CARA LAIN MEMINUM KOPI
Aku menghabiskan dan masih mencari
Di cangkir itu, ada sendang dan dasarnya
tetaplah misteri
Aku meminumnya seperti tenggelam
ke sendang, tertekan sebelum lepas
tanpa syarat atau luput sendirinya.
Apa yang kukenang adalah segala
yang kuhanyutkan ke sana.
Apa yang kuhanyutkan adalah
segala yang pantas kuhanyutkan kecuali racun
yang tiada penawarnya: kebingunganku sendiri.
Ketakutanku yang nanar terhadap apa.
Kau akan mendengar esok hari, seseorang
telah mati meneguk racunnya sendiri.
Akulah berita ketiadaan
yang menyemerbak ke seluruh kota.
Orang-orang tidak menemukan bukti
meski mereka telah habiskan setiap detik
yang melambat dan siapa pun tahu waktu tidak
biasa mengalah untukku atau untuk cinta.
Kadang kita harus percaya waktu berhenti
semata untuk kita saja atau kita terhenti semata
karena waktu saja. Dan aku sadar saat itulah
kesekian kalianya aku lagi-lagi mengalah.
Mereka menjadi tamak dan iri kepada
kesenyapan malam tapi bukan di sana
kutelentangkan kematianku.
Bila esok kau tidak sabar lagi.
Kau minum racunku dan
kau seduh hatiku: satu-satunya yang tersisa
dan masih bisa kau percaya.
Suntuk pencarianmu di situ.
Di hari kau menyaksikan sendiri
kesungguhanku yang tiada
berpura-pura
Kendari, 2 Januari 2022
ENREKANG: MALAM IALAH KOPI
~ tentang Om Asis ~
Paman mengenang hari-harinya
di setiap gelas arabika. Di sini, malam gugup
menyaksikan tubuhnya yang dipinjam
atau sebenarnya hilang dan terus dibicarakan
oleh orang-orang pasar Kalosi. Ada kalanya ia tidak
menjadi milik siapa-siapa. Ia terlantar dan berulang
bagaimana pun kunamai ia likatnya tetap saja.
Bulan dan bintang tetap menjadi tanda baca
yang lebih seperti pertanyaan daripada pernyataan.
Tapi kami bersyukur di Enrekang jalanan cukup
berlutut kepada para petani. Lalu perdu-perdu
dipanen dan biji arabika dihitung seperti anak
sekolah menghitung saksama
butir demi butir swipoa.
Kau tidak langsung melihat gelap di sana.
Ia malu dan terlanjur nyaman dikenang jadi misteri.
Layaknya hati yang berdalih pada percaya rasa,
biji kopi meminjamnya dari para ayah dan mereka
tidak membawa hitam itu pulang ke rumah.
Karena anak-anaknya selalu bisa tersenyum,
tiada tercela tanya kecuali tentang bagaimana
merah buah kopi sepenuh pandainya
menjadi ayah yang lain
bagi mereka yang meminjam malam:
kau, tahu para ayah telah belajar
menyembunyikan kesakitan itu,
mereka telah tamat
sejak merah telah berubah kelam
pada akhirnya, sebelum hati menawarkannya
agar tak menjadi racun lara.
“Kau tahu, aku tidak suka kopi saset.
Kopi ini lebih enak meskipun kau bilang ampasnya
lebih pahit dan ranggas daripada taman bunga di kota”
Paman selalu yakin jika kau masih
merasai pahit likat ampas sisa di malam-malam
gamang berarti masih ada tanah yang tersisa untuknya
entah itu untuk taman makamnya nanti atau untuk
menanam kopi di tanah lahir semata doa.
Nanti ia tahu malam tidak terlalu suka
dibicarakan hanya karena ia tidak lebih
gesit menyembunyikan berita seperti
koran tua memenjarakan cerpen
dan puisi masyhur dari kuda liar zaman.
Ah, kopi di sini cukup mengantarkan kami ke dipan
dan biarkan matahari menggelikan bagi kebun-kebun kami
yang senantiasa terlambat lelap dan bangun:
kabut seperti selimut rindu
yang lebih elus daripada randu
yang selalu mahal di pasar Kalosi.
Paman tidak suka kopi-kopi impor
berdatangan seperti musim gugur yang
dinantikan anak sekolah
“Aku ingin manusia hidup itu-itu saja.
Bisakah barista mengocok kopi bersama
ampasnya? Mereka telah teguk semuanya
lalu kehilangan jejaknya.
Sampaikan pada orang kota,
nak–aku membangun rumah
panggungku sendiri tetapi pasak-pasaknya
tidak segampang
aku pasakkan benih kopi
di tanah yang mandi dengan keringat kami
dan berselimut dengan risau hati kami.
Kendari, 26 Desember 2021
Catatan
Enrekang: Salah satu kabupaten penghasil kopi di Sulawesi Selatan.
Kalosi: Kalosi merupakan nama sebuah pasar di wilayah Kabupaten Enrekang.
KAONGKEONGKEA
Kita tidak cerita semata
mengenang tanah
yang bertasbih
dengan butir-butir kopi Kaongkeongkea
Mungkin sudah saat sudi kau menyeruput
pengakuan yang lain yang kau namai pasi
bagi telapak kaki Murhum.
Tapi aku tahu kubah gagah telah sempurna
di situ, di jalan setapak perdu dan rimba
bagi bilal yang membangunkan para petani
dari lelap yang gagu: Pelanduk
dari hutan Lambusango.
Kumandang yang teramat sekarang.
Tapi bila masih tersisa ampas lebih
seperti tanah gambut di cangkir
orang-orang Rongi. Masih ada rimba yang
belum kau rangkai seperti lukisan
yang anak-anak Buton haturkan jika
terhadirkan tanya
bagaimana ayahmu menyusun
bilah tangga bagi rumah baru mereka?
Sejak lama mereka lebih memilih menjaga
Hutan Kaombo daripada tanah.
Tapi mereka juga tidak mengizinkan biji-bijian
kopi menganyam akar baru di sana
Sedang para ayah mulai merasai nadi-nadi
mereka tersemat di anyaman itu
Hingga ia tak sekedar kau kenal hampa
pada kata bertahan dan dapur-dapur lapar
terhadap api atau amarah.
Besok atau nanti kanak-kanak menanti
kepastian apakah harus mereka
maknai ranggas atahu pertanda
kelahiran setiap mereka melihat
tidak ada lagi gambut
di cangkir ayahnya
Kendari, 21 Januari 2022
Catatan
Murhum: Sebutan untuk Sultan Keraton Buton.
Hutan Lambusango: Salah satu hutan konservasi di Buton.
Rongi: Nama sekumpulan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Pulau Buton.
Kaombo: Hutan adat di bawah kekuasaan MHA Rongi.
LAMBUSANGO
Di Lambusango rimba masih memilih
berzikir kepada Tuhan lewat helai-helai sayap
burung enggang setiap tiba pagi atau
petang sembahyang bagi hutan
adalah tidur tenang anak-anak enggang
tapi tanda sempurna pengakuan si jantan
sebagai ayah jauh lebih berterima
daripada ayah-ayah di tanah yang tandus.
Di sini rumah-rumah dan anak tangga
tidak pernah betul-betul ada
tapi pintu selalu terbuka bagi cinta
yang tidak bercermin kepada kekayaan harta
tanpa nama. Si jantan tahu ia tidak sendiri sejak
pintu terbuka dan kekasihnya mulai menghitung
helai-helai sayapnya sebagai satu-satunya
suci harta yang dimaharkan cinta.
Diingatnya syair senja sejak ia memilih
jalan yang beribu kali ditanggalkan
ayah di tanah yang tandus ia tebus
takdir yang lama tertidur di pangkuan Tuhan:
Bila nanti pupus satu-satu apa
yang tersisa tiada dua
kecuali kau dan aku
Kendari, 10 Januari 2022
LAMPU TAMAN
Aku belajar menjadi lampu taman
yang tidak pernah sempurna mengenal
cahaya tetapi mengerti kesendirian itu
datang pada saatnya. Aku belajar dari kesendirian
taman-taman indah oleh lampu
yang belum selesai menuntut
pengakuan. Jika sadar diriku
bahwa dunia dapat tiba-tiba menjelma rumah tua
yang ditinggalkan pemiliknya sebab ada saatnya
tiba bertubi sepi, aku barangkali
akan memilih untuk tidak
berumah lagi dan lebih banyak mengenal
orang-orang lain
yang dilainkan oleh waktu:
Aku mengenalnya suatu hari
tetapi waktu lebih naif menguburnya
di pantai sedang tiada batu nisan
sebagai satu-satunya
tanda ingatan kecuali puisi kecil
tergaritkan di sana lebih seperti
frasa rindu yang kadaluwarsa
daripada nama panjang
yang tidak sampai dipanggil
fasih oleh ingatan masa lalu
Menjadi lampu taman berarti menjadi
diriku sendiri. Tidak ada alasan hidup
yang terbersit dalamku kecuali aku.
Dan apabila aku tidak menjadi cukup berkarena
di sana cahaya lebur ke malam dan siang
saat hadir banyak orang justru menjadikan
kehadiranku
ialah luput sebuah arti.
Kendari, 23 Januari 2022
PEDOLE-DOLE
Di Buton, kelahiran bayi kecil berarti merahasiakan satu perahu
sebelum laut mengecup atau menelannya. Baris paling rapi
bukanlah hana laut kala senja, tapi kalimat doa Ibu
yang terkungkung di selipat carik kertas. Ibu tahu suatu hari
bayi kecil bakal menyingkapnya seorang diri, merangkainya
jadi perahu takdir. Ibu membasuhnya segelas minyak kelapa
sehelai daun pisang tempat dia berbaring agar putranya
tak terlambat merelakan segala payah nyala di atas kaki sendiri
Dia diguling-gulingkan di situ, dia gundah dan ibu kini hanya bisa
mengenalnya lewat tangis mungil yang gigil: atas pundak
siapa lagi hendak luruh lalu mengalir serupa menyapa kasih?
Di akhir cerita singkat ritus itu, sang Bhisa
memberi ibu sebutir telur: ”jangan bekali anakmu Indomie
karena telur bahkan tidak pernah menetaskan dirinya sendiri!”
Kendari, 8 Desember 2021
Tentang
Penulis
MUAMMAR QADAFI MUHAJIR (MQM),
lahir di Baubau, Sulawasi Tenggara, 10 Oktober 2001. Ia menulis puisi sejak usia sekolah menengah
pertama. Semasa sekolah, ia
aktif di Komunitas Fransi Sastra SMAN 4 Kendari. Pernah Juara I pada Sayembara Cipta Puisi
kategori SMP/Sederajat Se-Sulawesi Tenggara yang diadakan Kantor Bahasa
Provinsi Sulawesi Tenggara pada bulan Juni, 2015. Setelah itu tahun 2016,
memperoleh Harapan I pada kegiatan yang sama di bulan Agustus, 2016 yang
berkategori SMA/Sederajat. Ia juga Juara I Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional
(peserta SMA dan Mahasiswa) yang dilaksanakan Laskar Sastra-UHO, Juara I Lomba
Cipta Puisi KRAKATAU I Tingkat Nasional (Kategori SMA dan Mahasiswa) yang
dilaksanakan FORKOMMI-UGM. Tahun 2017, menjadi peserta ARKI (Akademi Remaja
Kreatif Indonesia) tahun 2017 dan naskahnya dibukukan Mizan Publishing House. Ammar,
demikian sapaan akrabnya, juga Juara II pada Lomba Cipta Puisi Krakatau II
Tingkat Nasional yang dilaksanakan oleh FORKOMMI-UGM, 2018. Terkini, ia Juara
II pada Cipta Puisi, Festival Sastra FIB UGM yang dilaksanakan oleh Fakultas
Ilmu Budaya UGM, 2018. Ia berkediaman di Jalan HEA Mokodompit, Lorong Salangga,
Kota Kendari bersama kedua orang tua kandung. Sejak awal 2016, ia bergiat di
Pustaka Kabanti Kendari. Di komunitas sekolah tersebut, ia aktif menulis puisi
bersama temannya yang lain. Bulan Mei 2018, ia diundang pada Panggung Penyair
Kabanti. Pada Juni 2019, buku antologi puisi tunggalnya, Kubah Sajadah
Murhum diterbitkan oleh Pustaka Kabanti. Puisi-puisinya pernah dimuat
di Harian Rakyat Sultra. Selain itu juga dimuat di antologi
puisi Rosaceae, Jagat Raya di Tubuh Ibu, Penjahit Telinga, dan Kreator
Masa Depan. Tahun 2019, menerima Penghargaan Taruna Sastra dari Badan
Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Terkini, puisinya dimuat antologi puisi Jazirah 5 yang diluncurkan
pada Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSGIB), Kepulauan Riau, 2020.
Tahun 2020 ini, bersama tiga sastrawan lainnya diundang mewakili Sulawesi
Tenggara pada Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI) III yang
dilaksanakan oleh Badan Pengambangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta.