Hikayat Temujin
Kami mendakwa
gugur harum adalah luka
bukan tersungkur oleh tua di tepi perapian.
“Tanah pengungsian bertulah, permulaan
mengenal darah”.
Maka,
kuda-kuda kudu berlari mengulur daratan
kapal-kapal harus melayari lautan.
Sebab, setiap kita telah ditanami dendam-birahi
: bala tentara akan menjadi sampah tanpa melukai diri.
Keringat demi
keringat kita ritualkan pada tarian kematian
satu per satu daratan akan kita lunaskan
lautan demi lautan kita arungi dengan jahanam
sangkakala melengking sampai jauh, bau anyir mengental
hingga jenuh.
Tentu kau
boleh mengutuk
peta-peta yang kami buat
yang memanjang dari timur ke barat
Tapi tak usah
cari letak kuburku atasnama puja-hina
Kita bersua saja dalam rahasia agar kau dapat melihat
kebengisan yang sebenarnya
Wuru di Kebun Teh Kemuning
/I/
Sayang, kita telah bersepakat tentang undak-turun seterjal apa pun
pada setiap tuju adalah pertanyaan yang tidak perlu dijawab
meski pertengkaran serupa pipis di pagi hari yang sulit dielakan.
/II/
Di puncak kebun teh, kita adalah kegelisahan yang tak kunjung selesai
di depan hamparan hijau, pasang mata kita, ‘putar beradu’.
Dadaku tertusuk punggung bibirmu yang berubah runcing
dan beraroma melati: kita menyatu, meleburkan dahaga hingga wuru
/III/
Di antara tanaman asli yang dipinggirkan, akar-akar teh
telah menjulur nunggak semi. Kita tak usah bertanya,
lebih agung mana teh atau kopi apalagi menanyakan
“lebih nyata mana, prosa atau puisi”.
/IV/
Sayang, kita telah bersepakat tidak memperdebatkan
mana minuman dari tumbuhan hulu atau hilir
siapa yang menetap lebih dahulu atau hanya numpang lahir
: musabab moyang kita sama-sama ‘pendatang‘
yang diam-diam saling berkacak pinggang
Ingatan tentang
Bapak dan Temanggung
Bapakku pernah bekerja menjadi buruh
cangkul di Temanggung
untuk menumbuhkan ribuan tembakau
di lereng-lereng gunung itu.
Agar anak-anaknya dapat makan bulgur
atawa nasi jagung.
Berangkat pagi demi pulang dini hari
meskipun tidak ada kopi buatan istri.
Telah lama Bapak meninggalkan kami,
menjelang pagi yang begitu riuh dan nyeri.
Sekarang hari-hari di rumah begitu sepi
cangkul dan sepeda jengkinya sudah tak ada lagi
Aku kenangkan bentakan khasnya, juga serakan
tembakau rajangan di meja beranda.
Kemarin aku sengaja mengunjungi Temanggung,
rindu letak kuburmu setajam tanjakan Kledung.
di Selatan atau di Utara
jalan-jalan serupa pembulu darah di tubuh kita, yang menjulur
ke sana-kemari mengirim ribuan pejalan tanpa kepala tanpa kaki.
Pohon trembesi, kanan dan kiri, mana yang lebih sejati mencintai angin
mana yang lebih lapang mendekap ingin. Mana yang lebih titis mengenalmu
ketika datang ber-angin atau ber-ingin.
Di sini, aku mencari-cari. Apakah kau bersembunyi pada warna-warni
kembang setaman, kepulan asap dupa-kemenyan, kelap-kelip lampu kota,
gedung-gedung hotel, mall, diskotek, gang-gang pelacuran, alkohol,
debur ombak parangtritis atau di balik sunyi batu-batu merapi.
Adakah kau juga bertanya tentang orang-orang yang lalu lalang
namun tak juga mampu pergi. Orang-orang yang kebingungan
pada arah mata angin di tempatnya berdiri.
Yogyakarta
Berlajar Berdoa
-untuk
Perempuan Timur
Pada angin, hanya
pada angin aku mengadu kini
Sebab, yang bernama rindu tengah membabi buta
menyerangku. Serupa berkompi-kompi tentara
bersenjata lengkap yang tengah menghadapi satu
musuh terakhir, dan ia harus mati saat itu juga.
Betapa
tersiksanya aku dalam ketakberdayaan
mengenang segala tentangmu, peluk ciuman
dan anak keturunan yang lahir dari cinta kasih.
Ada yang luput kalkulasi saat rindu mendera,
menggila dalam ngungun lamunan.
Hanya dengan memintal doa, semua aku
pasrahkan.
Aku tulis sajak ini
dengan penuh
kecemburuan, atas jarak yang sungsang
Apakah aku perlu meronta, sementara jarak
juga membakarmu di tanah jauh
Tanah yang
basah, kunang-kunang
di kepalaku yang kian bertambah,
memperjelas warna dukaku.
Jarak membuat
usia merangkak mundur
dan logika makin liang terkubur.
Tapi pengertian selalu jadi penghibur
menjadikanku selalu kembali pada rumah
kita yang cahaya.
Rumah yang telah kita bangun dari beribu
harap dan doa.
Satu Dongeng
dari Moluku Kie Raha
Rainha Boki Nukila!
Boki punya hati Cuma cahaya.
Sejarah mata angin
lumpuh pala cengkeh
pasang mata meriam
benteng kota raja.
Rainha Boki Nukila!
Nyai Cili yang digladak
jadi nona Donna Isabella
Pala cengkeh wangi
membuat asing di tanah India
hingga tulang dan nama
Parade
Puisi-puisi
tak henti dituliskan
sajak-sajak terus dibacakan
namun gagal diterjemahkan
Hendrik Efriyadi, lahir pada 1 Februari 1994 di Banjarnegara. Dia lulus Magister dari Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan menjadi Editor di Penerbit Jejak Pustaka. Tulisannya telah tayang di berbagai media.