PADA SUATU SENJA
pada
suatu senja ia duduk sendiri di sudut
ruang tak bertuan itu
dibiarkannya pintunya terbuka agar ia dapat menatap sayu matamu
atau melihat langkahmu yang senantiasa bergegas saat kau menaiki
atau menuruni tangga yang entah berapa kali telah kaulalui selama ini
sayang hingga kopi di gelas tinggal sekali seruput
kau belum juga melintas
maka rinai hujan di ujung senja itu
dirasakannya bagai hujan salah musim
dan janin puisi yang disemai di hati
untuk menandai kehadiranmu pun akhirnya
rontok
ah, andai saja kau merasakan debar di
dadanya saat itu
sayang …
JAM
jam adalah mata
adalah lensa yang bercerita tentang
perjalanan kita
menggugah ingatan tentang kisah lama
jam adalah masa
adalah himpunan detik yang berkisah tentang masa remaja
masa ketika aku dan kau masih belia
jika aku mengenangnya
aku bagai hidup kembali di masa muda
masa ketika aku dan kau masih gemar
dimanja
jejak anak muda
apalagi kalau bukan kisah kebengalan remaja
mencari jatidiri lewat bermacam gaya
jumawa adalah mahkotanya
amarah jadi andalannya
makin gila manakala dicerca
jiwa anak muda
adalah jiwa
pemberontak
melawan kemapanan
jiwa anak muda
adalah anti pengekangan
menafikan semua aturan
jiwa anak muda
asal protes dan
teriak
main gebrak dan
main tolak
jika aku mengenangnya
aku bagai hidup di masa itu
masa ketika kita masih dikuasi nafsu
jika aku
mengenangnya
aku teringat pada
jam yang melekat di tanganmu
maukah kau kini
mengembalikan jam itu padaku
KETIKA MALAM
TERJERANG
kau pun berharap gerimis menitik di bumi
atau setidaknya ada yang menabur angin
ketika malam terjerang dan mengejang
ada kerlip bintang di langit yang samar
tapi jangan kaucari kucing dalam pangkuan dewi sri
di terang bulan seperti yang pernah diceritakan ibumu
ketika kau masih kanak-kanak dulu
sebab bulan pun kini telah lebam terjaring awan
ada baiknya kau menepi dan kembali
agar matamu terhindar dari tangis kartu
yang sejak sore tadi dikocok dan dibanting
oleh tangan-tangan berotot penggilanya
kepul asap dari tuba yang terselip di mulut mereka
sungguh berbahaya bagi laki-laki sepertimu
yang entah berapa ribu sel di tubuhmu
telah meranggas ditebas pedang waktu
menghayati komposisi dengkur anak lanang
dalam cuaca yang kurang ramah dan bersahabat
jauh lebih bermakna daripada menghirup gumpalan asap
yang tak pernah keluar dari mulut dan hidungmu sendiri
BAHASA CICAK
barangkali cicak-cicak di dinding itu pun telah
hafal
pada jam
berapa kau membuka pintu rumahmu
dan
berjalan menuju pertigaan menembus angin malam
mungkin
mereka juga tahu kapan kau menapak
kembali
di teras rumahmu yang amat kaukenal
lekuk-likunya itu
setelah
kau menyusuri jalan dan gang-gang di perkampungan
sayang
kau bukan nabi sulaiman atau angling darma
sehingga
tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan
ketika
kau memasuki rumah seraya mengibas-ngibaskan
rambutmu
yang basah karena gerimis malam
barangkali
mereka sedang mencemaskan keadaanmu
atau
justru menganggapmu sebagai ancaman bagi mereka
ketika kau meneguk kopi hitam dan mulai menulis
seekor
cicak merapat ke gelas yang kauletakkan di meja itu
mungkin
ia ingin tahu kau sedang menulis apa
atau
barangkali sekadar iseng ingin menyaksikan bagaimana
susahnya
kau mencari kata yang tepat saat menulis
disaksikan
cicak, akhirnya kau pun menulis:
aku ingin jadi hujan bagi tanah yang mengerontang
bagi rumput yang meratap karena
kepanasan
bagi lumut dan debu yang terlalu
lama dipanggang matahari
aku ingin jadi air bagi sungai yang sekian purnama mengering
yang kehilangan kedung,
lubuk, dan ikan-ikannya
aku ingin jadi sungai bagi waduk yang lama dinanti petani
yang cemas karena sawahnya tak
terairi
kau
berhenti menulis saat cicak itu menaiki gelas
lalu kaburlah ia dan menyelinap ke balik tumpukan
kertas
ketika
tangan kirimu menghalaunya
terdengarlah
cek cek cek cek cek dari cicak
lainnya yang bersembunyi
di balik
foto perkawinanmu yang menempel di dinding kusam itu
barangkali
ia sedang menertawakan tingkah polahmu
atau sebaliknya mengagumi larik-larik yang baru
saja kau tulis
atau
barangkali bukan menertawakan atau mengagumi, tapi…
entahlah,
aku tak tahu pasti apa yang dimaui cicak-cicak itu
maklumlah
aku—seperti kau juga—bukan angling darma
juga
bukan nabi sulaiman yang tersohor itu
aku manusia biasa yang tak paham bahasa cicak
itulah
sebabnya dari tadi kubilang mungkin
dan barangkali
kini
jarum jam hampir menunjuk angka dua belas
karena
itu berhentilah mengotak-atik huruf dan kata
tak baik
membiarkan istrimu menjelajah jagat mimpi sendirian
TANDA
tak terdengar suara kaki menapak
juga sisa percakapan para peronda
jalanan lengang
gerit roda gerobak penjaja makanan
seakan hilang
malam pun semati gardu tanpa penjaga
hanya angin dan kabut yang tak bisa diam
juga embun
yang menaburkan basah pada debu
di langit tak ada awan
hanya terlihat gugus bintang dan cahaya rembulan
tanda bahwa kemarau masih panjang
dan para penanti hujan
mesti mengulur kesabaran
JAM BATU
ini jam batu
bukan penanda waktu
pada ini jam
waktu seakan diam
sujud pada benda alam
ini jam batu
bukan penanda waktu
pada jam ini
waktu seakan berhenti
detik dan menit pun hilang arti
ini jam batu
bukan penanda waktu
takkan kautemukan angka
di balik kilap dan kilaunya
maka jangan kaulirik jam ini
saat kau bikin janji
ini jam batu
bukan penanda waktu
saat melingkar di tanganmu
waktu seakan beku
kau pun bagai hidup di zaman batu
SEANDAINYA
di atas hitam aspal aku melaju bersama debu
tak ada keluh kesah dan gerutu
kuterima ini sebagai bagian dari lakon yang mesti kujalani
pada pertigaan kedua setelah stasiun itu
aku membelok ke kiri dan menyusuri jalan berliku
menembus senja dalam kerinduan ingin bertemu
setelah seharian berkutat dengan kerja dan keringat
beginilah hidup: bergerak dari satu titik ke titik lain
sebelum pada akhirnya kembali bersama malam
ada memang sekali waktu membersit di angan
pertanyaan kecil yang terasa klise dan usang
kenapa hidup ini terpola sedemikian rupa
yang membuat diri ini seakan terpasung
di pusaran rutinitas yang menjemukan
mengulang dan mengulang sesuatu yang sama
dari hari ke hari seakan tak tersedia pilihan
di kala aku berada di titik rawan seperti ini
tiba-tiba aku teringat padamu
lalu pertanyaan-pertanyaan berlagak filosofis pun buyar
hangus oleh bayangan rekah bibirmu dan binar matamu
ah, seandainya malam ini engkau di sini
barangkali gumpalan awan yang tersapu angin sore tadi
kini akan berhimpun dan mencari siasat untuk menjelma hujan
menyejuki kita yang mungkin tengah asyik di beranda
tapi nyatanya aku di sini dan kau di sana
kau tak pernah benar-benar ada di sisiku
kecuali bayangmu yang mondar-mandir di anganku
seandainya aku tak terjebak dalam dunia seandainya
barangkali malam tak akan sebopeng ini
Tentang Penulis
Sunu Wasono dilahirkan di Wonogiri, 11 Juli 1958. Menamatkan pendidikan SD
hingga SMA di Wonogiri. Tamat dari Jurusan Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Indonesia pada 1987. Dua belas tahun kemudian (1999), bapak tiga
anak ini tamat dari Program Pascasarjana UI, lalu pada akhir 2015 ia menamatkan
pendidikan S3-nya di Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya UI. Sejak 1987 mengajar di Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya UI. Tahun
1992 pernah menjadi dosen tamu di La Trobe University, Melbourne, Australia. Sejak
mahasiswa menulis puisi dan sejumlah esai di koran dan majalah/jurnal. Beberapa
sajaknya dimuat dalam antologi Sajak-sajak
103 dan buletin Jejak. Sejumlah
buku telah dihasilkannya, di antaranya Sastra
Propaganda (2007), Membaca
Romantisisme dalam Sastra Indonesia (bersama Sapardi Djoko Damono dkk,
2007), dan Jejak Realisme dalam Sastra
Indonesia (bersama Melani Budianta dkk, 2006). Kini sedang mempersiapkan
penerbitan kumpulan sajaknya.