Puisi, Kuburan dan Ziarah
“Orang bukan hanya
hidup berdampingan dengan kematian; orang hidup dari kematian.” kata
Martin Suryajaya dalam kumpulan puisi Nisan Annemarie (2020) karya
Binhad Nurrohmat. Martin memberi semacam kode eksistensialistik bahwa hidup dan
mati adalah kelindan takdir yang terberi. Akan tetapi, karena telah terberi
itulah, manusia berupaya untuk meraih makna, baik dari aras iman, bahasa hingga
budaya. Maka itu, Martin mencatat suasana optimistik bahwa tradisi ziarah kubur
sama signifikannya dengan menghidupi kehidupan yang fana.
Sebelumnya,
makna ucapan Martin di atas saya rasakan sendiri saat melakukan safari kuburan
medio 2011. Saya diajak sahabat memgikuti ziarah Wali Sanga Se-Jawa dan Bali
bersama rombongan Pondok Pesantren Al-Anwar, Bogangin, Sumpiuh, asuhan K.H.
Muchlasin. Setidaknya, di makam Sunan Muria, potret orang-orang yang hidup
berdampingan dengan dan dari kematian begitu kentara. Banyak penjaja,
mulai dari makanan sampai serban. Kematian “orang-orang suci” seperti itu
menjadi simbol bahwa sebagaimana hidup, kematianpun selalu menerbitkan harapan
(kebahagiaan).
Binhad
mengatakan …/kematian cuma pintu kesekian terkatup/ sebelum hari ajal
menyibaknya/ masa depan berjalan ke belakang dan langkah berpasrah/ menyambut
tanpa beralih ke penjuru lain/ (puisi “Di Ujung Kuburan Tahun”). Binhad
mengungkap kedalaman makna kematian. Memang ada nuansa haru pada sajak itu,
tetapi, haru yang tidak lebih dari sekedar ekspresi yang “terkatup” oleh doa
agar kematian menjadi cahaya seperti /alis beruban secekung sabit menuju
kubur/ saat rembulan setengah purnama di langit/ (puisi “Selasa Di
Pekuburan Ma’la: Kiai Maimun Zubair”).
Sebagaimana
Kuburan Imperium (2019), kumpulan puisi Nisan Annemarie (2020)
juga memiliki tenaga kesunyian dan kekhusyukan dalam memaknai kematian . Binhad
seperti sedang menyusun “biografi kematian.” Biografi yang mencatat kesumba
kelahiran, jejak, petilasan, batu berundak, syekh dari Timur atau penyair Barat
yang fana. Binhad memiliki estetika semacam itu saya kira berangkat dari
pengetahuan dan pengalamannya yang menunja batinnya ihwal kuburan. Sehingga,
bahasa muncul serupa intuisi/ ilham. Barangkali ruh-ruh “meminta” untuk
dituliskan.
Dari
sanalah penting kiranya melestarikan tradisi ziarah. “Di dunia, manusia
sesungguhnya tertidur. Sebaliknya, di alam kubur, manusia terjaga.” Dalam
puisinya “Nisan Annemarie” Binhad melukis suasana kematian dengan anggun: …/perjalanan
di dunia seumpama mimpi/ menempuh serentang ruang dan masa/ seperti Annemarie
Schimmel mengerti/ di relung pusara bermula segala cerita/. Oleh karena
itu, saat berziarah ke suatu makam, kita sama saja mengunjungi orang yang hidup
dalam keabadian. Kitalah yang sesungguhnya “diziarahi” oleh mereka yang ada di
dalam kubur. Sebab “di dunia, manusia tertidur”. Konon, jenazah di alam kubur
bisa merasakan dan mendengar doa peziarah. Akan tetapi, apakah yang berziarah
itu bisa merasakan atau mungkin “mendengar” ruap kebahagiaan mereka di alam
kubur? Saya kira tidak. Kecuali hati mereka yang bersih dan diberi anugerah kasyaf
oleh Tuhan. Artinya, kematian harus disambut baik, sebagaimana Komaruddin
Hidayat wedarkan dalam bukunya Psikologi Kematian. Dia mengatakan kurang
lebih bahwa kematian adalah kepulangan. Tidak ada hal yang paling indah,
melainkan pulang ke rumah (yang abadi). Maka dari itu, kematian harus disambut
dengan gempita, selaiknya Jalaluddin Rumi yang tetap menyuruh santrinya terus
menari saat ajal datang menjemputnya.
Dalam
risetnya Tradisi Ziarah Dalam Masyarakat Jawa (2016) Misbahul
Mujib mengatakan bahwa ziarah kubur merupakan sebuah perilaku agama yang sangat
penting di semua pelosok dunia Islam dan berakar pada ajaran Islam. Dalam
konteks itulah, fenomena ziarah tidak berwajah tunggal. Ia memiliki banyak
wajah, berkelindan antara kesalehan, penonjolan identitas ke-Islaman (juga
agama tertentu) dan bahkan dimensi komersial yang seringkali juga membonceng
tradisi ziarah. Ziarah merupakan bentuk masdar dari kata zaara yang
berarti menengok atau melawat. Luwis Ma’luf (1996) mengartikan ziarah dengan
“datang dengan maksud menemuinya”.
Binhad
mengajak pembaca untuk melawat dan menemui diri melalui petilasan, kuburan,
atau eksistensi wali di tengah masyarakat sebagai lambang kematian hidup
yang profan. Pada puisi “Mbah Fanani Di Tepi Lembah” dia menulis /Bukan di
relung lereng atau kaki gunung/ ketabahan membisu dari hasrat manusia/ di tepi
lembah di sisi jalan raya bertahun/ sekujur diri menghampa dari hiruk masa/.
Dari sajak itu, kita bisa merasakan bahwa kematian bukan hanya peristiwa
penguburan jasad, melainkan sebuah sikap menarik diri dari hiruk pikuk
kesibukan manusia yang nisbi, agar hati dan pikirannya yang telah manunggal dengan
Tuhan, tidak terdistorsi oleh suara “hiruk-pikuk masa”. Mbah Fanani memang
populer sebagai seorang wali “penjaga” kawasan dataran tinggi Dieng yang
gemar “nyepi” di tepi jalan.
Akan
tetapi, tidak semua orang dapat bersikap sedemikian ekstrem seperti Mbah
Fanani. Kematian sebagai sebuah sikap sama halnya manusia melakukan adaptasi
terhadap suasana duka cita. Dalam perspektif psikologi, Miskahuddin (2019)
mengungkap duka cita (grieve) menjadi aspek yang menguntungkan, bahwa
hal itu akan menstimulasi orang untuk mencoba menyadari dunia mereka. Pada
puisi “Kosmologi Diri” Binhad mencoba untuk membangkitkan kesadaran dunia
manusia: …/awal dan akhir sebundar lingkaran cincin/ lebih terang dari
pendaran bulat matahari/ hidup dan mati berkelana bersama angin/ sebelum
sebujur terbaring beku dan sepi/. Binhad memainkan bunyi indah untuk
menggambar awal dan akhir kehidupan manusia. Kadang-kadang manusia memang perlu
bunyi – semacam lagu – mistikus cinta dan nostalgik untuk membangkitkan
kesadaran atau sebatas kenangan masa silam. Tidak heran, pesantren lekat dengan
tradisi nadzoman. Sebab, bunyi nadzom itu mampu menyalakan kesadaran spiritual dunia
santri. Juga sebagai estetika hidup.
Syahdan,
kumpulan puisi Nisan Annemarie (2020) mampu membangkitkan perenungan
akan pentingnya sikap-sikap kematian, atau dalam istilah Emha Ainun Nadjib
sikap berpuasa (puasa dari kepentingan apapun yang bersifat duniawi). Jangan
sampai, kematian hanya sebatas riuh yasin di malam tahlil atau puing-puing
sejarah yang lapuk. Kematian, sebagaimana kata Martin Suryajaya, “menjadi
sarana mencapai keindahan.”
***
BIODATA PENULIS
Wahyu Budiantoro lahir di Purwokerto, 10
April. Seorang Dosen dan bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP)
Purwokerto. Beberapa tulisannya pernah dipublikasikan di Republika, Badan Bahasa Kemdikbud, Basabasi.co, Suara Merdeka, dll. Buku pertamanya berjudul Aplikasi
Teori Psikologi Sastra: Kajian Puisi dan Kehidupan Abdul Wachid B.S. (Kaldera Press, 2016). Buku keduanya berjudul Epistemologi Komunikasi Transendental (Cinta Buku, 2021). Tempat tinggalnya di Jl. Dr. Angka, Gg. III, No.
36, RT: 02 RW: VII, Sokanegara, Purwokerto Timur, Kab. Banyumas, Jawa Tengah,
53115. Sehari-hari bisa dihubungi via No. WA: 08979559154. Email: budiantoro.wahyu@yahoo.co.id.