ISYARAT GAJAH ENDRA
ia tidak pernah
menaruh keris di punggungnya
tetapi selalu menjadi warangka yang
nyembunyikan pusaka
jiwa.
tetapi ia yang menganggap dirinya
pusaka, sejujurnya hanya tai besi belaka.
sejatinya Bu, hari-hari adalah palu
waktulah empu
menempa kesabaran
hingga runcing jiwa.
aku saksikan sendiri
waku melukar tubuh kau
kerismu kemilau doa
yang diruwat ketabahan.
oh,
ingin kuhunus doa dan
kutikam dosa yang masih
menatu di batinmu.
entah, sepengaji apa
keramat darah yang mengalir dzikir itu
hingga kentalnya menjelma
sungai batin dan limpah sesajinya
menjamas karat jiwa.
Serayu, 2018
MENATAP DEWI CIPTARASA
sejak lahir
tali pusar sejarah
masih basah
seperti terendam
kisah yang mengandung
pertanyaan-pertanyaan
belum usai dibabarkan.
banyak catra pun malih
gonta-ganti nama jelmaan
hingga suatu masa sepur
menyebutnya kamandaka.
pun rencana kita
menalikan jiwa yang
saling berkejaran
dari masa ke masa
seolah hanya berpapasan
lalu sembunyi sembunyi
mencari lumbung kesunyian
masing-masing yang asing.
aku tak bisa
menjadi lutung
demi meraup
keuntungan cinta.
tetapi aku
bukan kamandaka yang
harus menyebrangi nusakambangan
untuk menebas pulebahas.
aku hanya takut
menyebrangi gemuruh
ombak dan keganasan batin
yang diam-diam ingin
menaklukan diri sendiri.
itulah kenapa
setiap ingin mengubur
kemelut yang berakar resah
atas keheninganmu
aku pun belajar
menjadi pembangkang yang
tak ingin mencintaimu
Serayu, 2018
WARISAN KOTA LAMA
demi menyingkirkan batuan
kota telah menata jalannya sendiri
yang pernah ditata sejarah.
pun lampu-lampu yang lampau
telah meyakini keremangan usia
sejak tata cahaya pengetahuan
menyinari ruas jalan kota.
kota yang dahulu mengandung kearifan
kini lahir bagai kebencian.
pun lampu-lampu berlatar senja
lupa cara menebar cahaya kebajikan.
kiranya kota lupa pada tabiat hidupnya
pada suatu masa; setiap jalan adalah sejarah
yang menuntut tuk dikenang
seperti kunang-kunang.
maka, setiap penjelasan yang diwariskan moyangnya
seperti tak pernah luput diperbincangkan;
dari mulut ke luput, yang terkadang
sering dicibir sendiri oleh kentut.
tetapi, anehnya kita terlalu percaya
bahwasanya kunang-kunang adalah kenyataan
dan kematian itulah angan-angan yang
sewaktu-waktu luput tuk dikenang.
kini di sini kota pun angkat bicara
tak selanggam segending semata
seperti ibu yang berkawin silang
sehingga kelak, dari rahimnya lahir:
nada yang entah berbapak siapa!
maka, setiap datang suatu masa yang tegang
ini kota meminta kondom buat berjaga
juga pil KB, spiral dan alat kontrasepsi lainnya
agar supaya, keresahan dapat dicegah.
Purwokerto, 2018
RIWAYAT AKSARA
sejumlah risalah
entah yang keberapa
darah daging silsilah
kekal mewarisi
muasal adam yang
menjelma petani dan
penggarap doa di ladang
ladang kesabaran yang
dipupuk tanamkan habil.
angin juga udara
mengembara bagai musim
yang merupa doa-doa
sepanjang kelana
sang hangga dwipa
dan terus berkesiur
menelusuri nafas serayu
hingga ke selok srandil.
seperti membaca
semar pun mengunci
suara, agar jagad tak gaduh
dari sembarang tuduhan.
jalan sunyi pun ditempuh
maka jadilah aksara yang
sebagian dikeringkan
dari basah bahasa tubuhnya.
tetapi, kitab terus bersemi
dari semesta yang
senantia basah
dalam tubuh waktu.
2018
RIWAYAT PADI
adam pun babad alas
pada keliaran dada
guna memperlapang
bidang ketabahan.
hawa juga putri
putrinya yang menjelma
dewi sri, menjadi doa
bagi ahli waris
tiap jengkal tanah.
habil dan silsilah
darah yang
mengguyur semesta
menjadi muasal kesuburan, dan
jadilah diwariskan
kepadanya qabil
agar lebih mudah
menanam bibit kasih sayang.
2018
RIWAYAT POHON WARU
siti ibuku
jenar bapakku.
kita pun bermuasal
pada bahasa tanah
humus subur
kasih sayang.
tumbuh pohon
mekar wijayakusuma
harum doa yang menua
siti ibuku
jenar bapakku.
kita bertani
meladang dan mencipta
hening tanah hara.
suatu waktu
kitalah embun doa yang
selalu pagi dan kicau burung.
kita pun tumbuh bagai ketela pohon
ubi, sukun, pisang, kelapa dan
buah jarak yang memabukan para
pertapa.
terkadang, kita pula akar
benalu yang lebih jauh
dari rumput ilalang.
siti ibuku
jenar bapakku
jadilah waru
pohon lebat
berdaun hati yang
kelak membawa kita
bertandang ke firdaus, itu.
2018
BALADA KESAKSIAN
“serupa kesaksian,
matamu dialisi hijau hutan
dan segenap pemandangan
yang kita tanam di
kutaliman. ”
begitulah tutur sang batur
pada perempuan luhur
tanpa pernah mengatur
alur,
dan menggali sumur
sejarah.
angin sayup-sayup
menyusup dinding tebing-
lelaki yang bercaping
angan
dan bersandang perasaan
remuk berkeping. .
senja yang tak kunjung
purnama itu
menjelma pemandangan masa
lampau
bak mata pisau adipati.
maka, serupa emban
semesta selalu berhati
embun
kepada siapapun, seperti
ia
memeluk perempuan ranum
yang selalu ngungun
bercinta.
itulah kenapa,
baturraden selalu
menyisakan dingin
yang menusuk suta
hingga menembus ke atas
angin.
maka, batu-batu ia dirikan
seperti dusun dingin
mawatata.
ia pun kembali bertutur:
“bahwa dingin adalah nasab
yang ia turunkan
kepada anak cucunya.”
“dan tiap air
yang bermuara di telaga
ialah nasab kesunyian
moyangnya. ”
maka, saat tiba masa
kelana-
di karangmangu, seorang
cucu
berkata sembari tersedu:
“sedingin dan sesunyi
abad yang bersabda
i-nikah, Ki-Ni?
sehingga ada yang mesti
termangu
di suatu dukuh yang terasa
amat jauh?.”
2019
ISYARAT DOMAS
Sebelum di pelabuhan
aku telah menetap
dalam jeruji matamu.
Begitu pun demam
seperti mengeram
di lapas batu
yang setiap waktu
ingin lekas menuntaskan
derita Pulebahas:
yang tak pernah tuntas
hingga keempatpuluh domas.
2019
ANGGARA KASIH
seperti pandawa yang letih
bertapa
dalam rahim kunti. di hari
anggara kasih
kita seperti dilerai dari
segala selisih.
sedang, mahabarata selalu
menjadi pertanda-
jiwa yang kurusetra.
maka, kita pun ingin turut
mengudara serta
mengembara,
seperti menggembalakan
jiwa,
yang dilesatkan putra
pandu
menembus langit mayapada.
entah bagaimana nyeri
kunti
sewaktu kurawa kian derap
menyerbu.
kita seakan kembali
pada kewingitan garba ibu.
2019
RUMAH TANPA KATA
(kepada yang tiada)
Kau akan mencium setiap
hela kata
ia tuturkan begitu mekar
aku pun hirup harum ruang
seperti melati pilihan.
Lantas, kau memungut
kelopak ucap
dan engkau pun lupa,
menyimpan sari kemaduan cinta.
padahal, ia telah
menggugurkan diri,
agar kau tanam dalam vas
kehidupan.
Aku tak berwasangka,
bagaimana dulu
ia hela itu kata sebagai
mawar-
kenanga atau kantil yang
sejujurnya ia tanam
agar kelak, dapat kubabar
usai menuai.
Kini, ini rumah tiada
bunga
tak ada lagi kuntum
percakapan
yang akan ia tuturkan
semekar kesabaran.
Ia kini mewangi
menyebrangi lautan di
angkasa
kelembutan yang lebih
tinggi.
2019
NASAB HUJAN
Hujan
bukanlah perundingan
awan dan mendung.
Ia hanyalah jelmaan bocah
yang tiap jatuhnya
mencium jalan, dan
bertitah pada ibunya.
2019
Tentang Penulis
Adhy Pramudya, lahir di Banyumas, 1993. Bergiat di Komunitas
Penyair Institut, Komunitas Sastra Pojok Stasiun, dan mengajar di SMA N 4
Purwokerto. Kini menetap di grumbul
Bonjok Kulon, RT 03/04, Ds. Tambaknegara, Kec. Rawalo, Kab. Banyumas.