Anak-anak Anjing Itu Mungkin
Akan Mati Juga
Dibangunkan oleh salakan anjing berulang-ulang, Joana
menggerutu sepanjang langkahnya menuju sumber suara. Di depan pintu
apartemennya, seekor anjing betina berdiri di samping tong sampah setinggi
tubuh belangnya—putih tulang campur coklat tua. Dari balik tong sampah,
tersembullah ekor-ekor kecil disusul suara gonggongan yang lemah. Joana tahu
anjing betina itu beranak lagi, dan dia seketika cemas sebab anak-anak anjing
itu mungkin akan mati juga.
Tak diketahui persis kapan anjing-anjing itu pertama kali
datang ke gedung apartemen tua berlantai delapan tempat Joana tinggal; pun selama
ini mereka tak benar-benar menetap, hanya sesekali datang berkeliaran. Bila
mereka datang, yang rajin memberi minum dan makan hanyalah Joana dan Pak Onyong,
pemilik gedung apartemen. Joana sering membelikan anjing-anjing itu susu kambing
mentah dan ikan pindang.
Pernah suatu hari Joana mengumpat seorang dokter hewan yang
menjelaskan bahwa pencernaan anjing peliharaan tak cocok dengan ikan pindang. Setelah
mengumpat, Joana langsung mengganti saluran TV dan menggerutu. “Mereka kan bukan peliharaan,” dia diam sejenak,
“tapi bukan hewan liar juga,” kemudian diam kembali, “tapi buktinya mereka
baik-baik saja, tidak muntah-muntah, apalagi diare!”
Sambil menatap para anjing, Joana mengenang hari-hari
tertentu yang tak pasti kapan: Joana mendapati para anjing menggonggong dan
bergerak lincah di depan pintu apartemennya. Ekor mereka yang bergoyang-goyang
membuat Joana tersenyum gemas; dan entah bagaimana, rasa lelah karena seharian
bekerja seketika lepas dari tubuh Joana—seperti ditarik habis oleh suara
gonggongan yang menyambutnya.
Biasanya setelah itu mereka akan makan bersama di depan
pintu apartemen Joana di pojok gedung lantai empat. Pada momen seperti itu, tak
jarang Joana jadi rindu suasana makan malam di rumahnya. Meski Joana tak terlalu
akrab dengan keluarganya, dan tak punya keinginan juga untuk mengakrabkan diri,
perasaan rindu yang melankolis semacam itu toh
cukup dinikmatinya.
Joana tersentak; kini kesadarannya benar-benar utuh.
Ditatapnya lekat ketiga anjing yang berada di depan apartemennya, “Ini kan tengah malam!” Joana terbelalak.
Jika mereka bisa naik ke lantai empat jam segini, berarti pintu berterali di
depan tangga di lantai satu tidaklah terkunci, pikir Joana, dan hal seperti ini
belum pernah terjadi selama dia tinggal di sana. Akhirnya Joana mengeluarkan potongan
pindang dan semangkuk daging cincang sisa makan malamnya guna menenangkan si
anjing betina.
Joana lekas mengunci pintu apartemennya, lalu sambil
mengerjap-ngerjap melangkah pelan menuju tangga. Dia tak tahu sekarang
persisnya pukul berapa, tapi yang jelas udara begitu menusuk tulang; dan lupa
mengenakan jaket adalah topik gerutunya sepanjang jalan. “Kalau aku kembali ke
apartemen, sama saja dengan mengalihkan perhatian, anjing-anjing itu nanti
malah ribut. Merepotkan!”
Suatu hari, setelah makan malam bersama, Joana mengajak para
anjing ke apartemen utama—di lantai satu—tempat Pak Onyong tinggal. Pak Onyong
adalah orang yang penyayang dan perhatian meski sering marah-marah. Joana tak pernah
keberatan meladeninya sebab kebiasaan Pak Onyong itu mengingatkan Joana pada ayahnya
yang telah lama meninggal.
“Saya tersinggung! Kamu pikir wajah saya ini pasaran?!”
Semprot Pak Onyong tatkala Joana mengatakan bahwa wajah Pak Onyong mirip dengan
wajah ayahnya. Kemudian, sambil tangan kanannya mengelus-elus si anjing betina
dan tangan kirinya berlaku sama kepada anak-anak anjing, laki-laki paruh baya
itu bercerita tentang betapa tampannya ia ketika muda; banyak perempuan yang
mengiriminya surat cinta, mengajaknya menonton layar tancap, dan lain-lainnya. Meski
begitu, Pak Onyong ternyata tak menikah dengan salah satu dari mereka,
melainkan dengan perempuan pilihan keluarganya—yang sebenarnya masih sekerabat.
Joana tertegun dan tiba-tiba wajah isti Pak Onyong
melintas dalam pikirannya. Sejak menyewa apartemen di sana, Joana hampir tak
pernah mengobrol dengan istri Pak Onyong. Mereka sesekali bertemu, tapi sekadar
saling mengangguk. Joana tahu bahwa istri Pak Onyong telah lama terserang
stroke, membuat sebagian tubuhnya lumpuh dan ia pun jadi sulit memahami
perkataan lawan bicaranya.
“Dulu dia sering mengeluh kepalanya nyeri. Terus menerus.
Tubuh bagian kirinya juga sering tiba-tiba mati rasa, sampai jatuh tiba-tiba!
Lalu bibirnya miring ke kiri, seperti kesurupan,” kenang Pak Onyong. “Jadi
sekarang ia keluar hanya sekitar pukul sembilan pagi, berjemur saja. Setelah
itu, selalu diam di kamar, nonton
TV.”
“Jadi itu sebabnya Bapak pindah ke lantai satu? Biasanya kan pemilik tinggalnya di lantai atas
sana.” Telunjuk kanan Joana menunjuk ke atas. Dengan penampilan—yang menurut
Joana—kumal itu, dan tinggal di lantai satu, siapa yang menyangka Pak Onyong
adalah pemilik apartemen?
Pak Onyong mengangguk pelan. Dipandanginya para anjing
lekat-lekat.
Sesampainya di lantai dua, nostalgia Joana terputus sebab
pandangannya tertuju pada pintu apartemen Wak Dollah yang di depannya terdapat
dua pasang sepatu ukuran kaki anak-anak. Dia tertegun, mengitari padangan ke
sepanjang lorong; dari lima apartemen di lantai dua itu, hanya tempat Tante
Mioki dan tempat Wak Dollah yang tong sampah di depan pintunya berantakan.
Sejurus Joana menggerutu, “Sesibuk apa mereka sampai tak sempat merapikan tong
sam…” Tiba-tiba terdengar suara pintu apartemen dibuka. Joana mengunci
tubuhnya secara awas dan melihat secercah sinar dari pintu apartemen Tante
Mioki.
Pak Onyong, dengan senter perak bertali biru—yang
meliliti tangannya, keluar dari apartemen Tante Mioki. Ekspresi wajahnya sulit dijelaskan.
“Kamu ngapain
di luar jam segini?”
Joana
terbata-bata merespons, “Anjing-anjing itu naik ke atas, Bapak nggak kunci pintu bawah?”
“Astaga!
Ayo kita periksa!” Pak Onyong bergegas menuju tangga turun. Joana masih terpaku
sebelum akhirnya mengekor di belakang, tapi kemudian memutuskan untuk
mendahului Pak Onyong karena embusan angin terasa mulai kencang.
“Saya
naik ambil jaket dulu, ya, Pak. Dingin!”
Sepanjang
perjalanan naik menuju apartemennya, Joana menggerutu, bertanya kepada diri
sendiri, mengapa dia melakukan semua ini, padahal tak satu pun orang
menyuruhnya, tidak juga Pak Onyong. Sekarang pikirannya bercabang ke orang tua
itu, apa yang dilakukannya di apartemen Tante Mioki jam segini? Dan untuk apa
senter itu?
Sambil
menguap Joana membetulkan posisi kerah jaket parasutnya, menutup pintu
apartemen, lalu kembali menuju tangga turun. Tiba di lantai dua, Joana
celingak-celinguk, dan pandangannya berakhir di pekarangan belakang apartemen
utama—satu-satunya area gelap di gedung apartemen itu.
“Joana,
mau ke mana?”
“Eh,
goblok!” Umpatan Joana menggema seantero lantai dua gedung apartemen.
Dilihatnya Tante Mioki, di bibir tangga menuju lantai satu, mengangkut karung goni
berwarna merah pekat yang tampak berat. Gaun tidur satin mencuat sedikit dari
mantel tebal berbulu warna putih tulang yang dikenakan Tante Mioki.
Sebab
selalu gagal menjelaskan ekspresi Tante Mioki ketika ia sedang mengelus-elus
anjing-anjing, Joana sempat berpikir isi karung itu adalah bulu-buju anak
anjing. Bukan mustahil pula itu terjadi bila mengingat berita di TV yang
akhir-akhir ini makin tak masuk akal. Kekhawatiran Joana atas anak-anak anjing
itu merembet ke peristiwa beberapa waktu
silam: tiga anak anjing sebelumnya ditemukan mati dengan usus terburai. Induk anjing dan
satu anaknya tak berada di sekitaran apartemen.
“Saya sudah cari, tapi belum ketemu,” lapor Joana saat itu kepada Pak Onyong. Sekejap, Pak
Onyong melapor pula kepada Joana: ia baru saja mendamprat Wak Dollah, penghuni
lantai dua yang merupakan orangtua dari anak-anak yang memukuli habis tiga anak
anjing.
Joana menangis sesegukan sambil terus menggali tanah di
belakang apartemen utama, sedangkan Pak Onyong sibuk bercerita bagaimana ia
menggedor-gedor pintu Wak Dollah setelah dibisiki Tante Mioki—penghuni lantai dua
juga—yang katanya memergoki anak-anak Wak Dollah memukuli habis tiga anak
anjing. Mendengar nama Tante Mioki disebut, Joana mengusap air matanya dan sejenak
berhenti menggali. Tante Mioki kerap bertemu para anjing, dan setiap kali
bertemu para anjing ekspresinya sulit dijelaskan. Mantel bulunya selalu
bersentuhan dengan bulu para anjing, sehingga membuat mereka tampak menyatu. Joana
ingin bertanya lebih jauh soal bisikan Tante Mioki kepada Pak Onyong, tapi
urung.
“Tadi Bapak sempat bicara sama anak-anak Wak Dollah?”
“Mana sempat! Dollah yang badannya seperti raksasa itu
pasang badan dan tak membolehkan anak-anaknya keluar ketemu saya.” Pak Onyong tak kuasa menahan air matanya ketika memindahkan
tubuh-tubuh anak anjing ke liang kubur. Joana, yang tadinya sudah berhenti
menangis, jadi kembali sesegukan. Tak sekadar teringat anak-anak anjing yang naas,
Joana melihat Pak Onyong seolah-olah sedang menangisi kematian anaknya. Seketika
terbesit dalam pikiran Joana, jika kelak Pak Onyong dan istrinya meninggal,
siapa yang akan mewarisi gedung ini? Dia ingin bertanya lebih lanjut soal itu
kepada Pak Onyong, tapi urung.
“Bapak nggak
usir Wak Dollah?”
“Inginnya, tapi…” Pak Onyong mengelap kedua tangannya
ke kaus oblong merahnya, membuang ingus, mengusap air mata, lalu mengelap
tangannya lagi ke sarung kotak-kotaknya yang sudah sangat lusuh. “Kerja cuma
sebagai satpam supermarket begitu, mana sanggup dia bayar sewa apartemen lain
di kota ini. Saya sudah puluhan tahun mengurusi gedung warisan ini.” Kakinya
menginjak-injak pelan tanah gembur kuburan para anjing, kemudian berjongkok
meletakkan batu seukuran genggaman tangan di atasnya. “Saya tahu fluktuasi
harga properti di kota ini. Makanya kamu nonton berita! Jangan sinetron saja
isi TV-mu itu!”
Joana sering berpapasan dengan Wak Dollah di stasiun; ia berseragam
satpam dibalut jaket rompi berbahan parasut hitam. Meski hanya bertegur sapa
seadanya, Joana tahu Wak Dollah tinggal bertiga saja bersama anak-anaknya di
apartemen itu. Pernah suatu hari Joana ingin bertanya kepada Pak Onyong, ke
mana istri Wak Dollah, tapi urung.
“Itu
karung apa, Tante?” Tanya Joana.
Tante
Mioki tertawa kecil kemudian berdadah—tanpa menjawab pertanyaan Joana—sambil
berjalan menuju apartemennya. Lenggak-lenggok pinggul Tante Mioki membuat
senter perak dalam mantelnya tersembul; tali birunya menjuntai-juntai.
2021
Tentang Penulis
ILDA
KARWAYU, menulis puisi, fiksi, dan non-fiksi.
Buku puisi mutakhirnya: “Binatang Kesepian
dalam Tubuhmu” (GPU, 2020). Belajar menulis kreatif di Komunitas Akarpohon Mataram, Lombok, NTB.
Sehari-hari mengajar bahasa Inggris dan BIPA di Mataram Lingua Franca Institute
(MaLFI). No. HP : 0822-3548-3610