ANAI
Sia-sia,
menyalahkan jalan berkelok
Sementara lembah
tidak mengeluh
Menampung percik-percik
purbakala
Cuma bagaimana
menarik nafas
Di tengah daunan
yang memaknai sunyi dengan gemuruh
Di sini kurindukan
kupu-kupu
Untuk terbang ke
dalam angan-anganku
Sebelum selembar
rumput
Menunjukkan bagian
langit yang lembut
Kunyanyikan
parauku
Dalam dahaga yang
paling kemarau
Entah siapa yang
menyahut di
seakan seorang munsyi
Menyebut sebuah
nama
Seperti bertahan
menjalankan tahun
Hari dan menit
dilompati anjing pemburu
Aku terharu, ada
yang tak terkejar
Seperti
kata-kata yang mengental jadi kelenjar
HUTAN
Tak ada alasan,
akar itu tidak berayun
Sedangkan hutan
telah menetapkan lebatnya
Di bawah asuhan
kelopak nyanyian burung
Ayat-ayat bicara
dalam denyut nadi
Bahwa aku tidak
sendiri, tidak sendiri
Ayat-ayat terus bicara
Rintik hujan
membacanya dalam bahasa cuaca
Tiba-tiba aku
kehilangan segalanya, hatiku karu
Padahal hutan tak
menyimpan penjuru angin
Kuikuti langkah
semut pelan-pelan
Beringsut memandu
ketidakpastian
Air terus menderas
tanpa merasa dirinya hujan
Dan aku menyadari
basah,
Sehingga semesta
daun kudengar lagi
Dan kudengar lagi
Kejauhan yang
sayup menyimpan embun
Menyimpan
bisik-bisik tersunyi rahasia pantun
HARUSLAH
Kabut inilah yang
menyapuku di sini
Sambil menafsirkan
senyum ibu yang selalu berdebur
dalam sukmaku
Dan aku serasa
menjadi anak-anak kembali
dengan luka yang
fitrah
Tapi anehnya, di
air sawah itu terbayang
senyum Munir
senyum Bernazir
yang tak lagi
memerlukan tafsir
Karena semua
kembali ke awal yang menyimpan akhir
Dan itu tersirat
pada Ismail
yang karena
mengerti asalnya hujan, asalnya zamzam
ia menyerah untuk
sebuah pencerahan
Karena hakikat tak
perlu tamsil
Bayangkan, kabut
ini akan terusir
Seandainya
daun-daun di bukit itu serentak mengalir
Sebaiknya ada
helai-helai yang setia
membisikkan ruh
gurindam yang tak berakhir
ENGKAU
Pada secangkir
kopi hitam
Terbayang wajahmu
Masih menyanyikan
lagu yang dulu
Zaman memang melompat
Tapi lagumu masih
ingin kudengar
Untuk menghormati kedalaman
hutan belukar
Dan cangkir ini,
bukan hanya keramik
Tapi jadi bagian
dari rongga dadaku
Untuk sebuah dulu
yang jadi nanti
Karena nurani tak
bisa diganti
Seperti nyawa
Yang tak boleh
cair jadi rawa
Tempat berbiak
ular dan buaya
Dan engkau tetap
masih kurindu
Dalam susunan kata
tempat memancar air susu
MEMBACA ALIF
Aku belajar kembali
Membaca alif dalam
diriku
Tapi yang kueja
tak hanya alif
Juga ba, dan ta,
bersama segulung ombak
Karang, dan akar ambacang
Yang semuanya
mengetuk senar nadiku
Menjadi selantun
lagu
Yang panjang dan
tak selesai
Dalam begini aku
hanya terpaku
Tapi bisik-bisik
terus mengepungku
Mengajarku
menikmati bisu
Sampai menjelma
menjadi sebuah buku
Aku kembali
belajar menemukan
Mengaji alif dalam
bisuku
Langit pangkalnya,
bumi ujungnya
Sedangkan aku tak
jelas di surau mana
Saat aku tak jelas
di mana
Tempat-tempat
telah lenyap
Kecuali kiblat
BAMBU
Suara bambu
bernama saluang
Mengambang di
angkasa Minang
Sejarah yang
maunya diam, bicara juga
Tentang kancil,
gajah, dan cakar harimau
Yang membuat orang
jadi parau
Jangan remehkan
bambu
Terutama saluang
Karena hati orang
yang lidas oleh sejarah
Menjeritnya lewat
saluang
Diiringi bumi yang
makin parau
Jangan remehkan semua
bambu
Meskipun bukan
saluang
Karena bambu
runcing yang jadi tombak
Telah melahirkan
ribuan pandu
Yang diasuh bumi
jadi pendekar
MEMBACA AKAR
Untuk Gus Tf
Suatu hari aku
harus mengaji akarmu
Menelusuri nadimu
menyusu bumi
Bulan yang tak
bertanggal dan matahari yang tak berhari
Menyobek kalender
agar waktu tak basi
Meskipun jalan tetap
berbatu dan kanan kiri masih berduri
Karena akar satu
saat adalah kaki
Kita berjalan
meninggalkan bulan dan matahari
Kita mencari dunia
lain yang dirindukan bumi
Untuk kemudian kita
menjadi manusia lagi
Akarmu yang
berpilin, memang harus berpilin
Agar daun-daunmu
menyanyikan lagu yang lain
Akarmu yang
berjalin, berjalin-jalin
Mengekarkan kekal
pada kata-kata
Sampai aku
bertanya, sukmaku berjalan atau menjalar?
MENGHITUNG
KELOK
Untuk Abrar Yusra
Pada kelok pertama, detik-detik sudah lama
dimulai
Sejarah tetap terekam, dan sebagian jadi
buku
Kau dan aku yang membacanya
Bisa memetik buah yang beda
Pada kelok kedua aku bertemu Haji Miskin
Dari kembang senyumnya yang mengisyaratkan
kasih
Terpaksa membuat daun pandan
Menjelma pedang, dan pagar mesjid menjadi
senapan
Untuk menghargai manusia
Pada kelok ketiga, kau dan aku bertengkar
Tentang kelebihan kabut dan awan
Padahal di atas Kabil dan Habil ada Jibril
Tapi kenapa aku lebih berbangga pada bedil
Tak sedikitpun tersentuh
Pada ubun langit yang hamil
Pada kelok keempat, seharusnya aku dan kau
Merasa bosan pada lagu lama yang tengik
Yang membuat kita lupa
Bahwa kita sama-sama putra ibunda
Pada kelok kelima kita berjabat tangan
Jauh dari suara bising dan dentum
Dalam hutan yang lebat ini
Kita dua lembar daun dari pohon yang sama
Di luar kita banyak senyum yang lebih ranum
Pada kelok yang kesekian
Kita nikmati senyum ibunda
Yang tak akan pernah tua
PADA SEBUAH KOMA
Pada sebuah koma
yang harus aku jeda sebentar
Tiba-tiba aku
terlantar, terkapar
Walau kepala
kuangkat untuk sadar
Huruf-huruf sudah
pudar
Untung, yang
terkari masih akar
Yang kutahu
kemudian, mulut-mulut yang saling gampar
Lalu gaduh
beredar, memacu sekian halilintar
“Ini melebihi
tsunami”, katamu
Ayat-ayat kucari
dalam diriku
Tak tersua, tak
kutemu
Yang ada hanya bajak
yang tidur tanpa kerbau
Kubajak otakku, kubajak
hatiku
Kucangkul
jantungku sampai empedu
Letih menindihku
berton-ton
Dan aku menyerah
dalam lena yang pasrah
Dalam tidur aku
tak tahu beda menit dan tahun
Hingga aku kembali
tegak berdestar pantun
MENDERAS
Menderas sungai dalam sukmaku berkibar bendera di haluan
bidukku, aku berdayung dan terus berdayung dengan laju dan lagu sampai aku
ketemu bayang-bayangku yang sedang mengaji di atas sebuah batu di tepi lubuk
pencerahan. Angin tetap berkibar walau tak bisa meniru bendera. Makna-makna
berlepasan dari daun-daun yang berayun. “Engkau?” tanya bayang-bayangku. “Aku,”
jawabku dengan wajah yang kaku. “Bukankah kau bayang-bayangku yang selalu
muncul tiap aku berkaca?” Bayang-bayang itu memelukku melebihi saudara.
Katanya, “Betul! Senang sekali aku bertemu denganmu. Tapi izinkan aku tak ikut engkau ke neraka.”.
Tentang Penyair
D.
Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang,
Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal,
nasional, dan internasional. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura,
Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan
Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku
Airmata (1985), (5) Celurit Emas
(1986), (6) Derap-derap Tasbih
(1993), (7) Berlayar di Pamor Badik
(1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang
(1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku
Angin (1996), (10) Madura, Akulah
Darahmu (1999), (11) Kujilat Manis
Empedu (2003), (12) Cinta Ladang
Sajadah (2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan beberapa lainnya.
Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam dari Dusun (2000). D. Zawawi
Imron pernah juara pertama menulis puisi di AN-teve
(1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia
(MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002).
Sastrawan-budayawan ini memenangkan
Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA
Write Award 2011 dari Kerajaan
Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron
mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa
kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Pada Minggu, 9 Desember
2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan
dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron,
atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan
kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.
Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang,
Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal,
nasional, dan internasional. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura,
Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan
Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku
Airmata (1985), (5) Celurit Emas
(1986), (6) Derap-derap Tasbih
(1993), (7) Berlayar di Pamor Badik
(1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang
(1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku
Angin (1996), (10) Madura, Akulah
Darahmu (1999), (11) Kujilat Manis
Empedu (2003), (12) Cinta Ladang
Sajadah (2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan beberapa lainnya.
Imron pernah juara pertama menulis puisi di AN-teve
(1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia
(MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002).
Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA
Write Award 2011 dari Kerajaan
Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron
mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa
kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Pada Minggu, 9 Desember
2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan
dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron,
atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan
kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.