Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Puisi

Puisi D. Zawawi Imron

Admin by Admin
24 Oktober 2021
0
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter

 


ANAI

 

Sia-sia,
menyalahkan jalan berkelok

Sementara lembah
tidak mengeluh

Menampung percik-percik
purbakala

Cuma bagaimana
menarik nafas

Di tengah daunan
yang memaknai sunyi dengan gemuruh

 

Di sini kurindukan
kupu-kupu

Untuk terbang ke
dalam angan-anganku

Sebelum selembar
rumput

Menunjukkan bagian
langit yang lembut

 

Kunyanyikan
parauku

Dalam dahaga yang
paling kemarau

Entah siapa yang
menyahut di sana,
seakan seorang munsyi

Menyebut sebuah
nama

 

Seperti bertahan
menjalankan tahun

Hari dan menit
dilompati anjing pemburu

Aku terharu, ada
yang tak terkejar

Seperti
kata-kata yang
mengental jadi kelenjar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HUTAN

 

Tak ada alasan,
akar itu tidak berayun

Sedangkan hutan
telah menetapkan lebatnya

Di bawah asuhan
kelopak nyanyian burung

Ayat-ayat bicara
dalam denyut nadi

Bahwa aku tidak
sendiri, tidak sendiri

 

Ayat-ayat terus bicara

Rintik hujan
membacanya dalam bahasa cuaca

Tiba-tiba aku
kehilangan segalanya, hatiku karu

Padahal hutan tak
menyimpan penjuru angin

 

Kuikuti langkah
semut pelan-pelan

Beringsut memandu
ketidakpastian

Air terus menderas
tanpa merasa dirinya hujan

Dan aku menyadari
basah,

Sehingga semesta
daun kudengar lagi

 

Dan kudengar lagi

Kejauhan yang
sayup menyimpan embun

Menyimpan
bisik-bisik tersunyi rahasia pantun

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HARUSLAH ADA HELAI-HELAI

 

 

Kabut inilah yang
menyapuku di sini

Sambil menafsirkan
senyum ibu yang selalu berdebur

dalam sukmaku

Dan aku serasa
menjadi anak-anak kembali

dengan luka yang
fitrah

 

Tapi anehnya, di
air sawah itu terbayang

senyum Munir
senyum Bernazir

yang tak lagi
memerlukan tafsir

Karena semua
kembali ke awal yang menyimpan akhir

 

Dan itu tersirat
pada Ismail

yang karena
mengerti asalnya hujan, asalnya zamzam

ia menyerah untuk
sebuah pencerahan

Karena hakikat tak
perlu tamsil

 

Bayangkan, kabut
ini akan terusir

Seandainya
daun-daun di bukit itu serentak mengalir

Sebaiknya ada
helai-helai yang setia

membisikkan ruh
gurindam yang tak berakhir

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ENGKAU

 

Pada secangkir
kopi hitam

Terbayang wajahmu

Masih menyanyikan
lagu yang dulu

Zaman memang melompat

Tapi lagumu masih
ingin kudengar

Untuk menghormati kedalaman
hutan belukar

 

Dan cangkir ini,
bukan hanya keramik

Tapi jadi bagian
dari rongga dadaku

Untuk sebuah dulu
yang jadi nanti

Karena nurani tak
bisa diganti

Seperti nyawa

Yang tak boleh
cair jadi rawa

Tempat berbiak
ular dan buaya

 

Dan engkau tetap
masih kurindu

Dalam susunan kata
tempat memancar air susu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MEMBACA ALIF

 

Aku belajar kembali

Membaca alif dalam
diriku

Tapi yang kueja
tak hanya alif

Juga ba, dan ta,
bersama segulung ombak

Karang, dan akar ambacang

Yang semuanya
mengetuk senar nadiku

Menjadi selantun
lagu

Yang panjang dan
tak selesai

 

Dalam begini aku
hanya terpaku

Tapi bisik-bisik
terus mengepungku

Mengajarku
menikmati bisu

Sampai menjelma
menjadi sebuah buku

 

Aku kembali
belajar menemukan

Mengaji alif dalam
bisuku

Langit pangkalnya,
bumi ujungnya

Sedangkan aku tak
jelas di surau mana

 

Saat aku tak jelas
di mana

Tempat-tempat
telah lenyap

Kecuali kiblat

 

 

 

 

 

 

 

 

BAMBU

 

 

Suara bambu
bernama saluang

Mengambang di
angkasa Minang

Sejarah yang
maunya diam, bicara juga

Tentang kancil,
gajah, dan cakar harimau

Yang membuat orang
jadi parau

 

Jangan remehkan
bambu

Terutama saluang

Karena hati orang
yang lidas oleh sejarah

Menjeritnya lewat
saluang

Diiringi bumi yang
makin parau

 

Jangan remehkan semua
bambu

Meskipun bukan
saluang

Karena bambu
runcing yang jadi tombak

Telah melahirkan
ribuan pandu

Yang diasuh bumi
jadi pendekar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MEMBACA AKAR

                        Untuk Gus Tf

 

Suatu hari aku
harus mengaji akarmu

Menelusuri nadimu
menyusu bumi

Bulan yang tak
bertanggal dan matahari yang tak berhari

Menyobek kalender
agar waktu tak basi

Meskipun jalan tetap
berbatu dan kanan kiri masih berduri

 

Karena akar satu
saat adalah kaki

Kita berjalan
meninggalkan bulan dan matahari

Kita mencari dunia
lain yang dirindukan bumi

Untuk kemudian kita
menjadi manusia lagi

 

Akarmu yang
berpilin, memang harus berpilin

Agar daun-daunmu
menyanyikan lagu yang lain

Akarmu yang
berjalin, berjalin-jalin

Mengekarkan kekal
pada kata-kata

Sampai aku
bertanya, sukmaku berjalan atau menjalar?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MENGHITUNG
KELOK

                        Untuk Abrar Yusra

 

 

 

Pada kelok pertama, detik-detik sudah lama
dimulai

Sejarah tetap terekam, dan sebagian jadi
buku

Kau dan aku yang membacanya

Bisa memetik buah yang beda

 

Pada kelok kedua aku bertemu Haji Miskin

Dari kembang senyumnya yang mengisyaratkan
kasih

Terpaksa membuat daun pandan

Menjelma pedang, dan pagar mesjid menjadi
senapan

Untuk menghargai manusia

 

Pada kelok ketiga, kau dan aku bertengkar

Tentang kelebihan kabut dan awan

Padahal di atas Kabil dan Habil ada Jibril

Tapi kenapa aku lebih berbangga pada bedil

Tak sedikitpun tersentuh

Pada ubun langit yang hamil

 

Pada kelok keempat, seharusnya aku dan kau

Merasa bosan pada lagu lama yang tengik

Yang membuat kita lupa

Bahwa kita sama-sama putra ibunda

 

Pada kelok kelima kita berjabat tangan

Jauh dari suara bising dan dentum

Dalam hutan yang lebat ini

Kita dua lembar daun dari pohon yang sama

Di luar kita banyak senyum yang lebih ranum

 

Pada kelok yang kesekian

Kita nikmati senyum ibunda

Yang tak akan pernah tua

 

 

 

 

 

 

 

 

PADA SEBUAH KOMA

 

 

 

 

Pada sebuah koma
yang harus aku jeda sebentar

Tiba-tiba aku
terlantar, terkapar

Walau kepala
kuangkat untuk sadar

Huruf-huruf sudah
pudar

Untung, yang
terkari masih akar

 

Yang kutahu
kemudian, mulut-mulut yang saling gampar

Lalu gaduh
beredar, memacu sekian halilintar

“Ini melebihi
tsunami”, katamu

Ayat-ayat kucari
dalam diriku

Tak tersua, tak
kutemu

Yang ada hanya bajak
yang tidur tanpa kerbau

 

Kubajak otakku, kubajak
hatiku

Kucangkul
jantungku sampai empedu

Letih menindihku
berton-ton

Dan aku menyerah
dalam lena yang pasrah

Dalam tidur aku
tak tahu beda menit dan tahun

Hingga aku kembali
tegak berdestar pantun

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MENDERAS

 

 

Menderas sungai dalam sukmaku berkibar bendera di haluan
bidukku, aku berdayung dan terus berdayung dengan laju dan lagu sampai aku
ketemu bayang-bayangku yang sedang mengaji di atas sebuah batu di tepi lubuk
pencerahan. Angin tetap berkibar walau tak bisa meniru bendera. Makna-makna
berlepasan dari daun-daun yang berayun. “Engkau?” tanya bayang-bayangku. “Aku,”
jawabku dengan wajah yang kaku. “Bukankah kau bayang-bayangku yang selalu
muncul tiap aku berkaca?” Bayang-bayang itu memelukku melebihi saudara.
Katanya, “Betul! Senang sekali aku bertemu denganmu. Tapi izinkan aku tak ikut engkau ke neraka.”.




Tentang Penyair

D.
Zawawi Imron,
lahir di Batang-Batang,
Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal,
nasional, dan internasional. Buku puisinya (1)
Semerbak Mayang (1977), (2) Madura,
Akulah Lautmu
(1978), (3) Bulan
Tertusuk Lalang
(1982), (4) Nenekmoyangku
Airmata
(1985), (5) Celurit Emas
(1986), (6)
Derap-derap Tasbih
(1993), (7)
Berlayar di Pamor Badik
(1994), (8)
Laut-Mu Tak Habis Gelombang
(1996), (9)
Bantalku Ombak Selimutku
Angin
(1996), (10) Madura, Akulah
Darahmu
(1999), (11) Kujilat Manis
Empedu
(2003), (12) Cinta Ladang
Sajadah
(2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan beberapa lainnya. 

Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam dari Dusun (2000). D. Zawawi
Imron pernah j
uara pertama menulis puisi di AN-teve
(1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia
(MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002). 

Sastrawan-budayawan ini memenangkan
Hadiah
Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA
Write Award 2011
dari Kerajaan
Thailand.
Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron 
mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa
kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura.
Pada Minggu, 9 Desember
2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan
dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron,
atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan
kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.

 

 

 

 

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In