Puisi, Autobiografi, dan Tilas
Persinggahan
Setiap penyair boleh menuliskan apa saja dalam puisinya. Ia dapat menulis
peristiwa kelahiran, masa anak-anak, remaja, dewasa, tua, uzur, bahkan bayangan
mengenai kematian yang teramat tragis sekalipun. Penyair juga bisa menulis
berbagai hal mengenai dirinya sendiri, keluarga, pasangan hidup, sahabat
terdekat, orang lain; baik sebagai cerminan dirinya sendiri atau liyan pada
posisi yang bersebrangan (opsisi biner). Seorang penyair juga dapat menuliskan
keseluruhan anasir semesta yang melingkupi dirinya; baik secara partikular
maupun simultan. Lantaran puisi sesungguhnya hanya medium bagi penyair untuk
membocorkan penggalan-penggalan kisah hidup yang pernah dialaminya.
Puisi adalah media atau wadah; tempat segala hal dapat dituturkan dengan
leluasa. Pada puisi, seorang penyair dapat menuturkan peristiwa yang paling
primordial sekalipun; peristiwa yang paling pribadi, bahkan paling azasi. Lewat
puisi, seorang penyair bisa menggelorakan perasaannya, bahkan emosi yang paling
liar dan banal dapat dikandangkan di dalamnya.
Puisi merupakan alat ungkap yang cukup efektif bagi penyair untuk
menyuarakan gagasan atau opini terhadap kegalauan mengenai apa saja. Dengan
puisi, penyair dapat mempresentasikan pandangannya mengenai diri dan mengenai
segala sesuatu di luar dirinya. Puisi merupakan persprektif, tempat penyair
meletakan citra dengan angel tertentu
terhadap segala sesuatu. Pada puisi, ia membangun komposisi yang paling efektif
untuk menggambarkan keberadaan dirinya di antara sekian banyak persoalan hidup.
Puisi selalu hadir dengan muatan-muatan subjektif penyairnya. Meski demikian, ia acap kali dapat mewakili subjek
kolektif yang lebih besar. Puisi seperti itu hanya dapat ditulis oleh penyair
yang telah sadar mengenai posisinya sebagai bagian tak terpisahkan dari entitas kolektif. Atau, puisi seperti itu juga dapat
ditulis oleh penyair yang dengan sadar ingin memosisikan puisinya pada titik
tertentu.
Pada level ini, seorang penyair
menyadari sepenuhnya; apa tujuan yang hendak ia capai setelah puisi ditulis.
Puisi yang lahir tidak lagi sekedar komposisi puitis yang sengaja dibangun
dengan eksperimentasi bahasa. Kekuatan puisi bukan pada pilihan kata atau diksi
yang dicari-cari unsur kepuitisannya. Penyair tidak lagi menggantungkan daya
evokasi puisi pada aspek artistik linguistik.
Namun, puisi yang demikian justru ditulis dengan kesadaran berbahasa yang
paripurna. Penyair yang telah selesai dengan persoalan kebahasaanya, sudah
tidak tertarik dengan eksperimentasi bahasa dalam puisi. Satu-satunya hal yang
mendorong penyair menulis puisi adalah lantaran dia menyadari bahwa puisi
menyediakan ruang segar bagi tumbuhnya ungkapan yang paling selaras dengan apa
yang ingin disampaikan.
Kesadaran berbahasa membuat penyair memberikan prioritas pada aspek
keberhasilan komunikasi pesan yang ingin disampaikan dalam puisi.
Ketidaksadaran dalam berbahasa, membuat seorang penyair sibuk memilih kata yang
merupakan bahan mentah bagi metafora atau gaya ungkap lain dalam puisinya.
Kesadaran berbahasa yang baik meyakinkan penyair bahwa bahasa hanya laras
untuk menembakkan intensi atau maksud tertentu. Melewati lobang yang membentuk
cerobong pendek, wacana dilesatkan pada siapapun yang membaca puisinya.
Kepiawaian dalam menimbang bobot wacana -sebagai mesiu dalam peluru- menjadi
penentu pemilihan laras yang tepat. Dengan begitu, komposisi ungkapan yang ia
bangun pada puisi semata-mata dibuat dengan pertimbangan soal urgensi wacana.
Penting-tidaknya wacana menjadi landasan dalam menyusun komposisi ungkapan atau
metafora.
Bukan sebaliknya; kata dipilih-pilih, dicocok-cocokkan, diramu, dijahit
sedemikian rupa untuk menciptakan cita rasa dan citra atau kesan; seolah-olah
wacana itu penting disampaikan melalui medium puisi. Inilah impresi yang saya
dapatkan sekitar satu dekade yang lalu, saat pertama membaca puisi-puisi karya
Arif Hidayat, sekitar tahun 2007.
Impresi tersebut boleh jadi keliru, apalagi saya mengungkapkannya sepuluh
tahun berselang. Apalagi saat saya berhadapan dengan buku terbaru, kumpulan
puisi terpilih bertajuk Air Mata Manggar
(AMM), Penerbit Basabasi, 2018.
Syahdan, saya teringat dengan puisi-puisi Arif yang ditulis kisaran tahun
2007. Ada tiga puisi yang termaktub dalam antologi bertajuk Syair-syair Fajar; antologi Puisi 19 Penyair
Universitas Muhammadiyah Purwokerto (selanjutnya disingkat SSF). Buku tipis ini merupakan hasil kuliah
kewirausahaan bidang bahasa dan sastra –kalau saat ini, pasti akan disebut
dengan istilah kewirausahaan literasi puisi-. Sebelum menulis, 19 penyair
mengikuti serangkaian pelatihan. Hasilnya dibukukan secara indie melalui
penerbit CV. Mimbar Media utama, Semarang.
Saya buka arsip lama ini untuk meyakinkan; bahwa kesan saya terhadap puisi
Arif pada mula kemunculannya tidak keliru. Arif menulis puisi tanpa kesadaran
berbahasa yang baik. Ia cenderung sibuk melakukan eksperimentasi bahasa dengan
menjalin-jalin kata tanpa memikirkan
keberhasilan komunikasi pesan pada pembaca.
Doa
Kuuntai sebuah nama Besar
Seperti menanam benih
Pada lari-larik surat-Mu
Cahaya menyala dalam embun
Mengurai tirai cakrawala
Lembah berdiam para malaikat
suci
Kuuntai sebuah nama Besar
Untuk melepas getar dada
Yang kumuh dan kotor
2007
(SSF, 2007;14)
Pada puisi bertajuk ‘Doa’, saya melihat penyair begitu disibukan mencari
kata-kata yang seindah-indahnya, yang begitu dalam maknanya, sehingga
benar-benar mewakili perasaannya. Penyair berupaya menciptakan ungkapan yang
paling puitis untuk mengemas gagasannya mengenai doa. Pada tiga larik pembuka
puisi, saya merasakan adanya emosi yang kuat pada diri aku lirik yang ingin
mendefinisikan doa sebagai permintaan paling pribadi pada Tuhan. Tetapi ia
belum begitu berhasil.
Kemudian, proses penjilidan kata-kata yang telah dipilih dilakukan secara
sembarangan. Ini saya temukan pada alinea kedua. Ungkapan Cahaya menyala dalam embun/ Mengurai tirai cakrawala/. Aku lirik
begitu mempertimbangkan diksi sebagai unsur puitik, tetapi ini menjebak penyair
jatuh pada ungkapan hiperbolik yang tidak perlu. Misalnya pada ungkapan /Lembah berdiam para malaikat suci//.
Dalam konsepsi Islam, malaikat tidak berdiam di lembah dan tentu saja semua
malaikat itu suci.
Secara keseluruhan puisi ‘Doa’ tidak mengandung wacana yang penting. Aku lirik
hanya sekedar mencoba mendefinisikan doa. Dan itupun belum sepenuhnya berhasil. Doa atau permohonan pada Tuhan
hanya sekedar untaian /… sebuah nama
Besar/ yang digunakan /Untuk melepas
getar dada/ Yang kumuh dan kotor//. Puisi ini agaknya ditulis dengan
melupakan wacana dan dipenuhi ketidaksadaran berbahasa. Penyair diliputi
ketegangan antara menulis suatu pesan dan meluapkan emosi secara puitis.
Meski mengangkat tema yang sama; doa, tetapi kesadaran berbahasa dan
berwacana cukup kuat terasa pada dua puisi dalam buku AMM. Puisi pertama
berjudul ‘Doa Tanpa Arah’ (DTA) yang dipersembahkan untuk ‘Pak Har dan Zein’
(halaman 50-51). Puisi kedua bertajuk ‘Doa untuk Padang Pasir’ (DPP), (halaman
101-103).
Puisi pertama menawarkan wacana mengenai kegundahan seorang yang berada
pada situasi tidak menentu. Angin yang
melaju bersama bongkahan air matamu/ menyerupai serbuk hujan, telah
memporak-porandakan/ keanggunan pohon dan rerumputan yang ditanam leluhur/
sebagai penanda tempatnya singgah//. Betapa angin yang biasa mengantarkan
sampan dalam keluasan semesta/ telah mengubah peta ingatan//. “Ah, itu hanya
sejarah yang ditulis oleh bayi kemarin sore” katamu sambil berdoa untuk membaca
kepastian dalam musim.
Penyair melalui puisi ini menempatkan ketidak-menentuan sebuah kondisi
sebagai sebuah wacana. Ada sejenis kegalauan, perasaan takut, khawatir,
was-was, bimbang, sehingga memunculkan doa yang disimpul dengan ungkapan ‘tanpa
arah’. Doa tanpa arah adalah sebuah kata kunci yang dapat digunakan untuk
menera berbagai kemungkinan lain yang dapat ditangkap dan dieksplorasi pembaca puisi.
Kondisi yang tidak menentu ini dipertegas pada alinea kedua dan ketiga. “Aku ingin menangkap ikan dan lobster untuk sebuah ingatan yang
dangkal” lagi-lagi kau berkata sambil berdoa dan mengkhayalkan sesuatu yang
tidak ada. Alinea ketiga; Berlayar-layar/ Teriak sorai sebelum angin sakal bermusim-musim
beruntuhkan jerit doa yang kau panjatkan tanpa arah dan
kepastian./
Aku lirik pada puisi ini menempatkan dirinya berada di laur wacana. Namun,
ia memilih angel orang pertama yang
terlibat dalam suatu dialog dan dialektika. Ia juga bertindak sebagai narator.
Sementara itu, pada puisi kedua; DPP, penyair hanya bertindak sebagai narator.
Ia membangun narasi yang jelas mengenai derita rakyat Palestina. Di sini,
penyair dengan gamblang menjadikan rakyat Palestina sebagai subjek yang di-mention dalam doa. Ada begitu banyak
wacana yang dapat dikembangkan oleh pembaca.
Kedua puisi ini dibangun dengan komposisi bahasa yang relatif
diperhitungkan. Ini jelas berbeda dengan puisi bertajuk ‘Doa’ yang ditulis
penyair pada awal karir kepenyairannya. Di sana jelas terasa, puisi tidak
mengandung diskursus apapun di luar diri penyairnya. Sementara dua puisi
lainnya berupaya menyuguhkan kemungkin lain di luar diri penyair sebagai
diskursus.
Dari aspek linguistik, dua puisi terbaru itu mampu menampilkan citra diri
penyairnya sebagai seorang penulis yang memiliki kesadaran dan kompetensi yang
mumpuni dalam berbahasa. Penyair memilih menggunakan kalimat majemuk bertingkat
untuk membangun wacana dalam puisinya. Penggunaan kalimat majemuk bertingkat
pada puisi memang cukup efektif dalam rangka menyusun teks-teks yang
berkelindan. Berbagai teks dapat dijalin dalam satu tarikan nafas. Meski cukup
panjang, tetapi memberikan ruang yang luas bagi pembaca untuk melakukan
pertukaran wacana.
Setelah melalui berbagai diskursus, pada akhirnya apa yang ditulis oleh
penyair sebagai puisi adalah sebuah autobiografi. Ia memang tidak serta-merta berbicara mengenai dirinya sendiri
sebagai pusat. Ia tidak berkisah mengenai diri sebagai subjek yang otonom dan
menguasai keseluruhan ruang dalam bangunan puisi. Namun puisi yang ditulis
sesungguhnya merepresentasikan narasi penyair sebagai subjek yang dinamis,
bergerak ke luar mencari wacana dan menawarkannya ulang pada liyan, serta
sesekali pulang ke dalam dirinya, menemukan teks yang tersedia untuk ditukar
tambah dengan teks di luar dirinya.
Puisi sebenarnya adalah sebuah autobiografi. Di dalamnya termuat secara laten berbagai kisah diri penulisnya,
pengalaman hidup, pandangan dunia, opini, serta kisah-kisah liyan yang membekas
dalam ingatannya. Puisi merupakan rekam jejak penyairnya. Ia tidak dapat
dilepas begitu saja, tidak bisa dipegat, dijarakkan, apalagi diperlakukan
sebagai objek yang otonom. Puisi tidak pernah menjadi objek yang tunggal, ia
selalu terikat secara laten. Terdapat benang merah antara puisi dengan penyair
sebagai pelaku maupun sebagai pengisah.
Puisi sendiri memiliki biografi yang tidak lepas dari riwayat hidup
penyairnya. Itulah sebabnya, puisi acap kali bercerita tentang banyak subjek
dengan berbagai peristiwa, dan tempat atau latar tertentu. Puisi selalu
menyediakan berbagai teks, baik sebagai bahan mentah yang dapat dielaborasi,
maupun teks sebagai menu jadi yang siap dinikmati.
Puisi juga dapat menyediakan nomenklatur pribadi dan alamat-alamat yang
mudah ditelusuri sebagai referensi. Ia tidak pernah berdiri sendiri sebagai
teks. Puisi selalu ditulis dengan posisi tertentu; di dalam, di luar, di
sebelah, diposisikan sebagai opisisi atau bahkan reposisi dari teks lain. Dilihat
dari dalam, puisi merupakan tilas yang mengandung nilai sejarah bagi
penyairnya. Dilihat dari luar, puisi adalah tilas yang menyediakan sistem tanda
terbuka bagi siapapun yang hendak menerka.
Dalam konteks inilah saya membaca puisi-puisi Arif Hidayat yang ditulis dan
dibukukan setelah rentang waktu satu dekade. Buku puisi AMM merupakan
autobiografi penyair dan puisi itu sendiri. Dengan berbagai semion, Ia
menyediakan rambu dan peta jalan bagi pembaca yang ingin menelusuri tilas
wacana dan kisah-kisah lain yang tersembunyi. (*)
Tentang Penulis
Teguh Trianton, lahir di sebuah desa
terpencil di kaki Gunung Slamet, Desa Pagerandong, Kec. Mrebet, Kab.
Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 28 Desember 1978. Pernah bekerja sebagai
wartawan. Tulisannya berupa puisi, artikel, dan esai telah diterbitkan di
Harian Bernas Jogja, Minggu Pagi, Solo Pos, Suara Pembaruan, Radar Banyumas,
Suara Karya, Suara Merdeka, dll. Buku antologi yang pernah terbit; puisi
‘jiwa-jiwa mawar’ (Buku Laela 2003), antologi Temu Penyair Antar Kota
Pendhapa-5 (TBJT 2008), dan lain sebagainya.
Email : anton_aktualita@yahoo.com .
[1] Esai ini merupakan
catatan pengantar yang disampaikan pada diskusi dan peluncuran buku antologi
puisi bertajuk Air Mata Manggar, yang
dihelat oleh Komunitas Penyair Institut (KPI) Purwokerto.
[2] Teguh Trianton, penggemar
puisi, alumni Program Doktor PBI UNS, mengajar di Prodi PBSI FKIP UM Purwokerto