Mimpi Berakhir di Keranjang Salak
Karya: Leli Istikomah
“Jangan
ampuni orang macam dia!”
“Bawa
dia sampai ke ujung desa, biar dia jera!”
Kaos yang dia pakai penuh dengan
lumpur. Kedua lengan bagian bawahnya tergores aspal hingga mengeluarkan darah
segar. Mukanya terlihat sangat kacau. Pemuda berusia dua puluh delapan itu
hanya pasrah diarak dari halaman rumahnya hingga balai desa.
Bagaimana
tidak, ia ketahuan sedang melakukan hal yang tidak senonoh kepada kembang desa,
putri bungsu Pak Sugeng si juragan salak. Siapa tidak marah yang melihat anak
gadisnya diperlakukan tidak wajar hingga darah mengalir dari kemaluan.
“Semua
akan lebih fatal jika aku tak berada di sana,” Ceper, pemuda yang sedang diarak itu membatin. Ingin
sekali dia berucap seperti itu dengan suara lantang. Namun untuk membuka mulut
saja dia sudah tidak berdaya.
**
Pagi
itu, Ceper bersiap di kamarnya. Celana jeans dengan sobekan di bagian lutut,
kaos putih polos dipadukan dengan outer berbahan jeans tanpa lengan, dan tak
lupa rantai besi yang selalu menggantung di celana sebelah kanannya serta
sepatu kulit yang sudah lusuh seperti tidak pernah dicuci setengah tahun.
Seperti hari sebelumnya, dengan gaya pakaian seperti preman, Ceper pergi ke
pusat orang-orang berjualan, tepatnya di sebelah kios batu akik ada sepetak
gardu kecil di situlah dia dan gengnya nongkrong.
Dalam
perjalanan menuju markasnya, ia memikirkan gadis berparas ayu, anak juragan
salak yang setiap hari selalu memamerkan paha putihnya. Lelaki mana yang tidak
tergoda? Setiap kali dia akan menuju ke sudut pasar, si Ancal (begitulah orang
memanggil anak juragan salak) selalu berjalan dengan anggun menuju perkebunan
bapaknya. Namun yang mengganjal di sini adalah gadis secantik dan seelok dia
mau-maunya pergi ke perkebunan salak. Sudah barang pasti banyak nyamuk dan yang
lebih anehnya lagi pakaian yang ia kenakan lebih pantas untuk dipakai ke
diskotik.
Hal
itulah yang membuat Ceper memikirkan Ancal. Dia cantik tapi tidak pernah malu
untuk bersambang dengan para pekerja di kebun bapaknya. Seperti biasanya, Ceper
mendapati Ancal sedang mengawasi ibu-ibu yang tengah memangkas salak dari
pohonnya lalu memasukkan ke keranjang hingga penuh. Keranjang tersebut akan
dibawa bapak-bapak ke pinggir jalan supaya mudah untuk diangkut ke gudang
salak.
Karena
penasaran dengan apa yang dilakukan Ancal di kebun ini, Ceper menghentikan
motornya kurang lebih lima meter dari pintu kebun salak Pak Sugeng. Dia melihat
Ancal memasuki perkebunan bapaknya, padahal di hari-hari sebelumnya Ancal hanya
akan menunggu di pinggir jalan sembari mengawasi keranjang-keranjang yang sudah
dipenuhi dengan buah salak. Tanpa ragu Ceper mengikuti ke mana Ancal akan
pergi. Dia menguntit dari belakang seperti pemburu yang sedang mengincar
mangsanya. Ancal terus masuk ke dalam kebun. Di petakan pertama dia memetik
satu biji salak lalu ia buka sembarang dan memakannya. Tak ada siapapun di
kebun ini.
“Hey!
Siapa di sana?” teriak Ancal. Tubuh Ceper menegang. “Oh shit! Aku ketahuan” batin
Ceper was-was. Gadis itu terus menerawang ke sekitar. Matanya berusaha
menemukan sesuatu. Namun dia tidak menghadap ke belakang, si Kembang salak
justru terus mengitari kebun salak milik bapaknya.
“Hufftt…”
Ceper membuang nafas kasar sambil mengelap peluh yang mengalir di pelipisnya.
“Woy!
Ibu-ibu lemah dan bapak-bapak tolol! Ke mana kalian bersembunyi? Salak masih
berserakan gini malah ditinggal pergi,” Ceper terkejut dengan teriakan Ancal
yang mengeluarkan kata-kata kasar. Namun dia menahan keterkejutannya. Dia tetap
memantau Ancal di balik pohon kalbi yang tumbuh di antara beberapa pohon salak.
**
Hari
semakin terik, matahari sudah berada tepat di atas kepala. Semakin jauh Ancal
memasuki kebun, semakin banyak pula umpatan yang keluar dari mulutnya. Sesekali
dia menepuk pahanya mencoba menangkap nyamuk yang sedang menghisap darah
segarnya, namun gagal.
“Budek
kalian semua ya? Ninggalin kerjaan seenak jidat gini. Pulang nanti aku bilangin
bapak supaya kalian semua dipecat,”
“Untuk
apa dia berteriak seperti itu? Jelas-jelas tidak ada orang di sini,” Ceper
berkata pada dirinya sendiri.
Saat
Ancal hendak mengambil buah salak yang tergeletak di bawah pohon, dia melihat
ada sesuatu yang bergerak dari arah belakang. Rumput liar yang semula tenang
tiba-tiba bergerak seperti tertiup angin. Namun tidak ada angin di sini. Ceper
maju beberapa langkah memastikan bahwa dia tidak salah liat. Dan ketika jarak
pandangnya dengan sesuatu yang semakin mendekati Ancal, apa yang dia perkirakan
ternyata benar. Matanya nyalang, seperti melihat makanan lezat. Geraknya gesit
dalam hitungan ketiga semua akan terjadi. Sesaat sebelum Ceper berteriak
meminta Ancal menjauh,
Satu…
Dua… Ti…
“Awaa…”
Hap!
“Aaaa…”
gigi runcing itu tertancap di paha Ancal. Dalam hitungan detik, dapat
dipastikan bisa yang terdapat di gigi itu telah berpindah ke saluran darahnya.
Ceper
melihat sekeliling, berusaha mencari sesuatu yang dapat digunakan untuk memukul
ular berbisa itu. Di sisi kanannya, dia menemukan potongan bambu dengan panjang
sekitar setengah meter yang tengah digunakan untuk menyangga pohon salak.
Ditarik secara paksa bambu tersebut. Berhasil. Namun satu ruas pohon salak itu
tumbang mengenai tangan Ceper dan duri-duri yang menempel di sepanjang batang
menancap di punggung tangannya.
Dia
tidak peduli. Yang ia pedulikan sekarang adalah keselamatan Ancal.
Tubuh
Ancal limbung, dia kehilangan keseimbangannya. Ular kobra itu menggigit paha
kanannya. Ceper segera berlari mendekati Ancal dan berniat memukulkan bambu
yang dipegangnya ke kepala si kobra. Namun sebelum dia benar-benar sampai,
tubuh Ancal jatuh menabrak sebilah kayu yang tertancap untuk menyangga pohon
salak yang lain. Kayu tersebut tepat mengenai kemaluannya, hingga kini dia
benar-benar terjatuh di tanah dengan darah segar mengalir melumuri paha putihnya.
Mendengar
teriakan Ancal, para pekerja kebun berdatangan mencari sumber suara. Saat
sampai di sana, para pekebun melihat Ceper sedang membungkus paha Ancal dengan
outer jeans-nya. Dia berusaha menghentikan aliran darah supaya bisa yang sudah
masuk tidak menyebar ke
mana-mana. Namun yang para pekebun lihat bukan seperti
itu. Mereka semua mengira bahwa Ceper telah menodai Ancal dengan cara yang
tidak wajar. Karena hal itulah yang membuat Ceper diarak oleh warga sekampung.
Ceper
teringat dengan ibunya yang telah merawatnya hingga sebesar ini seorang diri.
Bagaimana perasaan ibunya jika tau bahwa anaknya akan dipenjara dengan dugaan
kasus asusila.
“Ibu
maafkan anakmu yang bandel ini,” rintihnya
dalam hati.
Dengan
penampilan yang seperti preman dan kebiasaan buruknya yaitu minum arak di
markasnya membuat ucapan maupun tindakannya tidak mudah dipercaya, sekalipun
itu benar. Ingin sekuat dan sejujur apapun Ceper menjelaskan, tetap dia akan
kalah.
“Ini tidak adil.” Suara Ceper terbata berusaha
menuntut keadilan. “Keadaan Ancal belum dikaji ulang, kenapa sudah diputuskan
bahwa ini kasus pelecehan?”
“Jelas-jelas
kemaluan anakku terdapat luka. Dan sebilah bambu berlumuran darah berada di
genggamanmu, mau mengelak apa lagi kamu hah?” Pak Sugeng membantah Ceper dengan
tegas.
“Bukan
sepe…”
“Cukup
saudara Ceper. Kasus ini sudah sangat jelas bahwa Anda telah melakukan hal
asusila pada saudari Ancal,” hakim memotong perkataan Ceper. Dia sadar bahwa
hukum di Indonesia ini tumpul ke bawah. Mau sekuat apa dia menjelaskan, mata,
telinga, serta mulut hakim telah tertutup dengan uang. Namun dia tidak pernah
mengira bahwa dia akan menjadi korban dari tumpulnya hukum ini.
Keputusan
di pengadilan berada di pihak si juragan salak. Ceper dijatuhi hukuman lima
tahun penjara. Dia tak bisa berbuat apa-apa sekarang. Yang bisa dilakukannya
hanyalah pasrah dan mengharap keadilan Tuhan.
Sebelum
dia dimasukan ke dalam sel, dia mengajukan satu syarat yang harus dipenuhi oleh
Pak Sugeng. Dia meminta agar setiap minggu ada satu keranjang buah berisi salak
diantarkan ke sel tempat dia mendekam. Karena dengan memakan buah salak pikiran
dan hatinya bisa tenang. Terdengar aneh memang. Namun itulah Ceper. Dia pernah
dinasihati oleh mendiang ayahnya, yang dulunya juga juragan salak bahwa
hiduplah seperti buah salak. Meskipun luarnya terlihat kasar namun dalamnya tak
sekasar yang tampak.
“Bukan
hal yang sulit untuk mengantar sekeranjang buah salak untukmu, namun saya juga
punya syarat untukmu wahai preman pasar,” ucap Pak Sugeng penuh arti.
“Apa?”
“Mendekamlah
di sel ini seumur hidup hingga kau mati di atas tumpukan salak busuk.”
**
Lima
tahun telah dilalui Ceper dengan penuh penderitaan. Sepanjang lima tahun
berjalan, Si juragan salak benar-benar memenuhi syarat Ceper untuk mengiriminya
sekeranjang salak. Namun yang ia dapatkan justru salak busuk yang tidak layak
untuk dimakan manusia. Ajudan Pak Sugeng selalu mengantar salak busuk ke sel
Ceper dalam dua bulan sekali. Tumpukan salak busuk itu ia biarkan dikerubung lalat
di pojokan sel. Anehnya, pihak lapas sendiri tidak menegur ataupun melarang
ajudan Pak Sugeng ini membawa sampah busuk ke dalam sel tahanan.
“Dia benar-benar ingin membunuh Ceper secara perlahan,
Bu,” sepulangnya dari lapas, dia mencurahkan semua yang ia rasakan selama di
sel kepada ibunya. “Namun Alhamdulillah Ceper masih bisa bertahan hidup dan
keluar dari tempat terkutuk itu.”
“Kau
beruntung nak. Ibu percaya kau anak yang kuat,” garis keriput di wajah ibunya
semakin terlihat jelas. Ditambah air mata menetes membasahi pipinya membuat
hati Ceper semakin teriris.
“Ada
sebuah rahasia masa lalu yang tidak pernah kau ketahui,”
“Apa
maksud ibu?”
“Sejak
awal kau mengatakan bahwa kau tertarik pada anak bajingan itu, Ibu
selalu merasa khawatir akan keselamatanmu,” air mata semakin deras, raut
mukanya menunjukan kebencian yang mendalam. Ceper hanya mengerutkan dahi
melihat sikap ibunya seperti ini.
“Ceper
tidak paham dengan yang Ibu katakan. Bolehkan Ibu menceritakan apa yang terjadi
sebenarnya dan apa rahasia di masa lalu itu, Bu?”
Tok..tok..tok…
Suara
itu membuat Ceper dan ibunya mengalihkan pandangan ke arah pintu kayu di
sebelah barat. Ibunya beranjak dari tempat duduk dan membukakan pintu yang tadi
diketuk dari luar. Ceper masih menunggu di tempat duduknya. Ia melihat ibunya
seperti serius sekali berbicara dengan seseorang di balik pintu. Karena
penasaran, ia menghampiri mereka. Betapa terkejutnya Ceper mendapati Pak Sugeng
tengah berdiri dengan muka tak bersahabat.
“Ada
apa lagi Pak Sugeng? Bukankah urusan kita sudah selesai?” Tanya Ceper berusaha
sesopan mungkin.
“Selesai katamu?
Lihat! Gara-gara kamu anakku belum sadarkan diri sampai sekarang.”
“Apa maksudnya?
Bukankah selama lima tahun aku dipenjara seharusnya Ancal sudah pulih
keadaannya?” dia bertanya namun tak diindahkan.
“Sudah
saatnya kamu tahu kenyataan yang sebenarnya, anakku,” pernyataan ibunya semakin
membuatnya sakit kepala.
“Bukan
hanya Ceper, tapi kamu juga Marni.” Pak Sugeng berbicara dengan penuh
penekanan. Ibunya Ceper mengerutkan dahi. Apa yang sebenarnya terjadi selama
lima tahun ini?
Ancal
dan ibunya bergegas naik ke mobil Pak Sugeng setelah berdebat panjang lebar.
Entah apa rencana Pak Sugeng kali ini. Ibunya Ceper menaruh curiga padanya,
namun rasa kecurigaan itu ia tahan demi melihat apa yang ingin dilakukan si
juragan salak ini. Pak Sugeng terus melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Harap-harap cemas Ceper berdo’a semoga Ancal, wanita yang ia kagumi dalam
keadaan baik-baik saja.
Si
juragan salak itu memarkirkan mobilnya di sebuah vila yang bisa dibilang besar.
Ada air mancur yang menyambut kedatangan mereka di halaman depan. Ceper semakin
bertanya-tanya apa sebenarnya rahasia masa lalu itu? Begitu juga dengan ibunya.
Mukanya tampak bertanya-tanya. Ia mengamati keadaan sekitar. Seperti tidak
asing. Pak Sugeng meminta mereka memasuki rumah bercatkan coklat oriental. Ia
mengarahkan mereka berdua untuk menuju sebuah kamar yang terletak di ujung
lantai dua.
Ceklek!
Suara
pintu berhasil dibuka.
Seseorang
di balik selimut itu menggeliat. Mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali
berusaha memfokuskan pandangan ke seseorang yang tengah berdiri di depan pintu.
“Loh? Apa yang ibu lakukan di situ?”
tanyanya masih setengah sadar.
“Bangun! Sudah jam berapa ini? Anak
laki-laki kok pemalas sekali,”
“Hah? Bangun? Semua ini hanya mimpi?
Jadi, rahasia masa lalu itu?”
“Rahasia apa, huh?”
“Tidak ada.”
Purwokerto, 18
Desember 2019
Leli Istikomah, lahir di Banjarnegara pada bulan
September 2001. Sekarang berdomisili di Pondok Pesantren Al-Qur’an Al Amin
Pabuwaran, Purwokerto Utara. Putri kedua dari bapak Sarto dan ibu Wahyu
Saniatun ini mempunyai hobi membaca dan menulis. Saat ini masih tercatat
sebagai mahasiswa fakultas Dakwah prodi Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) dan
sedang bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP), IAIN Purwokerto.