tentang pengetahuan
angin yang mengawinkan benang sari
pada putik, tak akan menjawab dirimu.
hanya rasa syukur dari mereka
yang pernah menanam cinta
melulu berdengung
seperti lebah atau dzikir malammu
yang paling bisu, mengembara
dari muhammad ke locke
dari qur’an ke tabula rasa.
akal kita tenggelam dalam
deretan ayat-ayat suci
satu kegilaan yang kauterima dalam diri
lantas kauamini.
tiba-tiba,
pada sehembus angin
yang menyibak rambutmu
kautemukan alam raya.
//2013
rijsttafel
enam puluh jongos
tanpa alas kaki, mengular
dan kepala-kepala petani
tersaji pada tiap baki.
enam ribu petani
tanpa kepala, mengubur
harapan di ladang-ladang celaka
milik para tuan dan noni belanda.
begitu dingin sejarah
begitu miskin kisah-kisah
orang lemah.
//2013
terasi
sembah sujud binatang-binatang laut
dan liurmu tertahan pada penantian.
ajal datang bersama hancur jasad
menghitam dan pekat. secuil kaugenggam
jadi sambal atau bumbu sayur asam.
secuil lagi untuk esok hari
buat santapan yang itu-itu lagi.
maka bikinkan aku terasi yang kaukumpulkan
dari sekerat ideologi. tambah dengan
besi-besi tua bekas senapan
atau mayat-mayat bayi.
makan siangku daging manusia, didorong
ke lambung dengan darah yang
netes dari luka. nyam!
terasi itu jadi daging dan darahku.
binatang-binatang laut, kini,
enggan singgah di meja makanmu.
//2013
das ding an sich
jika kupandangi rekah mawar, atau
kucium wangi melati, usaikah kukagumi
apa-apa yang indah
sementara nalarku bekerja
dengan pemakluman demi pemakluman
akan segala yang melintas
dan disimpan dalam pikiran
sebelum mawar dan melati itu layu
dan yang lain sama sekali
kembali bermekaran?
//2013
jembatan
waktu berhenti di atas bus,
kaca jendela lepas, bising tak lagi.
dalam dadaku yang nahan rindu
dan fajar pecah di atas suramadu
aku tak tahu
wajahmu kah yang kunanti
atau matahari pagi itu?
//2012
telepon genggam
telepon genggam itu merajam gelisahmu
untuk sebuah pesan, yang mungkin
tak pernah datang.
deringnya kepak kumbang,
getarnya denyut nadi, pelan-pelan ia
menghunjam ke pangkal
penantianmu.
deringnya lalu kauganti
dengan lagu yang mempertajam duri
di sepanjang perjalananmu.
ketika ia berdering,
kau terbangun dari kebebasan
dari kesadaran dalam ketaksadaranmu.
//2012
jejak
: p.s.w.
kemudian kaususuri jejak-jejak jauh
ke muasal, diri yang mana
yang tinggal dan tertanam
: tanah, barangkali penanda
di mana hatimu tertambat sementara.
silsilah-silsilah tua, luka
dari hulu yang muskil memuara.
matamu daun bambu, dihembus ragu
dibasuh kenangan yang sengaja.
satu-dua anak-anak hawa pergi tanpa pamit
ribuan mil ke ujung benua, mampir.
sebentar lalu melayari samudra.
tapi siapa tahu apa yang mereka tanam, apa
yang mereka tambatkan.
lalu agama, ritus, dan upacara.
iklim, musim, dan cuaca.
para pemikir, peperangan, juga negara.
jejak-jejak makin pupus, dihapus
slogan-slogan soal nasion
pidato-pidato dengan suara bariton.
jejak kita, jejak-jejak kuasa.
maka tanamkan apapun, tambatkan
ke tiada.
//2012
selesai
dan lagu-lagu tentangmu, dalam mimpi
yang disentuh tanganmu.
aku jaga.
langit cerah,
rambutan ranum di halaman
dan anak-anak mainan bola,
percakapan kita hamlet dan orfelia.
kau pergi, lalu sepi.
isakku mampat di pita suara.
//2011
peziarah kubus
: aunil fadlilah
barangkali
rindu telah menjelma piutang
yang musti lekas kaubayar
musti kaulunasi.
kaukunyah firman,
ayat-ayat perjalanan, ketika
takbir dari bibirmu gemetar,
mimpi-mimpimu tangis ismail
atau gelisah hajar
dan igau bergarau, memanggilmu
dengan dengih nafas yang selalu
: bergegaslah.
kau pamit pada suatu pagi
diantar orang-orang berharap berkah
dan sebagainya dan sebagainya.
yang kutahu: perjalanan membekas
bukan di awal mula.
nanti, bisikkan namaku
di antara ratus doa-doa berdengung
di arafah. lalu kenanglah mereka,
yang merayakan duka
setelah terusir dari surga.
kenang juga pembunuh
dan yang terbunuh
sebagai hulu sejarah
yang menjelma riwayat kuasa manusia.
titi shafa dan marwa
tanpa tergesa. biar mimpimu jangan lagi,
biar tak lagi basah bantalmu
pagi-pagi. lalu salamku sampaikan
buat muhammad, air mata
yang membasuh duka dunia.
sampaikan padanya: lacur,
orang-orang mengingatnya, seraya
menghancurkan warung makan
di terik puasa.
kemudian dalam kubus,
sembahyanglah menghadap mana saja
sebab tuhan tak bersemayam, dan diam
akan peristiwa ke peristiwa.
//2011
persinggahan di rumahmu
di teras rumahmu, kita
lepas berbincang soal
gembur tanah yang rekah dibawa musim
menyambut buldozer membajak
dan kerbau-kerbau menunggu nyawa
dicabut saat idul adha.
kaupastikan anak-anak tetangga
bermain gobak sodor
sebelum betara kala lewat
di penghujung maghrib, sebelum
iklan-iklan pasta gigi di televisi
meracuni mereka.
kaulah juga
yang mengetuk pintu kamarku
di bibir subuh, berkata
: “jangan,
jangan sampai anak-anak di surau
menantimu dengan beragam prasangka”
selepas gigil yang nyeruak
dari pintu jendela terbuka, membangunkanku
untuk membetulkan selimut yang tersingkap
dari dada dan ujung kakiku.
anak-anak itu mesti tahu
usia hanyalah bilangan
dewasa dan menua adalah perjalanan
yang tak pernah seketika.
gumamku mengkhianati nurani,
kamu menanam duka
pada gigil pagi hari.
sebelum matari meninggi
aku telah pamit dalam sepi.
//2011
pembabakan
: buat m.
dari belakang pentas, aku ingin melihatmu
menarikan sungai, mengantarkan seorang bayi
dilarung ibunya. demikian titah dewa, atau
sang ibu mau anaknya belajar merindukan
samudra?
aku ingin melihatmu
melukiskan duka lewat gerak dan laju,
namun akhir nantiku pada babak kesekian.
beberapa saat menunggu, beberapa saat
usiaku berkarat.
dan pada pelafalan naskahku, aku tahu
: peran telah memisahkan kita
dalam babak dan bagian, mungkin juga
dalam kehidupan.
tak ada percakapan denganmu, tak ada
tegur sapa atau sebagainya. kukira
begitulah baiknya.
tiap peran adalah kesementaraan
yang fana, seperti kenangan
kau melulu ingat dan melupa.
//2011
Tentang Penulis
AUFANNUHA IHSANI, lahir di Semarang, 29 September 1990. Dia mulai menulis
puisi sejak 2005, saat masih nyantri di Pondok Pesantren Krapyak
Yogyakarta, hingga 2013, saat tengah berjuang untuk lulus kuliah. Selepas itu dia
hampir tak pernah lagi menulis puisi. Beberapa puisinya dimuat di rubrik
“Kakilangit” Horison saat Aliyah, beberapa lagi dalam antologi puisi Agonia
(2012), dan sisanya yang kurang bagus berserakan di https://sokseri u s.livejo u rnal.com.
Sejak 1 Desember 2021 Aufannuha Ihsani menjadi Dosen tetap di UIN Prof. K.H.
Saifuddin Zuhri, Purwokerto, di Prodi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas
Ushuluddin Adab dan Humaniora (FUAH).