereka aku lebih tenang. Mereka hanya kumpulan burung yang
berkicau di tengah malam. Sungguh berisik dan menganggu sekali. Namun, terjauh
dari mereka kehidupan ini seketika berubah. Apa yang aku cari selama ini telah
kudapatkan. Ketenangan.
***
Di
depan bale yang cukup luas ukuran tiga kali dua persegi, duduk seorang
laki-laki paruh baya. Ia duduk di atas kursi berwarna coklat. Warnanya
mengkilap. Cahaya lampu dapat berpendar di kursi itu. Memang, itu kursi yang
istimewa dan mahal.
Di
samping dirinya, terdapat sebuah kursi kosong yang sama bentuknya dengan kursi
yang ia duduki. Tetapi kedua kursi itu dibatasi oleh sebuah meja kaca yang tak
kalah mewah. Meja yang kakinya terbuat dari kayu bersinar dengan kepala kaca
yang tembus ke bawah. Apa yang ada di kolong meja terlihat sangat jelas.
Sayangnya, apa yang ada di kolong meja tidak lebih indah dengan apa yang ada di
atas meja. Secangkir kopi hangat dan setoples biskuit kelapa menambah kecantikan apa yang ada di atas meja. Bukankah
kecantikan itu berasal dari rasa puas?
Tapi
dalam benak laki-laki itu tidak ada rasa puas yang bisa menghadirkan sebuah
ketenangan. Pikirannya selalu gelisah. Entah apa yang membuatnya gelisah. Istri
yang cantik serta kekayaan yang melimpah tak memberikannya ketenangan. Lalu apa
lagi yang ia cari? Tentu ketenangan. Ia tidak tahu sumber dari ketenangan.
Pikirannya selalu kacau jika duduk sejenak. Seperti malam ini, pikirannya tak
jelas hendak ke mana.
“Kulihat
dari kejauhan, kau terlihat sedang melamun. Apa yang kau pikirkan, Kawan?”
Seseorang lelaki yang berbanding terbalik dengan dirinya datang. Laki-laki
kurus kerontang dan berpakaian kumal. Aneh, ia sama sekali tak rikuh untuk
langsung duduk di sebuah kursi yang berada di sampingnya.
“Hidupku
selalu tak tenang. Walaupun hartaku banyak, aku selalu terbayang-bayang akan
jatuh miskin. Istri yang cantik pun tidak pernah membuatku puas dengannya.
Nyatanya aku sering ‘jajan’ di malam hari.”
“Coba
lihatlah kepadaku!”
Tomo,
laki-laki yang tak pernah puas itu menuruti kata temannya, Arto. Matanya
menggerayangi ujung kaki Arto hingga ujung kepala yang sudah tidak tumbuhi
rambut.
“Bagaimana
tentang diriku ini menurutmu? Apakah aku lebih baik daripada kau?”
“Tentu
tidak. Apa yang lebih baik. Penampilanmu sangat kotor. Rumahmu, hanya gubuk
kecil yang dibagi menjadi tiga petak. Pekerjaanmu pun serabutan. Istri apalagi,
kau tak punya.”
Bukannya
marah, Arto malah terkekeh-kekeh mendengar celaan temannya. Hal itu yang membuat
Tomo bingung—selalu bingung melihat tingkah Arto. Sebagian orang mengatakan
Arto adalah orang yang tak waras. Sebagian yang lain, menyebutkan ia adalah
wali atau semacamnya. Yang jelas Tomo sudah mengenal Arto sejak kecil. Karena
mereka adalah kawan sekolah.
“Kalau
aku lebih buruk dari kau. Kenapa kau hidup tak tenang sedangkan aku enjoy-enjoy
saja?” Tomo terhenyak setelah Arto melempar pertanyaan yang sulit itu.
“Baiklah gini saja, nampaknya kau benar-benar perlu ketenangan dan
kesunyian. Aku punya saran untukmu.”
“Saran?
Saran apa?”
“Kau
tahu pulau Anteng? Pergilah kesana dan berliburlah barang seminggu atau dua
minggu di sana. Tapi ingat! Jangan ada yang tahu kalau kau pergi ke sana
kecuali kita berdua.”
Malam
itu juga Tomo membenahi pakaiannya. Sebuah koper besar menjadi wadah atas baju
dan celananya. Tak lupa segenggam uang kertas pecahan seratus ribu yang
disimpan, ia ambil untuk bekal perjalanan dan berlibur ke sana. Istrinya yang
sudah terlelap adalah keuntungan bagi diri Tomo sendiri. Ia lebih leluasa untuk
berbenah-benah hingga bisa pergi tanpa ada orang yang tahu dengan mudah.
Dalam
perjalanan menuju pulau Anteng pikiran Tomo tetap saja berkecamuk. Ia tak bisa
sekalipun menenangkan pikiran. Ada saja yang di pikirannya. Entah perihal
bagaimana keadaan istrinya jika ditinggal, bagaimana usahanya jika ditinggal
dan masih banyak lagi pikiran yang mengganggunya. Sekalipun sudah sampai di
pulau masih saja pikiran itu tak karuan.
“Mungkin
aku harus bersenang-senang di sini untuk menghilangkan mereka semua,”
batinnya.
Sehari
dua hari tidak ada yg berubah dari Tomo. Memasuki hari ketiga Tomo barulah ada
perubahan dari dirinya. Ia menemukan sebuah apartemen yang cukup besar. Dimana
tempat itu menawarkan sejumlah kesenangan dunia. Berbagai macam jenis minuman
keras tersaji dan dijual murah. Para wanita yang masih muda lagi cantik pun
menawarkan dirinya kepada Tomo semenjak ia masuk ke apartemen itu. Dan Tomo
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Lagipula terkadang beberapa dari
mereka ada yang dengan suka hati memberikan tubuhnya kepada Tomo. Hal itu yang
tidak bisa ditemukan selain di pulau Anteng ini.
Sialnya,
tepat di hari ketujuh, tiba-tiba pikiran itu kembali lagi merasuki dirinya.
Pikiran tentang istrinya dan harta bendanya mengguncang Tomo.
“Ah,
aku harus segera pulang. Pasti ada yang tidak beres.”
Di
pagi buta hari kedelapan, Tomo langsung saja melenggang kaki pergi dari pulau
Anteng. Dirinya tak sabar ingin mengetahui keadaan segala sesuatu miliknya.
Sepanjang perjalanan pulang Tomo tentu tak bisa anteng sampai dirinya
benar-benar melihat keadaan rumahnya.
“Mohon
maaf Pak. Rumah ini sudah milik saya tiga hari yang lalu. Seorang perempuan
sudah menjualnya kepada saya. Tentunya saya punya buktinya kok,” ucap
lelaki berperawakan tambun kepada Tomo tatkala ia sudah sampai di depan rumah.
Tomo
berkeyakinan bahwa istrinya telah menjual rumah megahnya ini. Dan sesegera
mungkin ia harus menghubungi istrinya. Ia telfon istrinya, tak tersambung. Ia
hubungi keluarga istrinya, mereka pun tak tahu keberadaannya. Entah wahyu dari
mana, sekelebat pikiran menyarankan Tomo bertanya kepada Arto. Barangkali ia
tahu keadaan harta dan istrinya semenjak dirinya pergi.
Sebenarnya
Tomo sangat malas sekali jika harus pergi ke tempat tinggal Arto. Letaknya yang
di pertengahan kebun, terkadang membuat ia harus berjumpa dengan hewan-hewan
yang tak disenangi seperti kaki seribu atau ular. Tapi mungkin saja hanya
dialah orang yang sangat tahu tentang istri dan hartanya. Dan mau tidak mau
Tomo harus mengunjunginya.
Belum
sampai tiga meter dari pintu masuk rumah Arto, suara lenguhan layaknya sapi
terdengar ke telinga Tomo. Beberapa pertanyaan muncul. Apakah Arto mempunyai
sapi yang ia simpan di dalam rumah? Lalu darimana ia mendapatkan sapi itu?
Bukankah ia bekerja serabutan? Dan berbagai pertanyaan mulai menggerayangi otak
Tomo. Yang jelas tidak ada jawaban selain melihat dan bertanya langsung kepada
empunya.
Semakin
mendekat, semakin jelas suara lenguhan itu. Ketika Tomo sudah masuk ke dalam
rumah, suara itu berasal dari salah satu kamar. Ia semakin penasaran. Buat apa
Arto menyimpan sapi di sebuah kamar? Walaupun Tomo benar-benar penasaran, tapi
ia harus mengendap-endap melihat sapi itu. Ia tak mau Arto melihatnya. Pasti ia
sangat marah besar kalau temannya sudah lancang memasuki kamarnya.
Pintu
kamar hendak Tomo buka. Lenguhan seperti suara sapi itu benar-benar
mengganggunya. Ia harus segera membuka dan benar-benar harus dibuka.
Betapa
terkejutnya Tomo ketika terbuka pintu kamar itu. Suara yang ia kira sapi
ternyata suara istrinya sendiri. Matanya tak bisa berkedip saat istrinya sedang
ditindih oleh tubuh temannya sendiri, Arto.
“Apa
yang kalian lakukan?” bentak Tomo.
“Tenang
Tom. Aku bisa jelaskan,” Arto hendak berkelit. Tapi sayangnya Tomo
terlanjur meninggalkan kamar itu dan menuju dapur. Berniat mengambil sebilah
pisau yang sekiranya cukup tajam.
Tentang Penulis
Bagus
Sulistio,
lahir di Banjarnegara,
16 Agustus 2000. Berdomisili
di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci,
Purwokerto.
Saat ini ia masih berstatus sebagai
mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan mentor kepenulisan cerpen di
Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto.
Ia juga menjadi wakil ketua Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Banjarnegara dan
anggota di KPBJ. Karyanya
terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen serta
tersiar pada beberapa media seperti Kompas Id, Minggu
Pagi, Solopos, Banjarmasin Post, Harian Sultra dan masih banyak lagi. Nomor
Hp/WA. 083126620440. Facebook
: Bagus Sulistio.