BLUES
Notasi ini tak sekedar lahir dari kesedihan
dan berlayar pada garis birama.
Partitur minor dan mayor berenang lurus;
Betapa takdir kerap kali menggerus wajah tirus ini.
Dari kota ke kota, menyusup di antara lanskap, seperti juga bayang seekor kuda di tengah padang pasir yang rindu mekar kelopak bunga.
Apakah ini sebuah ritual, pada keriuhan yang menolak sekal?
Atau sebatas terumbu, hidup di akuarium kotamu.
Tetapi selembar mimpi tentang kebebasan seperti daging panggang, begitu lekas dilahap lengang.
Sepasang benduan menjatuhkan gerimis pada curam suara akustik, terasa benar kebebasan hanya seluas mata itik.
BLUES HARI INI
-Buil
Blues hampir pingsan,
dan hari ini kau mainkan lagi Delta
setelah menariknya dari jauh kelahirannya.
Di batas sepi ini,
kau memainkan kenisbian derita
melalui nada-nada pedih,
pada petikan akustik
yang membuat gigil secangkir whizky.
Kau nyanyikan melankoli, tentang mimpi
menyebrangi kemiskinan dan
tentang kemiskinan
yang membatasi kesenangan.
Meski tak ada lagi
selembar daun surga hari ini,
Tapi terasa benar seolah kau
membawaku ke arah niskala.
PARTITUR
Kita telah melewati lagu ke dua puluh,
Dan kau telah menyihir dirimu sebagai perahu,
“Naiklah ke punggungku
agar bisa menyebrangi partitur ini”
Begitu katamu sebelum pergi.
Kini aku duduk di pundakmu
menyaksikan beberapa ekor penyu
timbul-tenggelam, padahal hari
sudah hampir malam.
Tangga nada seperti juga jalan berombak
yang harus ditempuh. Meski tubuhmu terhuyung,
pada garis birama yang menusuk palung.
Seorang perempuan di bibir pantai
melambai dengan airmata
sepanjang rambut Rapunzel,
lalu kita menyatu dan menyadari,
jarak kita tak seluas garis mimpi.
TAFSIR TERAKHIR
Kini aku telah selesai pada pengembaraanku;
enam juntai kalimat, sepuluh angka pucat, sehelai
sepi, dan empat kisah nabi terbang ke langit menunggangi
seekor gajah sayap cahaya. Kau mungkin bertanya:
apalagi hendak kau arungi pada rumput tirus ini?
kertas berdebu, ampas kopi sisa semalam, ricuh prenjak
datang begitu saja ketika setangkai mawar patah-jatuh
dari ranting rambutku.
jika kau bisa menyentuh kilau di dalam tubuhmu,
akan ada getaran merangkak dari atap tulang igamu,
dan akan kau lihat detak jantung tiap kata dari halaman
terakhir itu, katamu. Tembok berlumut, biji kapulaga,
dan rak-rak berdebu. Pada hari itu, jangan pernah bertanya;
Kemana angka-angka pergi setelah hari ini?
MEDITASI
1/
Cahaya warna ungu, kilau seputih gandum, mengekalkan sederet suara di balik mata yang lain.
sudikah tuan menggeser tubuh dari tempat duduk itu? Sedang aku melihat galaksi berputar di balik keningku.
2/
Angin basah di kelopak mataku, mengalir naik membasuh planet-planet yang merangkak di keningku.
Aku ciptakan matahari, cahayanya luntur di sekujur tulang igaku. Dua belas cawan tak mampu menampung, ribuan urat tak mampu membendung.
Kini jantungku panas api, mendidihkan darah, melebamkan amarah.
3/
Seorang Bathara mandi keramas, di depan pintu piramida warna emas. Jangan pernah kau sangsikan, letak batas sadar dan mimpimu.
NARASI BANYUMAS
/I/
Tanah ini tak pernah gelisah, seorang kusir menarik kereta melewati jembatan Serayu di mana orang-orang biasa menghanyutkan sial ketika bulan mengambang, dan gelombang arusnya memecah pemandangan itu.
Tak ada bias cahaya, empat ekor kuda putih setengah berlari, dan sepotong kabut membius jalan ular di Kaliori, jalan pelarian hantu dan para bajingan, juga jalan menuju gubuk seorang pertapa.
Kendati ia seorang pertapa, tetapi tak ada kegelapan di rumah itu. Ia asuh setangkai bunga dan mengirim wangi itu ke hati setiap orang. Semesta menjadi siswa dan melahirkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan agung tak pernah terjebak tempurung.
Ia mengasah sisa garis-garis hujan pada pangkuan selembar daun kelor. Burung-burung bercericit dan matahari merekah. Burung-burung turun dari punggung Gunung Slamet sejak subuh hari untuk mengaji. Hanya sebatas mencari keramaian dan bermain-main. Sebab tanah ini cukup menyemai-hidupkan makanan lima abad ke depan!
Bau garam dari laut dan sayur mayur perbukitan, serta sangrai pepes peda cukup hangat pada berisik musim kawin. Tapi kebijaksanaan bukan perihal isi perut.
/II/
Kau dibalut dengan baju aspal dan pepohonan beton menjulang tinggi. Riuh angin tak terasa, bising arus kali semakin tak terdengar lagi. Burung-burung memilih memasuki ruang-ruang sunyi.
Tak ada lagi rumah bagi seorang pertapa.
Bunga-bunga tumbuh dan kolam mulai terisi air di jantungmu. Tubuhmu semakin kurus dan bajumu telah robek pada setiap tikungan. Pagi-pagi sekali kau merasa demam dan menggigil bukan lagi karena musim. Asap dari lembaran angsuran dan vapor yang kian angkuh. Tapi orang-orang itu semakin lupa untuk mengganti bajumu.
Mungkin, kelak kau akan melepas seluruh bajumu. Pergi mengunjungi sunyi yang purba. Meninggalkan segala kehendak dan keinginan, sebelum kembali menjadi rumah bagi para pertapa.
2017
RUMAH MASA DEPAN
kesunyian membawa kita menyentuh daun pintu yang lain: sebuah cakra merekam benda-benda yang berbincang ketelingasan manusia; wadah setiap amarah dan sungai yang mengalirkan kobar api dan air; lalu kita menyadari jarak kematian hanya setipis kulit telur.
masa depan adalah muasal setiap gejolak yang melaju seperti perahu pada setiap jalan keinginan; menyisir lekuk-lekuk tubuh sungai mimpi; memunguti batu-batu rencana; pondasi-pondasi rumah ditanam; meratakan rumah-rumah yang menutup jendela rencana yang lain.
dengan amarah segalanya telah mengalir; riwayat qobil hingga pandemi yang nisbi; lalu kita begitu mudah melupakan sepiring nuklir yang tersaji setiap hari di tanah para nabi.
tetapi selalu ada sejarah yang lupa dituliskan; gemulak birahi yang dijerang pada pertunjukan surat kabar; lanskap airmata dan panen darah yang dicabik oleh lensa; si hidup yang mampu membendung jalan sang waktu.
KALIBENING
* Achid BS
dari timur kau merangkak bersama kuda besi.
mengunjungi serayu dan seorang syekh di Bukit Kalibening.
daun-daun pohon bambu, dan akar yang tabah
ratusan tahun memeram bau tanah
yang tertampar doa-doa para santri.
ini puisi, katamu.
angin terbang tanpa ekor di pantatnya, menembus simetris jaring laba-laba;
lalu, bagaimana selembar firman jatuh di pelataran Kanjeng Nabi?
padahal tanah kering, tetapi air begitu deras mengalir
seperti dzikir mengucur dari bibirmu.
di bukit ini seorang syekh menanam batu
tapi buah-buahan di sini terasa begitu perdu
sedangkan sisa napak tilas ini,
telah merekam wangi bunga-bunga bambu
yang hanya lahir di bukit ini.
2017
DONGENG PESISIR
alkisah lelaki tua
menutup pintu goa
mencuri cinta sebesar biji kedelai.
lalu terbang
membawa jantung kembang kenanga
di gelungan ayu imitasi jin segara itu.
pesisir menanam, pada bentangan
matahari terbenam, pasir-pasir menghangatkan
derai sayup angin dan badai.
cinta sebesar biji kedelai,
kini telah tumbuh bagai sebuah wasiat.
cerita tutur merawatnya, berlompatan
dari lidah ke kisah. Hidup seperti
raja kecil yang belajar memainkan sabda;
malik Ibrahim… ya malik Ibrahim
yaa maulana maghribi… maulana maghribi
sabda yang mengundang angin subuh, sabda yang
mendulang gedebur ombak. Kerincing kereta selatan,
menyalami pendoa yang linglung menuju jalan pulang.
malik Ibrahim… yaa maulana maghribi…
wasilah membelah segara
seperti jalan setapak pada kisah Musa,
dan wangi kembang yang tenggelam
seharum hajat yang tercecer pada sayap doa.
2021
SEBUAH MISA DI JALAN MENEMBUS GOA MARIA
Burung-burung mengalun begitu pelan,
daun-daun meringkuk, dan siul kutilang
bagai sebuah doa.
Hari ini yang terakhir
mata kita bersulang pandangan, katamu.
kita merayakan sebuah kepergian,
di antara nama-nama yang tertulis manis
di atas lembaran keramik.
udara lembab,
airmata seperti kristal,
dipetik suara kedasih di pohon mahoni
betapa hidup adalah menerima
sepasang telapak tangan yang
diulurkan semesta
pada jalan penjelmaan yang lain.
sedangkan aku melihatmu,
menyatu dengan debu tanah
yang menguap terbang bersama angin
sore itu
DI KAYANGAN
* Iyos
sebelum menyebrang ke Sumbawa, kedip matamu
jadi hantu di Kayangan. kabut runtuh pada batas pelabuhan.
kapal-kapal mengangkut perih ke pangku laut. dan kau mengiris
mimpi-mimpi itu dan melemparnya ke dasar tapal.
pernah suatu kali di pelabuhan ini, bayanganmu datang
dan mengisahkan beberapa kejadian; ikan-ikan mati
di dalam bangkar yang ditinggalkan. dan kau menangis
pada derik senja yang pualam.
tapi aku juga ingat hari itu. airmata tergelincir di simpang waktu.
kau berjalan sebelum meninggalkan kecupan
dan tubuhmu menipis pada pelupuk mataku.
2017
RENCANA BERPERGIAN
kita pernah mengumpulkan rencana untuk pergi dari kota ini;
dua liter cikakak dan selembar daun kecubung, akan membawa
kita bertemu para nabi di langit yang agung.
barangkali kau ingin berjalan di tepi segara, menangkap binatang
yang membuat seorang penyair di tepi pesisir ini
memilih menulis puisi, ketimbang menanam secangkir dendam.
di sana kita juga bisa berjalan menaiki tangga di bukit kecil,
dan kau akan melihat jika laut begitu mungil,
atau kita berdoa di bukit kecil itu, mengantongi restu
dari mulut Semar. lalu seekor anjing buntung
menguntit hingga ke tepi mercusuar.
tapi rencana tak selalu menjadi rencana. simpul-simpul
keinginan berbenturan kerap jadi bencana. sebab nyatanya
kita tak pernah pergi kemana-mana.
2017
JALAN DAUN
Daun itu jatuh diarak sungai ke hulu-muara tanpa pernah sampai ke batas laut yang setia menyimpan kerinduannya. Ia menjelma pertapa yang menyelami doa-doa, agar sampai ke dasar sunyi yang jauh dari gaung bunyi-sebab di sana ada sebuah rumah tempat di mana kepergian dan kepulangan hanya lewat satu pintu.
tubuh kuyupnya hampir membusuk, pada tirisan air hujan ia menepi ke sisi sebuah batu. pada muka waktu yang hampir habis, gelap turun mengaburkan bayang dirinya-ia lelap tanpa isyarat suara. ketika terbangun ia telah tumbuh di sebuah pohon menjadi diri yang tak pernah ia kenal, tanpa pernah ia rencanakan.
Tentang Penulis
Irfan M. Nugraha, lahir dan besar di Purwokerto. Suka membaca puisi. Bekerja lepas sebagai Digital Marketing untuk brand-brand lokal UMKM. Hidup berpindah-pindah antara Purwokerto-Balaraja-Borneo (Tidak bisa dihubungi).