Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Puisi

Puisi H.M. Nasruddin Anshoriy Ch.

Admin by Admin
6 November 2021
0
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter



MANDI BESAR

 

Jakarta sedang mandi
besar

Seusai tahun lama
dan tahun baru bersenggama

Dalam pesta kembang
api dan gelak tawa

Jakarta berkeramas
hingga basah kuyup seluruh jenggotnya

 

Gedung-gedung
dibangun mencakari langit

Jembatan layang
melenggang-lenggok penuh gemulai 

Ibukota terus
bersolek dengan merah gincu dan hitam kelam jelaga

 

Tak ada kemacetan
lagi di Batavia

Yang ada hanya gaya
hidup dan pamer polusi di jalan raya

Knalpot dan klakson
menggema di kedalaman jiwa manusia

 

Pohon-pohon rindang
ditebang 

Plastik dan sampah
menjadi kosmetik 

Orang-orang miskin
menjadi alas kaki bagi hiruk pikuk dan lalu-lalang pembangunan Ibukota

 

Jakarta telah sampai
pada puncak orgasme

Sorga dan neraka
telah seia-sekata dalam meratapi takdirnya

 

Masih adakah makna
bagi secangkir kopi pahit pada puisi ini

Ketika Jakarta telah
menjelma coklat susu dalam kolam raksasa?

 

Sebelum doa qunut
nazilah kubaca

Dan Kapal Nuh hadir
membelah Jakarta

Maka mandi junub
adalah takbir penanda

 

 

Gus Nas Jogja, 2
Januari 2020



 



SEBAIT DOA

 

Sebait doa
kusematkan pada kesunyian malamku

Meratap senyap

Merintih perih

Begitu kudus kuseduh
ratap perih doa ini 

Sendiri

 

Tuhanku

Aku bersimpuh dalam
riuh dan gaduh 

Merasakan perih dan
luka 

Jutaan manusia yang
dihempas prahara

 

Aku lupa ini sayatan
keberapa

Labirin rindu telah
menyesatkan segalanya

 

Tuhanku

Beri aku dan
anak-cucuku hidayah

Sebenar-benarnya
hidayah

Agar mata air cinta
ini terus mengalir dari sumur-sumur doa dan membanjir hingga ke sawah-sawah

Menyuburkan akar
padi hingga berbuah berkah

 

Mata air karunia dan
kepasrahan yang mengucur dari air wudlu hingga mensucikan iman dan tauhidku

 

Tuhanku

Beri aku dan
anak-cucuku sembah

Lima waktu dalam
sehari agar noda dan nafsu kehabisan nafas untuk mengajakku berseteru

 

Tuhanku

Ampuni kami atas
segala kepanikan ini

Ketakutan yang tak
sepatutnya kami takuti

Kepanikan yang
tumbuh dari tipisnya iman di dalam hati

 

 

Gus Nas Jogja, 30
Mei 2020



 



MAAF

 

Masih adakah yang
memiliki harta karun ini?

Sepatah kata tapi
lebih berharga dari dunia seisinya

 

Kucari maaf di
setiap diri manusia

Tapi yang kudapat
hanya kata usang di bibir saja

 

Dalam perang
kata-kata di dunia maya

Ketika ghibah dan
fitnah menjadi mercusuar tanpa menampakkan muka

Manakala nyinyir dan
kebencian dijadikan berhala

Kata maaf semakin
asing dan usang di relung jiwa

 

Di kesucian Idul
Fitri ini

Terus kugali ladang
maaf di lubuk hati

Lalu dosa-dosa yang
mengotori diri ini kujadikan pupuk untuk mawas diri 

 

Kupetik kata maaf
pada taman puisiku

Diiringi paduan suara
hati dalam keharuman janji merawat harmoni

 

Kini saatnya
kupersembahkan sekuntum kata maaf ini untukmu

Secuit cinta tanpa
basa-basi pada bait awal dan bait akhir syairku

 

 

Gus Nas Jogja, 23
Mei 2020



 




MALIOBORO

Kepada Umbu Landu Paranggi

 

 

Selamat pagi,
Malioboro

Kusapa engkau dengan
mata sembab entah kenapa

 

Setengah Abad sudah
waktu mengucap rindu

Ribuan bait puisi
yang kini tinggal tulang terkubur debu

 

Di bawah patung
Sudirman itu

Kau dan aku pernah
berdebat tentang cinta

Juga kesetiaan yang
kehilangan makna

Mencari Indonesia
yang tak kunjung bersua

 

Antara Danurejan dan
Ketandan kutandai jejak kaki ini

Suara adzan di
Masjid Sulthoni Kepatihan dan riuh transaksi di Pasar Beringharjo

Masih menggema dalam
bait-bait rinduku

 

Malioboro tak lagi
merayakan mekar bunga kemuning

Pada titik nol
kilometer kota Jogja ini

Yang tersisa hanya
bara api cinta yang membakar rindu dan puing-puing puisi masa lalu

 

Kapankah gerbang
Gedung Agung akan dibuka untuk menyambut kehadiran para pujangga? 

Untuk penyair yang
telah lama kehilangan pena?

 

 

Gus Nas Jogja, 10
Juni 2020



 




DOA MANTRA 

Kepada Presiden Penyair 

 

 

Tuhanku

Doa ini kupanjatkan
padaMu dengan tekad bulat merindu

Dengan munajat padat
di relung kalbu

 

Limpahi langkahnya
dengan gemerlap cahaya 

Pada terang-benderang
Maha CahayaMu

 

Raihlah lambaian
jiwanya 

Yang selalu
menggapai ridlaMu

 

Dengan perahu mantra

Dengan layar doa-doa

Dengan ombak
sajak 

Dengan gelombang
pasang gurindam rindu

Bertahun-tahun sudah
ia kibarkan hatinya 

Untuk mendapatkan
cintaMu

 

Tuhanku

Petiklah mekar bunga
taubatnya

Taubat Sutardji
Calzoum Bachri 

Yang terus mengeong
mencakar hingga tulang sungsumnya

 

Walau ia pernah tak

Berikan saja semua
tak

Bersama seluruh
alif-ba-taMu

Sebab yang tertusuk
padanya 

Berdarah padaMu

 

Tuhanku

79 tahun usianya 

Semoga tak sia-sia
mencari akar kata-kata

Sebab jembatan yang
ia susun dengan kata-kata itu 

Akan sampai padaMu
juga

 

Sedapkan
hidupnya 

Dengan sesedap-sedap
cawan madu 

Kitab suciMu

 

Berkahi
umurnya 

Dengan mata air
ketakwaan 

Dalam laut ampunanMu

 

Hingga mabuk
suluknya menarikan kalam cinta 

Dan kemesraanMu

 

 

Gus Nas Jogja, 24
Juni 2020



 




IDUL ADHA 

 

Bahkan Tuhan pun
Maha Cemburu

Maka sebelum cinta
yang fana menusuk kalbu

Sembelihlah ia
dengan takbir bertalu

 

Allahu Akbar!

Padang Arafah adalah
saksi abadi segala rindu

Ketika mimpi Sang
Nabi datang di malam kelabu

Suara itu nyata dari
Sang Maha Puisi

 

Allahu Akbar!

Inikah Muzdalifah
itu?

Hamparan batu-batu
panas dibakar terik

Kerikil-kerikil
cadas yang menjerit pilu

 

Allahu Akbar!

Sampai juga takbir
ini di Mina

Perang abadi antara
tentara iblis dan manusia

 

Di sini Ibrahim
Alaihissalam mengasah pedangnya

Setajam sembilu
dikalikan tujuh

 

Di sini Ismail
Alaihissalam mengorbankan lehernya

Mewakafkan cintanya
akan tetap suci dimata Sang Maha Cahaya

 

Lailaha illallahu
Allahu Akbar

Tauhidku dan
tauhidmu akan menghadap Allah tanpa perantara

Tanpa kilah dan
dalih selain Cinta

 

Walillahilhamd!

Hanya pada Allah
segala harap

Hanya pada Allah
segala derap

Hanya pada Allah
segala tatap

 

 

Gus Nas Jogja, 30
Juli 2020



 

MEMBACA JOGJA

 

Alun-Alun Utara
Jogja itu kini sepi tanpa suara

Jejak kaki jutaan
peziarah itu pun punah dan tanpa tercatat sejarah

 

Daun-daun beringin
jatuh tertiup angin

Pagelaran sepi
menyembunyikan rahasia dirinya sendiri

 

Kucari makna
keistimewaan itu kembali

Seorang raja
sederhana yang mewakafkan tahtanya untuk rakyat dan demi kedaulatan bangsa

 

Kenapa hari ini
hanya benang kusut yang masih tersisa?

Keistimewaan yang
menggantang asap 

Bahkan gamelan kyai
sekati juga kehilangan gema?

 

Sumbu imajiner itu sudah
kehabisan nyala api bagi dirinya sendiri

Sebab kitab-kitab
tua di Museum Sonobudoyo telah memudar marwahnya 

 

Kucari Sabdatama
yang mencerahkan kalbu

Tapi yang kutemukan
hanya Sabda Raja yang menambah pilu

 

Kucari Sastra
Gending yang menjadi suluh di kegelapan itu

Tapi yang ketemu
hanya fatamorgana di segala penjuru

 

Kukenang kembali
kencan pertamaku di Masjid Gede Kauman bersamamu

Tiba-tiba gemuruh
istighfar mBah Kyai Darwis kembali berkesiur di relung jantung

 

Entah kenapa ada
yang berkaca-kaca di bola mata

Kesedihan yang
begitu perih membentang dan mengharu-biru

 

Bukankah arah kiblat
itu sudah pernah diluruskan dulu?

Kenapa kembali
bengkok kini?

 

Di jalan
Kusumanegara

Kuziarahi kuburan
Pak Dirman

Jenderal Besar yang
bergerilya walau ditandu dan hanya dengan satu paru-paru itu 

Kini hanya tinggal
nisan berselimut debu

 

Kemana pejuang tanpa
pamrih itu mewariskan cinta dan rindu?

Jenderal berbintang
lima yang mati muda 

Yang di dadanya
selalu tersemat lambang bulan bintang dari tembaga

Tapi namanya seharum
galih cendana

 

Tak jauh dari sana

Berbaring jasad Ki
Hadjar Dewantara

Pejuang Panca Dharma
dan pendidik bangsa itu telah menajamkan pena jiwanya di Tamansiswa 

 

Kucari makna Tut
Wuri Handayani dalam kecerdasan akal budi

Tapi yang kutemukan
hanya birokrasi pendidikan yang berliku-liku dan berduri-duri

 

Kucari jantung
hatiku di kota ini

Hamemayu Hayuning
Bawono

Sawiji Greget
Sengguh Ora Mingkuh

Hanya tinggal
romantisme di masa lalu

 

Membaca Jogja aku
kehilangan kata

Kebudayaan macam apa
ini?

Peradaban palsu dan
penuh basa-basi para priyayi

 

Iklan-iklan apa saja
telah menghapus jejak pujangga

Sampah visual
berkibar-kibar sesuka hatinya di seantero kota

Tak ada keluhuran
budi yang bisa kupetik di advertensi ini

 

Inikah yang disebut
Jogja berhati nyaman itu?

 

 

Gus Nas Jogja, 

1 Suro 1442, sesudah
Mubeng Beteng dan Tapa Bisu



 




BERITA DUKA PAGI INI

Ode Buat Iman Budhi Santosa

 

Iman telah pergi
terlalu pagi

Bersama Budi hijrah
ke alam sunyi

Akankah hidup
Santosa akan ikut terkubur juga?

 

Kematian tak pernah
mengetuk pintu

Tak juga mengucap
selamat pagi

Tapi bait puisi
selalu siaga membaca tanda

 

Karena itulah setiap
tanya pasti kujawab 

Walau dengan diam
tanpa berkata-kata

 

Kamis pagi di bulan
Desember ini

Tepat tanggal 10
Masehi

Pada tahun kembar
yang membuat jantung berdebar

Malaikat Izrail
datang mengucap senyap

 

Langit di atas Jogja
mengheningkan cipta

Saat Suta Naya Dadap
dan Waru mengucapkan belasungkawa

 

Kematian datang dan
pergi tanpa kata-kata

Tapi bait-bait puisi
selalu tabah dan setia menjaga makna

 

Pagi ini
kusembahyangkan jasad kaku itu dengan jiwa nestapa

Bersama rintih doa
yang kupanjatkan diam-diam dalam semerbak bunga

 

Selamat jalan, Mas
Iman

Kepergianmu telah
meninggalkan segala Budhi di kedalaman hati

Semogalah hidup
Santosa bersamamu di alam baka

 

 

Gus Nas Jogja, Kamis
10 Des 2020







Tentang Penulis


H.M.
Nasruddin Anshoriy Ch.
 atau
biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979.
Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia
dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan
Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984
mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng,
Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai
menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dan
lainnya.


Tahun 1987
menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya
berjudul Midnight Man terpilih sebagai
puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan
dimuat di Majalah Solidarity, Philippines.
Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam
rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.


Menulis sejumlah
buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES
Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor
Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw
Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah
menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI;
menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy
Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di
kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi
Pembicara Kunci pada World Culture Forum
yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

 

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In