pernah mengharap apa pun dari kedua orang tuaku, bahkan setelah dia meninggal. Terlepas dari mereka saja,
sudah membuatku sedikit menghirup udara lebih dalam. Membiarkan mereka
berlompatan riang di dalam sana. Dan itu terjadi Lima tahun lalu, tepatnya saat
aku dikuasai kemarahan. Sebenarnya hanya perkara kecil saja, namun karena
terlalu sering, membuat ruang di dadaku
menyesak dan meledak.
perkataan ibumu, Nduk. Jangan melakukan hal sesuai keinginanmu saja.” Bapak
yang tengah duduk di kursi bambu dekat pintu masuk mengingatkanku. Sementara
ibu duduk terdiam di dipan
berseberangan dengan bapak. Aku ingat betul, ibu mengenakan kebaya brukat
berwarna kuning kunyit, dipadukan kain batik bercorak cokelat tua. Rambut
putihnya menggelung di belakang, untaian-untaian anak rambut membuat wajah
wanita tua itu tampak semakin berantakan. Ia hanya sesekali menyisir rambutnya
dengan tangan ke pangkal gelung, namun hanya bertahan beberapa saat saja.
masih sangat pagi, bahkan suara adzan di masjid belum berkumandang. Ayam-ayam
jantan sudah sibuk berkokok sejak tadi. Membuat gaduh seisi kampung. Sayangnya
penghuni kampung tidak terlalu terpancing dengan kegaduhan itu. Melipat badan
di bawah selimut jauh membuat mereka tertarik.
sudah membicarakan ini berpuluh-puluh kali, Pak,”aku berusaha mengingatkan,
takut kalau ingatan tua mereka lupa.
sudah berpuluh-puluh kali mengatakan tidak, Nduk.” Aih, mereka tidak lupa.
Mereka hanya teguh dengan pendiriannya.
melihat sepenuhnya melihat wajah ibu, ia sibuk tertunduk dengan anak-anak
rambut menyembunyikan wajahnya. Namun aku tahu, wanita tua itu tidak baik-baik
saja. Ia sedang menangis.
jalanku.” “Tapi tidak dengan menentang orang tuamu!”
menentang, Bapak. Aku hanya ingin membebaskan langkahku.”
menggelembung di atap-atap rumah kami yang terbuat dari bambu.
berhak mendapatkan penghidupan lebih baik.” Aku menurunkan ketinggian suaraku.
ibu tidak tahu sesungguhnya isi hati Welas.”
Pak. Tekatku sudah bulat. Semua akan baik-baik saja.”
melihatnya, aku tahu aku juga meninggalkan air mata di hati bapak.
***
angin apa yang membuat seorang berseragam oranye datang ke kontrakanku. Kala
itu waktu masih belum sore, bahkan matahari baru saja mencondong ke arah barat.
Bayang-bayang pepohonan masih belum terlalu jauh meninggalkan pangkal. Aku
sedang tidak di rumah, hanya istri dan anakku. Mereka tengah sibuk membungkus
makanan ringan di ruang sempit yang kami jadikan ruangan serba guna. Biasa
digunakan untuk menerima tamu, untuk beristirahat, untuk bersantai, bahkan
untuk melakukan semua hal. Tiba-tiba seorang laki-laki dengan seragam oranye
mengetuk pintu, istri dan anakku beralih dari pekerjaannya.
namaku disebut, istriku langsung bangkit. Ia meletakkan plastik berisi makanan
yang baru setengah. Sembari mengelapkan tangan dirok, ia membenarkan tebakan si
tukang pos.
“Ada paket.” “Paket?”
“Dari ibu Welas.”
Ah, benar
saja. Siapa yang tahu rumah ini selain Welas. Lima tahun mengasing, hanya Welas
yang tahu tentang persembunyianku. Selebihnya tidak ada yang berniat mengirimkan
paket untuk tukang jajanan keliling sepertiku.
Istriku
sempat memicingkan mata, ia tidak pernah tahu bila aku sempat mengenal
perempuan. Bernama Welas pula. Maka ketika akup ulang, dia menghadangku dengan wajah
masam. Kedua tangannya menyilang di dada.
Aku tidak
pernah melihat istriku seperti demikian, kalau pun aku pulang hanya membawa senyuman
hampa. Dia selalu membalasnya dengan senyuman hangat. Melengkapi kekurangan
yang tak bisa kupenuhi.
“Siapa Welas?”
Niat hati
ingin menggoda untuk kembali menemukan senyum istriku. Namun mendengar nama
wanita itu disebut, membuat aku diam. Udara sore ini tidak terlalu bagus, tidak
cerah, pun tidak turun hujan. Awan-awan gelap saling bekejaran di langit sana.
Ini sangat mendukung suasana hati istriku yang tidak baik.
“Pasti abang mau bertanya, dari mana aku tahu
nama perempuan itu?”
Aku diam. Sangat kaget.
Namun kagetku sangat berlawanan dengan kagetnya istriku.
“Aku bisa melihat
kecemasan di matamu, Bang.”
“Dan engkau tidak tahu
makna kecemasan itu,”Istriku
menarik napas dalam, menggeser tempatnya menuju ke kamar dengan membawa luka di
matanya. Ah, itu sangat berlebihan.
“Ada surat di atas meja dari Welas.”
Suara
pintu kamar tertutup, meninggalkan embusan angin perlahan. Tidak ada pilihan
lain, aku meraih surat itu dan bergegas membukanya. Tidak banyak kalimat yang
Welas tuliskan. Hanya mengatakan perihal kematian ibu, jujur ini membuatku
merasa ngilu. Aku tidak peduli dengan sikap istriku kini. Mataku memanas
membaca kalimat kematian.
Baris
berikutnya hanya berbasa-basi sedikit, lalu menyinggung perihal warisan. Aku
tidak terlalu tertarik, air mataku keburu membuat sesak dada ini.
Meski tak
sepenuhnya kubaca, aku sempat melihat bila warisan yang kuterima adalah rumah
beserta isinya. Sementara tanah dan harta lain jatuh ke tangan Welas.
***
Di surat
yang dikirimkan Welas, ia mengatakan agar aku segera melihat rumah tersebut.
Itu pesan ibu sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Namun aku bukan manusia
kuat, membutuhkan waktu berhari-hari untuk menata hati hingga akhirnya memutuskan pergi ke rumah
meninggalkan ibu. Istriku berkali-kali mengelus punggungku, memberikan semangat
atas kehancuran hati ini. Dan sekarang, aku sudah berdiri di sini. Menatap
rumah yang keseluruhan bangunannya terbuat dari kayu. Cat alami kayu masih melekat,
persis seperti dulu saat aku masih berlarian kesana-kemari di halaman rumah
ini.
Pohon rambutan
di sisi kanan halaman masih berdiri kokoh, di bawahnya menghampar daun-daun dan
ranting kering. Rumput liar menjulur ke atas, hendak meraih ranting di atas
sana. Kakiku melangkah perlahan, ditemani istri dan anakku menuju ke pintu
masuk. Welas sempat menyelipkan satu-satunya kunci rumah itu di surat yang dikirimnya.
Istriku
sempat ingin membukakan pintu untukku, namun aku menolaknya. Aku ingin membuka
sendiri rumah ini.
Tidak ada
yang tersisa, hanya bangunan rumah dan sebuah lemari kecil. Di atas lemari itu
terlipat rapi kain batik bermotif warna cokelat. Aku ingat betul, itu kain
batik ibu. Aku mendekatinya, mengangkat dan menciumnya. Aroma ibu masih melekat
di sana, seperti ada sedikit bau
anyir, getir, dan sedikit hambar. Namun lebih mendominasi aroma wewangian
sirih. Sesuai kebiasaanya. Aku semakin dalam menikmati aroma-aroma tersebut,
hingga seseorang muncul dari pintu samping rumah. Sangat aku kenal. Bapak.
“Nduk,
bawakan kain batik itu. Bapak lupa menambahkan sesuatu,” kalimat bapak
menyapaku. Aku berlari riang seperti usia masih dibawah lima tahun.
“Batiknya bagus, Pak.
Sangat bagus.” Ucapku girang.
“Ini nanti
akan kita hadiahkan kepada ibumu. Hari ini adalah ulang tahunnya. Pasti dia
sangat senang mendapat hadiah kain batik yang kita buat berdua.” Tangan bapak
tidak berubah, masih lincah sekali pun panas malam meleleh di ujung canthing
mengenai tangannya.
Ini
adalah batik yang pertama kali dibuat oleh bapak. Ia menjadi saksi betapa cintanya
bapak kepada ibu. Berkat batik itu, keluarga kami pun mempunyai penghasilan baru.
Sebagai pengrajin batik.
Siapa sangka
kain batik hadiah untuk ibu banyak yang menyukai. Itu karena ibu selalu
mengenakannya di berbagai kesempatan. Baik pengajian, arisan, atau sekadar
kumpul- kumpul dengan teman sebayanya. Banyak mata tertarik, hingga pesanan satu
persatu datang. Bahkan beberapa tahun berikutnya bapak menjadi pengrajin batik paling
tersohor, banyak orang dari luar desa meminta
dibuatkan batik oleh bapak. Motifnya semakin beragam, dan semakin mendatangkan
banyak orang.
Sayang
perkembangan zaman menghancurkan semuanya. Aku masih berusia belasan saat
modern mulai datang. Bukan karena batik bapak tidak diminati lagi, namun lebih
pada sikap serakah manusia. Diberi sedikit sangat kurang, diberi banyak pun masih
kurang. Bapak tergiur investasi saham. Si penawar saham menjanjikan untung
besar. Siapa yang tidak tertarik
dengan untung besar. Terlebih bapak berpikiran jauh ke depan. Aku dan adikku
membutuhkan biaya besar kedepannya. Ini adalah tabungan jangka panjang. Bodohnya
bapak, ia tidak menyisakan sedikit uangnya di tabungan. Semua diinvestasikan.
Dan kini semuanya berharap kepada keberhasilan investasi tersebut.
Sayangnya
Tuhan maha adil. Dia selalu menguatkan hambanya dengan cobaan. Itu yang datang
pada keluarga kami. Investasi yang diikuti
bapak rupanya tidak beres, ada banyak permainan. Puncaknya adalah saat sudah
mendapatkan banyak uang, si pemilik perusahaan justru menghilang bersama uang-uang
kami. Bapak tidak bisa berbuat apa-apa, tidak banyak daya untuk mempertahankan
uangnya kembali. Dan kami kembali jatuh miskin.
“Nduk, sudah
jadi batiknya.”Bapak menyerahkan batik itu kepadaku. Sepertinya tidak ada
perubahan berarti, hanya sebuah inisial “N” di pojok kain itu.
Aku menerimanya dengan riang.
“Berikan batik itu untuk ibu. Bilang ini
hadiah darimu.”
“Kenapa bukan bapak saja yang memberikannya, bapak yang membuatnya.”
“Tidak apa-apa. Bapak wariskan ke kamu, tapi kamu berikan ke ibumu.”
Aku
melompat riang menerima kain batik dari bapak, lalu berlari mencari ibu. Ibu
sedang duduk di beranda rumah, menyelesaikan pekerjaan rumahnya. “Ada apa,
Nduk?” ibu berhenti sejenak dari pekerjaannya untuk melihatku. “Ada hadiah
untuk ibu,”
Kuberikan kain batik itu. Ibu tertegun sesaat, ada binar di matanya.
“Ini untuk ibu.”
Ibu menerima kain batik itu, diiringi air yang melinang dari
matanya. Bukan kesedihan tapi haru.
“Ibu kok
menangis? Ibu tidak suka?”
“Tidak. Ibu sangat suka. Ini sangat indah.” Ibu menenggelamkanku
dalam pelukannya. “Terima kasih, Nduk.”
Ibu masih
memelukku, namun sangat berbeda. Ini sebuah kesedihan. “Jangan pergi, Nduk.
Hidup dan mati kita di rumah ini. Apa pun yang terjadi, asalkan selalu bersama,
pasti akan baik-baik saja. Pergi tidak bisa dijadikan alasan untuk lari dari
masalah.”
Aku
melepaskan pelukan ibu, menatap matanya yang basah, yang selalu
disembunyikannya di balik anak-anak rambut
putih menjuntai. Kali ini aku bersimpuh di kaki
ibu. Mencium aroma-aroma di kain
batik bermotif cokelat yang dikenakan perempuan itu. Tidak berubah, aromanya
masih sama. Yang membuatku bertahan di rumah ini sampai kapan pun.
Tentang Penulis
Rokhmat Gioramadhita, lahir di
Purbalingga. Bekerja sebagai pengajar di Pangadegan, Purbalingga dan tergabung
dalam komunitas FLP Banjarnegara. Beberapa tulisannya sudah diterbitkan baik
menjadi buku maupun pada media massa. Kini bermukim di Desa Pesunggingan
Kecamatan Pangadegan Purbalingga.