Rinduku
yang Tumpah
selalu saja.
kaubasuh sajadah.
di palung-palung
malam. dalam doa.
dalam bilangan
yang entah.
menjelang pagi. Dengan
air mata fitri.
demi cintamu.
kepadaku dan anak cucu.
sebelum berlalu.
aku suka engkau
bahagia. walau di sana.
seperti juga
engkau mengerti. kami semua
bahagia. di
sini. semua bermula dari air mata
cintamu. yang
menderaskan doa.
menganyam serat
demi serat. menjadi
selembar
sajadah. yang kini selalu
juga basah. bagi
doa dan rinduku
yang tumpah.
setiap saat. setiap saat
Bulir-bulir
Beras Rindu
kaumasukkan
bulir-bulir beras rindu.
dalam anyaman
janur-janur harapan.
dijerang didih
dahaga di atas getar api lapar.
seikat ketupat
cinta terhidang di meja.
hidrat arang
jiwadan protein sukma.
pintu terbuka
kembali buat berbuka telah tiba.
ketika engkau
mudik ke kampung halaman.
asal muasal
dirimu ada. kauanyam lagi
lapis-lapis
langit dan bumi. keabadian dan
kesementaraan.
janur kuning kemuliaan
dan derita. asal
muasal kejadian. kumandang
agung dalam
dada. derai air mata dan pasrah jiwa.
ketika engkau
mudik duluan. ke kampung
halaman. kampung
perjalananmu bermula.
Tapi
Ada Puisi
kini kutulis
puisi tentang punggung bukit.
di belahan jagat
utara. tempat kita bercanda.
dulu. sehabis
berhari-hari sakit. takkunjung reda.
kita bayangkan
laut selatan. saat itu. sebelum
kabut melaju.
sebelum hari berlalu. membawamu.
ke balik
cakrawala biru.
ya. laut
selatan. tempat gelombang dan ombak
main air.
bersimburan di bawah angin. lalu tepian. pasir pun mendesir. menyela-nyela hasrat
dan ingin. hati kita pun berdesir. bersama usia yang menggigir.
ya. bukit utara.
tempat kita bercengkerama.
dulu. sehabis
lahar, perdu pun mulai menghijau.
kini. ada
kelebat bayangmu. di sana.
ada hati risau.
di sini. tapi ada puisi. rumah singgah
bagi diri yang
sunyi. tapi ada puisi. rumah tempat
kita menaut
diri. bersama anak cucu. sebelum
hari-hariku
berlalu.
Dalam
Sakit, Dalam Jarak
dalam sakit,
angka-angka
usia pun telah
habis berjajar.
pada mistar yang
bergetar.
juga kalender.
yang setia
mencatat
pergerakan hari.
dari januari
hingga desember.
takkenal henti.
dalam sakit,
namamu mengalir
dalam erang.
menuju hilir.
gending pun
kumandang.
menuju suwukan
akhir.
dalam irama
maskumambang.
hingga kinanthi
pawukir.
dalam sakit,
kugenggam erat
jari-jarimu yang hangat.
kaubimbing aku
membaca ayat-ayat.
kembali dan
kembali hati kita berjabat.
dalam jarak.
tapi cuma satu urat.
Ladrang
Mega
lempeng-lempeng
perunggu.
jiwaku dan
jiwamu. menyatu di situ.
kutabuh ladrang
dhudha kasmaran.
kaulantunkan
cakepan pucung wuyung.
kita pun
ngumandang.
sampai di alas padhang.
lalu kandha manyura.
tapi kini,
tanpamu, aku pun
ladrang mega
mendhung.
jika bukan
kuwung-kuwung.
Debar
Akar-akar
berjalan menuju
selatan,
engkau pun
sebuah sungai.
gemericik air.
mengalir menuju
muara akhir.
gunung dan
bukit-bukit adalah
masa lalu yang
takmungkin diabai.
juga lembah dan
ngarai.
menuju selatan,
engkau pun
menyongsong
gelombang pasang.
dan hati pun
menjadi keluasan
tak terperi.
peta-peta
harapan masa depan.
tapi tanpa
tapal-tapal batas pasti.
dari timur,
engkau pun ke
kiri.
membilang umur
tanpa angka pembagi.
sebatang pohon
besar menjulang tinggi.
rindang daun dan
debar akar-akar.
di situ angin
hidupmu bersarang
dan resahmu terbagi.
Alangkah
Tipis Garis Perbatasan
sehabis raudhah,
bendung air mata
tumpah.
aku lihat
hamparan surga di matamu.
engkau yang
seakan berkemas
dalam gegas.
di pundakmu
terjuntai sebuah tas.
di ujung jarimu
tergenggam juga:
sebuah tas.
“aku duluan,
sayang,” bisikmu pelan
dalam senyuman
aulia.
aku pun
takpercaya.
alangkah tipis
garis perbatasan.
antara jaga dan
tidur.
kini aku
melihatmu di putik-putik bunga
rumputan halaman rumah.
yang dulu selalu
kausiram dengan ramah.
aku dengar
suaramu
lewat kicau pagi
hari di dahan pohonan
yang tumbuh dekat rumah.
Pangandaran,
Membakar Dingin
di pangandaran
kita jalan. menyambut pagi.
membakar dingin
sepanjang pantai.
dua hati berpaut
takkenal lerai.
di pangandaran
kita berbincang. memaknai siang.
meredakan
gelombang pasang. sepanjang pasang.
sepanjang bayang.
di pangandaran
kita terdiam memasuki malam. bersama gemuruh ombak lautan.
pangandaran pun
menjadi gambar keabadian.
kini, ketika
pagi, siang dan sore hari.
ketika malam dan
dini hari. aku cuma sendiri.
ketika engkau
menyelinap ke balik tirai kelam.
“aku penuhi
panggilan, suamiku,”
pamit dengan
senyuman semburat kamboja.
Dalam
Dingin
hujan abu pagi
hari. daun-daun kelabu
bersama salam
merapi. kembali kueja namamu.
ketika bisikmu
lirih singgah di telinga kiriku.
daun-daun kelabu
dan salam merapi.
jalanan basah
dan dingin.
kuterjemahkan
diri dalam diri.
ketika pintu dan
jendelamu terbuka
bersama angin.
kueja namamu berulang kali.
bayang-bayang
pun meruang
menyambut ingin.
masa lalu pun
bangkit kembali.
aku dan
kauberbagi hangat dalam dingin.
Senyum
Terakhirmu
cahaya pun
terurai.
hingga di
daun-daun malam,
jiwa pun teratai.
mekar menggapai
batas-batas kelam.
siapa pun takkuasa
menghentikanmu.
membuka pintu
rumah yang telah dijanjikan.
ada engah yang
tertahan.
ketika senyum
terakhirmu menebar salam.
dan aku pun
mengaminkan.
Tentang
Penulis
Suminto A. Sayuti (lahir
26 Oktober 1956) adalah seniman berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal
melalui sejumlah karya sastra, baik yang diterbitkan sebagai buku ajar maupun
dipublikasikan di berbagai media massa. Suminto A. Sayuti merupakan salah satu Guru
Besar di Fakultas Bahasa dan Seni dan Program Pascasarjana Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY).
Suminto A. Sayuti lahir di Kabupaten
Purbalingga, Jawa Tengah, 26 Oktober 1956. Pada dekade 1970-an saat
tergabung dengan komunitas Persada Studi Klub Yogyakarta, namanya tidak
pernah absen dalam forum-forum diskusi sastra maupun pementasan-pementasan
puisi dan teater. Di kalangan seniman Yogyakarta, Suminto dikenal sebagai
pemuda “bengal” yang tidak pernah puas dengan ilmu yang didapat. Proses
kreatifnya dimulai dari kegemarannya membaca dan menulis sejak kecil. Semakin tersihir
oleh dunia sastra sejak masuk Yogyakarta sekitar 1974. Sejak bergabung dengan
komunitas Malioboro, mulailah ia menancapkan kukunya di dunia sastra. Penulis
yang juga Guru Besar UNY ini, juga menggeluti seni karawitan dan menggagas
serta pengurus Masyarakat Karawitan Jawa. Ratusan karya lahir darinya, baik
berupa makalah, diktat, buku, kumpulan puisi, cerpen, esai sastra, dan
sebagainya.
Daftar
karya ini hanya memuat sebagian karya Suminto A. Sayuti :
- Kumpulan Sajak Malam Tamansari
- Resepsi Sastra
- Intertekstualitas: Pemandu
Pengkajian Sastra - Ensiklopedia Sastra Indonesia
- Evaluasi Teks Sastra (2000,
terjemahan The Evaluation of
Literary Texts karya Rien T. Segers) - Semerbak Sajak (2000)
- Berkenalan dengan Prosa Fiksi (2000)
- Berkenalan dengan Puisi (Gama Media,
2002)
Penghargaan
:
- Kedaulatan
Rakyat Award, Bidang Kebudayaan (2005) - Anugerah
Sastra Yayasan Sastra Yogyakarta (2014)