Menaksir Sebelum Menafsir
Data Buku
Judul
Buku : Menaksir Waktu
Penulis : Marwanto
Penerbit : Pusaka-Ku kerjasama
dengan CV Madani Berkah Abadi,
Yogyakarta
ISBN : 978-623-6054-25-3
Cetakan : Pertama, Maret 2021
Tebal : xii + 82 halaman
Melihat tampilan buku ini sebagian pembaca barangkali
akan menyimpulkan penggunaan rancang sampul yang simpel. Sebuah beker dan
evolusi perjalanan manusia dari purba hingga modern, dalam balutan warna hitam
dan putih. Namun jika membaca judulnya ternyata tidaklah sederhana. Tidak bisa
langsung terbaca dengan cara pandang biasa: selintas hanya terbaca kata
“aktu”.
Pendek kata, membaca judul di sampul depan buku ini
memaksa kita untuk menerka-nerka atau menaksir:
apa sih sebenarnya judul buku
ini? Dari sisi ini, sampul buku ini sebenarnya sudah berhasil membawa pesan
yang terkandung isi buku. Bahwa pembaca diharapkan menaksir apa sebenarnya
judul buku ini. Jika cara pandang kita wajar apa adanya, tentu tulisan judul
buku ini tidak akan terbaca. Namun jika kita kreatif, meluaskan horison, dan
menggunakan berbagai pertimbangan, tentu judul buku ini akan terbaca.
Namun ingat, terbaca belum tentu terpahami. Seperti juga
terhadap realitas keseharian, yang banyak melintas di sejumlah media.
Realitas-realitas itu barangkali bisa kita baca lewat berita di koran,
informasi di media sosial dan sebagainya. Tapi apa yang terbaca belum tentu
terpahami. Karena untuk bisa memahami (apapun itu: fenomena kemasyarakatan,
ilmu pengetahuan bahkan ayat Tuhan) tidak hanya dibutuhkan aktivitas menaksir, tapi lebih jauh dari itu, yakni
menafsir. Nah, buku ini mengajak kita untuk menaksir dulu sebelum menafsir.
Hal itulah cara pandang yang ditawarkan Marwanto, penyair
yang juga ketua Lakpesdam PCNU Kulonprogo di buku ini. Pada kata pengantar
Marwanto menyatakan bahwa ia merasa nyaman menggunakan judul Menaksir Waktu, meski seorang redaktur
koran di Jogja pernah bertanya: “Mengapa tidak dikasih judul Menafsir Waktu ?” Dan ia pun
menjawab: “Tidak, saya lebih enjoy dengan kata menaksir. Terasa lebih
enteng tapi puitis…” Pandangan Marwanto ini mengingatkan kita pada kata-kata
Sapardi Djoko Damono, bahwa puisi tidak harus dimengerti atau dipahami (dengan
laku menafsir), tapi cukup dinikmati. Kata menaksir itu sendiri selain bermakna
mengira-ira juga berarti menyenangi atau ketertarikan hati. Nah, di sinilah menaksir (menyenangi dan
menikmati) puisi menemukan konteksnya.
Membaca sekumpulan puisi dalam buku Menaksir Waktu ini
membuat saya merasa menyambangi belantara kata-kata yang eksotis, liar dan
luas. Ada banyak hal yang bisa dikulik di dalamnya. Buku ini memuat 69 judul
puisi yang dicipta pada periode awal kepenyairan Marwanto, yakni rentang waktu
sepuluh tahun (1992 – 2002). Kebanyakan puisi dalam buku ini tampak sederhana,
ditulis secara lugas, dan tak ada yang istimewa. Namun bila dibaca berulang dan
dinikmati, ada keasyikan tersendiri: di setiap susunan diksi seakan mampu
menjadi ruang singgah untuk berkontemplasi.
Ya, kontemplasi di berbagai bidang kehidupan: dari
sosial, budaya, politik hingga religiusitas. Berkaitan dengan religiusitas
Marwanto mengajak pembaca mengenali Sang Pencipta dan mendekat rasa syukur
tanpa menggurui apalagi menggombali. Gambaran religiusitas tampak pada beberapa
penggalan puisi berikut:
Allah,
lapangkan degup dada//memejam dari lomba yang fana//bila satu lekuk huruf pun
khilaf//turunkan sayap-sayap malaikat//memelihara ayat (hlm 48).
Malam
adalah pintu gerbang//dengan sajadah tergelar panjang//lalu kita menuju air
wudhu//merontokkan beribu debu//tadi siang
(hlm 57).
..
pasir pun tasbih bersaut-saut//.. ikan pun tahlil bertalu-talu// .. kirimkan
suara azan//sebagai bekal kencan dengan peradaban (hlm 66).
…
sebenarnya ia tahu// di stasiun mana kereta ini nantinya berhenti// pada sajak
pagi, ketika Tuhan mengirimku setangkai melati (hlm 68)
Melihat rekam jejak kepenyairan Marwanto yang relatif
telah panjang, dimulai saat tahun 2006 menggerakkan sastra lewat komunitas
Lumbung Aksara yang bermarkas di kantor PCNU Kulonprogo hingga kini membina
komunitas Sastra-Ku, tampak puisi menjadi salah satu yang hidup dalam jiwanya.
Ia meramu kata-kata tak lepas dari dirinya, juga menuliskan beberapa tempat
yang pernah disinggahi. Ketersentuhannya dengan tempat yang pernah disinggahi
menjadi moment tersendiri sekaligus berpengaruh bagi proses kreatifnya.
Marwanto begitu runtut menuliskan sejumlah tempat (Malioboro, Temanggung,
Pacitan, Jombang, Jakarta, Solo, Banyumas, Bogor, dll) yang terbingkai secara
puitis.
Di sebagian besar puisi-puisi buku ini, terkesan pekat
dalam penggunaan gaya bahasa, namun ada juga yang lugas dan cair. Hal yang
perlu digarisbawahi, baik pekat maupun lugas dalam penggunaan gaya bahasa
maupun metafor, itu dilakukan Marwanto dalam takaran yang pas. Tidak ada
kata-kata yang kehadirannya digiring dengan paksa sebagai pondasi puisi. Tidak
berlebihan tidak pula kekurangan. Diksi-diksi yang dipilih berhasil
menyampaikan maksud yang ingin diungkapkan dan memberi efek puitis yang ingin
dicapai. Ketepatan takaran itulah yang membuat puisi-puisi di buku ini enak
untuk dinikmati. Enak ditaksir sebelum pembaca memutuskan untuk menafsir.***
BIODATA
Inung
Setyami, S.S., M.A., Penulis dan dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas
Borneo Tarakan.
Tinggal di Tarakan Kalimantan Utara (Kaltara). Saat ini sedang menempuh
studi S-3 di Fakultas Ilmu budaya UGM Yogyakarta. Buku yang pernah ditulis
antara lain Bunga
Rampai Sastra Lisan Tidung (Pustaka Abadi, 2018), Kritik Sastra (Pustaka Abadi,
2018), Melankolia Bunga-Bunga (Kobuku, 2020), Sastra dan Pendidikan (Jejak
Pustaka, 2021), Membaca Corona Membaca Realita (Jejak Pustaka, 2021), Kepiting
Emas dalam Perahu (Buku Cerita Anak, Jagat Litera, 2021).