MENGISI TUMBU
Sawah ini
bentangan balong, Nusamangir
anak-anakmu
mencari pematang setelah seluruh
kakinya berlumur
lumpur dan keranjang ikan berisi
empat belas ekor
kating
Di jembatan
irigasi sungainya menghadap mata angin
air agak malas
mengalir tetapi memantulkan cahaya
musim kemarau
di mana petak-petak
padi dipaneni
di bentangan
petak lain ditanami
Berangkatlah ibu, simpanan padi kita hampir habis
hari-hari adalah
bingkisan yang tidak pernah terduga
untung ruginya
angin dingin
Nusamangir terasa limbung
di bulak yang
dibatasi jalan angkutan antar kota
dan laju kereta
yang hanya terdengar derit jeritnya
mana ada tempat
berteduh untuk nanti
ketika matahari
menghitung waktu Zuhur
mesin penggiling
dami riuh
panas dan debu
lekat di keringat
makin retak
tanah keringmu
makin dalam
lumpur lebakmu
Ibu yang berhari–hari mbawon dari desa ke desa
membawa delapan
kilogram gabah pada hampir senja
dari arah timur,
barisan bangau terbang pulang
anak-anakmu
berteriak seperti meneriaki diri
;
kuntul… kuntul… omahmu wis
kobaran
terbakarlah
hasil buruhan dan buruan ikanmu
di malam
perapian tungku ibu
MAHKOTA BUNGA
: Bidens pillosa
Bunga ajeran yang tumbuh di pematang, di manakah
ingatan anak-anak mesti diletakkan
seorang dewasa sedang cemas berjalan
mencari bunga-bunga liar yang tumbuh selepas
hujan semalam
Ia memandangi rumput yang lapang mendampingi
tangkai panjang ajeran dan bunga kecil menjalar
pada rasa takut tentang waktu mendatang
Bagaimana merangkai mahkota bunga seperti masa kanak
yang berlarian begitu cepat dan melompat-lompat
bahagia
sementara tangannya telah lupa mengikat satu tangkai
ke
lainnya, seperti menautkan tabah dan sedih hingga
lepas dan patah
Ia butuh tangkai bunga ajeran lebih banyak lagi
tetapi langkahnya melambat, sendiri
MENGAKHIRI PERJALANAN
: Rubus strigosus
Seperti membuat goresan
dari ranting raspberry di jalan menikung
Aku menggenggam buah merah yang kau
petikkan untuk mengawali percakapan
warnanya serona cahaya pagi yang kita punggungi
dan kau berjalan lebih jauh tanpa mengatakan
apa-apa
Aku melintasi jalan ini berkali-kali lagi
memasuki semak penuh duri, memetik buah
beri, memotret jalan liku
juga umpatan yang aku tahan sendirian
hingga dua-tiga musim
Aku memilih doa baik meski melukakan diri
menahan dingin di bukit Limpakuwus
tanpa pembicaraan
apa-apa
KERANJANG BELANJA
: Limnocharis
flava
Seusai pulang dari pasar kau berkisah
tentang seikat sayur dan luka
Kita pernah menanam dan memanen
di balongan, kadang aku memikirkan
keong sawah
bertelur di tepian
dan bernaung di rimbun daun-daun
Kau menangkap, mengetuk pintu rumahnya
sampai hancur, dilemparkan
ke mangkuk pakan hewan ternakmu
Pagi ini kau membeli sayuran
seperti yang pernah kita rawat belasan tahun silam
kau akrabi kenangan dan rasa pahit dari
olahan masakanku yang sering
kuaduk dan kunyalakan api paling biru, tetapi
esok pagi jangan lupa, uangmu harus baik-baik saja
mengisi penuh keranjang belanja
MINUMAN POHON
Pohon durian
samping rumahku
makin tinggi dan
sendiri
ibu meramu
minuman, disiramkan
sebagai
persembahan juga membuka perbincangan
pada tengah
siang tanpa bayangan
Lalu kemarau
menurunkan hujan kiriman
tumbuhlah daun
baru
dan bunga yang
pendek usianya
mengabarkan
dirinya ingin tetap hidup
meski belum dianggap
berguna
Ia mengingat
induknya yang tiada
telah
mengumpulkan anak-anak cucu dan saudara
menjadi bahagia,
tertawa, bertengkar
menangis satu
per satu
tapi lekas baik
biasa saja
Lelaki yang
menanamnya telah mati
padahal ia
berjanji
berbuah untuk
dibagi-bagi
tapi lupa
meminta agar manis, besar
dan segera
INGATAN SANGAN
KOPI
:nini
Tidak ada lagi
asap dan jelaga di tiupanmu pada tungku
kayu di para menghabiskan
pembakaran demi pembakaran
waktu; tanahmu makin kering serupa
retakan sangan
hampir rapuh dan
tetap saja kau tabahkan perapian
gelombang
panasnya menguap ke wajahmu
Di dingklik
kau duduki ingatanku yang menjulur serupa api
dari bibir
tumang ditindih sangan sangkaan sepasang kekasih
biji-biji kopi
kau tuang dan merebaklah bau basah hujan
di mula musim
aku melihat lumpang sebelum kau
sentuhkan alu
debar tumbukanmu selalu seperti pelukan
mendetak lantai
rumah dan butiran kopi berlompatan
serangga diam di dindingmu yang getar
dug-dug nutu
anake lagi nangis
kau merapal
serupa mantra sementara binar mata
cucumu tempat
biji-biji kopi bercemin
sebelum kopi di
sanganmu menjadi pekat
liuk tanganmu tidak berhenti mengaduk
ada jelaga
singgah di sanggulmu
tubuhku tinggal dingin
usai usiamu kuantar ke arah uap
segelas kopi
diseduh
dengan sepenuh
kenangan
dan
kenangan
Tentang Penulis
Farikhatul ‘Ubudiyah, lahir pada 21 Oktober 1995 di Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Dia berkegiatan di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto. Dia meraih Juara 2 pada Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) penulisan puisi tahun 2016, dan Juara 1 lomba menulis tingkat mahasiswa se-Indonesia UKM KIAS tahun 2018. Beberapa puisinya dimuat di media massa. Tergabung dalam antologi bersama, Pesisiran (Negeri Poci, 2019), Khatulistiwa (Negeri Poci, 2021), Membaca Hujan di Musim Kemarau (Tembi Rumah Budaya, 2019), Arun (UKM Kias, 2018), dan lainnya. Berrumah di e-mail farikhah.ubudiyah@gmail.com.