MANDI BESAR
Jakarta sedang mandi
besar
Seusai tahun lama
dan tahun baru bersenggama
Dalam pesta kembang
api dan gelak tawa
Jakarta berkeramas
hingga basah kuyup seluruh jenggotnya
Gedung-gedung
dibangun mencakari langit
Jembatan layang
melenggang-lenggok penuh gemulai
Ibukota terus
bersolek dengan merah gincu dan hitam kelam jelaga
Tak ada kemacetan
lagi di Batavia
Yang ada hanya gaya
hidup dan pamer polusi di jalan raya
Knalpot dan klakson
menggema di kedalaman jiwa manusia
Pohon-pohon rindang
ditebang
Plastik dan sampah
menjadi kosmetik
Orang-orang miskin
menjadi alas kaki bagi hiruk pikuk dan lalu-lalang pembangunan Ibukota
Jakarta telah sampai
pada puncak orgasme
Sorga dan neraka
telah seia-sekata dalam meratapi takdirnya
Masih adakah makna
bagi secangkir kopi pahit pada puisi ini
Ketika Jakarta telah
menjelma coklat susu dalam kolam raksasa?
Sebelum doa qunut
nazilah kubaca
Dan Kapal Nuh hadir
membelah Jakarta
Maka mandi junub
adalah takbir penanda
Gus Nas Jogja, 2
Januari 2020
SEBAIT DOA
Sebait doa
kusematkan pada kesunyian malamku
Meratap senyap
Merintih perih
Begitu kudus kuseduh
ratap perih doa ini
Sendiri
Tuhanku
Aku bersimpuh dalam
riuh dan gaduh
Merasakan perih dan
luka
Jutaan manusia yang
dihempas prahara
Aku lupa ini sayatan
keberapa
Labirin rindu telah
menyesatkan segalanya
Tuhanku
Beri aku dan
anak-cucuku hidayah
Sebenar-benarnya
hidayah
Agar mata air cinta
ini terus mengalir dari sumur-sumur doa dan membanjir hingga ke sawah-sawah
Menyuburkan akar
padi hingga berbuah berkah
Mata air karunia dan
kepasrahan yang mengucur dari air wudlu hingga mensucikan iman dan tauhidku
Tuhanku
Beri aku dan
anak-cucuku sembah
Lima waktu dalam
sehari agar noda dan nafsu kehabisan nafas untuk mengajakku berseteru
Tuhanku
Ampuni kami atas
segala kepanikan ini
Ketakutan yang tak
sepatutnya kami takuti
Kepanikan yang
tumbuh dari tipisnya iman di dalam hati
Gus Nas Jogja, 30
Mei 2020
MAAF
Masih adakah yang
memiliki harta karun ini?
Sepatah kata tapi
lebih berharga dari dunia seisinya
Kucari maaf di
setiap diri manusia
Tapi yang kudapat
hanya kata usang di bibir saja
Dalam perang
kata-kata di dunia maya
Ketika ghibah dan
fitnah menjadi mercusuar tanpa menampakkan muka
Manakala nyinyir dan
kebencian dijadikan berhala
Kata maaf semakin
asing dan usang di relung jiwa
Di kesucian Idul
Fitri ini
Terus kugali ladang
maaf di lubuk hati
Lalu dosa-dosa yang
mengotori diri ini kujadikan pupuk untuk mawas diri
Kupetik kata maaf
pada taman puisiku
Diiringi paduan suara
hati dalam keharuman janji merawat harmoni
Kini saatnya
kupersembahkan sekuntum kata maaf ini untukmu
Secuit cinta tanpa
basa-basi pada bait awal dan bait akhir syairku
Gus Nas Jogja, 23
Mei 2020
MALIOBORO
Kepada Umbu Landu Paranggi
Selamat pagi,
Malioboro
Kusapa engkau dengan
mata sembab entah kenapa
Setengah Abad sudah
waktu mengucap rindu
Ribuan bait puisi
yang kini tinggal tulang terkubur debu
Di bawah patung
Sudirman itu
Kau dan aku pernah
berdebat tentang cinta
Juga kesetiaan yang
kehilangan makna
Mencari Indonesia
yang tak kunjung bersua
Antara Danurejan dan
Ketandan kutandai jejak kaki ini
Suara adzan di
Masjid Sulthoni Kepatihan dan riuh transaksi di Pasar Beringharjo
Masih menggema dalam
bait-bait rinduku
Malioboro tak lagi
merayakan mekar bunga kemuning
Pada titik nol
kilometer kota Jogja ini
Yang tersisa hanya
bara api cinta yang membakar rindu dan puing-puing puisi masa lalu
Kapankah gerbang
Gedung Agung akan dibuka untuk menyambut kehadiran para pujangga?
Untuk penyair yang
telah lama kehilangan pena?
Gus Nas Jogja, 10
Juni 2020
DOA MANTRA
Kepada Presiden Penyair
Tuhanku
Doa ini kupanjatkan
padaMu dengan tekad bulat merindu
Dengan munajat padat
di relung kalbu
Limpahi langkahnya
dengan gemerlap cahaya
Pada terang-benderang
Maha CahayaMu
Raihlah lambaian
jiwanya
Yang selalu
menggapai ridlaMu
Dengan perahu mantra
Dengan layar doa-doa
Dengan ombak
sajak
Dengan gelombang
pasang gurindam rindu
Bertahun-tahun sudah
ia kibarkan hatinya
Untuk mendapatkan
cintaMu
Tuhanku
Petiklah mekar bunga
taubatnya
Taubat Sutardji
Calzoum Bachri
Yang terus mengeong
mencakar hingga tulang sungsumnya
Walau ia pernah tak
Berikan saja semua
tak
Bersama seluruh
alif-ba-taMu
Sebab yang tertusuk
padanya
Berdarah padaMu
Tuhanku
79 tahun usianya
Semoga tak sia-sia
mencari akar kata-kata
Sebab jembatan yang
ia susun dengan kata-kata itu
Akan sampai padaMu
juga
Sedapkan
hidupnya
Dengan sesedap-sedap
cawan madu
Kitab suciMu
Berkahi
umurnya
Dengan mata air
ketakwaan
Dalam laut ampunanMu
Hingga mabuk
suluknya menarikan kalam cinta
Dan kemesraanMu
Gus Nas Jogja, 24
Juni 2020
IDUL ADHA
Bahkan Tuhan pun
Maha Cemburu
Maka sebelum cinta
yang fana menusuk kalbu
Sembelihlah ia
dengan takbir bertalu
Allahu Akbar!
Padang Arafah adalah
saksi abadi segala rindu
Ketika mimpi Sang
Nabi datang di malam kelabu
Suara itu nyata dari
Sang Maha Puisi
Allahu Akbar!
Inikah Muzdalifah
itu?
Hamparan batu-batu
panas dibakar terik
Kerikil-kerikil
cadas yang menjerit pilu
Allahu Akbar!
Sampai juga takbir
ini di Mina
Perang abadi antara
tentara iblis dan manusia
Di sini Ibrahim
Alaihissalam mengasah pedangnya
Setajam sembilu
dikalikan tujuh
Di sini Ismail
Alaihissalam mengorbankan lehernya
Mewakafkan cintanya
akan tetap suci dimata Sang Maha Cahaya
Lailaha illallahu
Allahu Akbar
Tauhidku dan
tauhidmu akan menghadap Allah tanpa perantara
Tanpa kilah dan
dalih selain Cinta
Walillahilhamd!
Hanya pada Allah
segala harap
Hanya pada Allah
segala derap
Hanya pada Allah
segala tatap
Gus Nas Jogja, 30
Juli 2020
MEMBACA JOGJA
Alun-Alun Utara
Jogja itu kini sepi tanpa suara
Jejak kaki jutaan
peziarah itu pun punah dan tanpa tercatat sejarah
Daun-daun beringin
jatuh tertiup angin
Pagelaran sepi
menyembunyikan rahasia dirinya sendiri
Kucari makna
keistimewaan itu kembali
Seorang raja
sederhana yang mewakafkan tahtanya untuk rakyat dan demi kedaulatan bangsa
Kenapa hari ini
hanya benang kusut yang masih tersisa?
Keistimewaan yang
menggantang asap
Bahkan gamelan kyai
sekati juga kehilangan gema?
Sumbu imajiner itu sudah
kehabisan nyala api bagi dirinya sendiri
Sebab kitab-kitab
tua di Museum Sonobudoyo telah memudar marwahnya
Kucari Sabdatama
yang mencerahkan kalbu
Tapi yang kutemukan
hanya Sabda Raja yang menambah pilu
Kucari Sastra
Gending yang menjadi suluh di kegelapan itu
Tapi yang ketemu
hanya fatamorgana di segala penjuru
Kukenang kembali
kencan pertamaku di Masjid Gede Kauman bersamamu
Tiba-tiba gemuruh
istighfar mBah Kyai Darwis kembali berkesiur di relung jantung
Entah kenapa ada
yang berkaca-kaca di bola mata
Kesedihan yang
begitu perih membentang dan mengharu-biru
Bukankah arah kiblat
itu sudah pernah diluruskan dulu?
Kenapa kembali
bengkok kini?
Di jalan
Kusumanegara
Kuziarahi kuburan
Pak Dirman
Jenderal Besar yang
bergerilya walau ditandu dan hanya dengan satu paru-paru itu
Kini hanya tinggal
nisan berselimut debu
Kemana pejuang tanpa
pamrih itu mewariskan cinta dan rindu?
Jenderal berbintang
lima yang mati muda
Yang di dadanya
selalu tersemat lambang bulan bintang dari tembaga
Tapi namanya seharum
galih cendana
Tak jauh dari sana
Berbaring jasad Ki
Hadjar Dewantara
Pejuang Panca Dharma
dan pendidik bangsa itu telah menajamkan pena jiwanya di Tamansiswa
Kucari makna Tut
Wuri Handayani dalam kecerdasan akal budi
Tapi yang kutemukan
hanya birokrasi pendidikan yang berliku-liku dan berduri-duri
Kucari jantung
hatiku di kota ini
Hamemayu Hayuning
Bawono
Sawiji Greget
Sengguh Ora Mingkuh
Hanya tinggal
romantisme di masa lalu
Membaca Jogja aku
kehilangan kata
Kebudayaan macam apa
ini?
Peradaban palsu dan
penuh basa-basi para priyayi
Iklan-iklan apa saja
telah menghapus jejak pujangga
Sampah visual
berkibar-kibar sesuka hatinya di seantero kota
Tak ada keluhuran
budi yang bisa kupetik di advertensi ini
Inikah yang disebut
Jogja berhati nyaman itu?
Gus Nas Jogja,
1 Suro 1442, sesudah
Mubeng Beteng dan Tapa Bisu
BERITA DUKA PAGI INI
Ode Buat Iman Budhi Santosa
Iman telah pergi
terlalu pagi
Bersama Budi hijrah
ke alam sunyi
Akankah hidup
Santosa akan ikut terkubur juga?
Kematian tak pernah
mengetuk pintu
Tak juga mengucap
selamat pagi
Tapi bait puisi
selalu siaga membaca tanda
Karena itulah setiap
tanya pasti kujawab
Walau dengan diam
tanpa berkata-kata
Kamis pagi di bulan
Desember ini
Tepat tanggal 10
Masehi
Pada tahun kembar
yang membuat jantung berdebar
Malaikat Izrail
datang mengucap senyap
Langit di atas Jogja
mengheningkan cipta
Saat Suta Naya Dadap
dan Waru mengucapkan belasungkawa
Kematian datang dan
pergi tanpa kata-kata
Tapi bait-bait puisi
selalu tabah dan setia menjaga makna
Pagi ini
kusembahyangkan jasad kaku itu dengan jiwa nestapa
Bersama rintih doa
yang kupanjatkan diam-diam dalam semerbak bunga
Selamat jalan, Mas
Iman
Kepergianmu telah
meninggalkan segala Budhi di kedalaman hati
Semogalah hidup
Santosa bersamamu di alam baka
Gus Nas Jogja, Kamis
10 Des 2020
Tentang Penulis
H.M.
Nasruddin Anshoriy Ch. atau
biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979.
Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia
dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan
Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984
mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng,
Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai
menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dan
lainnya.
Tahun 1987
menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya
berjudul Midnight Man terpilih sebagai
puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan
dimuat di Majalah Solidarity, Philippines.
Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam
rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.
Menulis sejumlah
buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES
Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor
Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw
Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah
menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI;
menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy
Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di
kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi
Pembicara Kunci pada World Culture Forum
yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.