TAFSIR PELANGI
Gendang berdentam, berdentam-dentam
Di antara dentam aku melangkah di sela ilalang
Bunyi berhenti, aku terus berjalan mencari makna
Kenapa jejak ditinggalkan kaki
Dan pahlawan yang kari tulang
Bukan sekedar tulang belulang
Ada kunir, jahe dan lengkuas
Yang membumbui awan di atas
Ada mendung hitam
Akan mematangkan langkah hujan
Agar langit tak sedih
Dan bumi tidak menagih
Gendang masih berdentam
Melakukan tafsir baru pada pelangi
Pada bambu, kelepak elang dan padang senja yang sunyi,
Bahwa hidup tak cukup nyali
Atau gula yang jadi tengguli
Jantung berdetak mengetuk langit
Benih menderai bagai disemai
Ada tafsir lain tentang pelangi
Melayang dari rongga langit menjunam ke rongga kenangan
Itu maknanya, tarian silat yang membuat pisau tampak mekar
Tak akan melukai seseorang
TAFSIR PELANGI II
Tafsir pelangi berkabar, agar orang tahu akar
Agar aku tetap aku dan engkau tetap engkau
Dalam senyummu yang menggagalkan topan
Aku berdayung dan engkau bersampan
Meskipun bumi bisa dibagi
Dalam petak ladang dan pekarangan
Cobalah duduk, bayangkan langit, laut dan danau
Bayangkan kebebasan burung dan ikan-ikan
Air dan angkasa tak bisa dikapling
Tak bisa dibuat sejenis pematang yang bisa dilewati anjing
Dengan ketinggian bintang semalam
Semoga aku tahu kedalaman lautan
Kaharuman tanah perbatasan
Serta bisa minum dari kelepak capung
Yang setiap pagi mengibaskan angin dan embun
Agar aku lebih menikmati
Lambaian tanganmu yang mekar di seberang
LANSKAP
Mulut dan jariku memainkan suling
Tapi kalah pada rohku yang melengking
Ketika mataku melihat Merapi
Ditandingi bayang-bayang yang menjulangi langit yang
tinggi
Tapi di tengah kenyataan ini
Aku makin kecil makin bebal
Seharkat sebutir debu yang melekat telapak sandal
Itulah gunanya menakar pikir yang tak terukur
Baik oleh jengkal atau lagu tekukur
Kita nikmati kelebat suling berkawan tambur
Tambur yang renyai
Mengumandangkan senyum musim menuai
Di bawah awan yang berjingkrak
Menjadi kaligrafi sajak-sajak
Yang bercermin di danau Singkarak
Orang-orang mulai ragu pada Washington
Yang membiarkan ribuan letusan bom
Burung lagi, burung-burung lagi
Yang menjelaskan damai pada aku di pantai
Atau engkau di kaki dangau
Di sudut lembah
Tempat paruh bangau menyisir kutu-kutu kerbau
RENUNGAN TEPI NGARAI
Aku harus menjelma siamang atau ular
Untuk memasuki belukar yang tak kunjung selesai itu
Di balik daun demi daun
Sedikit kubaca, sebihnya adalah rimba
Yang selalu bicara dengan bahasa rahasia
Menjadi ular, kususuri lubuk-lubuk bumi
Kumasuki lubang demi lubang, kuterjemahkan
Ke dalam bahasa yang tidak pernah didengar bulan
Itulah kenapa langit harus berbintang
Dan jalan disebut jalan karena dilewati orang
Tapi aku ular, tak mau lewat jalan yang dilewati
orang
Aku menyerbu, mendesis dan memangsa
Katak atau puyuh tanpa serakah
Untuk menyambung hidup dan membuktikan
Bahwa aku hadir dan selalu pergi untuk mencari
Menjadi siamang, kupanjat ketinggian pohon
Kudengar bisik hujan pada daun
Kuteriakkan kesal karena kapak-kapak yang galak
Yang membabat pohonku, aku sedih
Tak tahu orang-orang yang membaca buku
Suka merusak suka memburu
Apa guna sekolah dan gelar yang mekar
Di samping nama, kalau lubang kiamat
Digali sendiri
Kembali menjadi orang, aku tak mampu
Menghitung hutang, sejarah yang darah-darah
Cerita dan airmata, perang dan
Senapan membuat kiblat bertanya
Sejauh kapan bumi bisa berdandan?
MANINJAU
Berkelok jalan turun Maninjau
Berbelit bagai nasibku, meskipun tiap kelok
Bagai lembar-lembar buku, yang menyimpan derap
darahku
Derap-derap akan berharga kalau kata menyimpan
sejarah
Atau menjadi sajadah
Aku seperti laut yang dangkal
Tak punya terumbu karang dan ikan-ikan
Tapi Maninjau bukan laut
meski tak dangkal
Dan membiakkan jutaan ikan
Purnama sering berwudu di sini bergantian dengan
kartika
Agar bisa membetulkan senyumnya kepada Ilahi
Aku telah meninjau, ini danau Maninjau
Untuk menyisir jejak dan nafas Buya Hamka
Yang disimpan bayang-bayang pohon kapuk yang tua
Di tepi jalan di tepi danau
Riak-riak danau yang bergerak
Berpendar-pendar memacu dahaga
Kata-kata pun berjingkrak
Aku makin pengembara, makin kelana
Yang makin haus untuk menyelam
Ke langit untuk minum madu keyakinan
Yang hampir tak dicari orang
Tapi kenapa kehausan ini hanya sesekali
Membuat lava menyalakan magma
Dalam diriku? Kupanggil biru tapi ungu yang datang
Kupanggil kapak yang datang landak
Kupanggil sampan yang datang langau
Yang mengacaukan subuh-subuhku
Karena bernama Maninjau kususur jalan ke Sungai
Batang
Kutemukan majalku menyia-nyiakan kata
Kamus tergeletak di sudut beranda Buya Hamka
Untung aku menemukan kata “beliau”
Pada senyumnya, tanpa bermaksud jadi feodal
Kamus itu kubawa pulang
Aku tidak menyesal menjadi diri
Menjadi santri, menjadi orang
Maninjau yang terlambat datang ke hati seorang munsyi
BERTAHUN
Bertahun-tahun kami bertahan
Pada setangkai ranting bernama takdir
Tak ada yang mengusir
Tapi terasa, dan seperti nyata
Ilalang suka mencibir
Sawah yang hamil kalau tidak disiram darah
Dan ladang yang tak gembur kalau tidak digores pedang
Menunggu puisi yang menyapu tanpa lidi
Agar bendera tak hanya pandai berkibar lantang
Tapi bisa bersujud, menyukuri segenap wujud
Lalu mana otak-otak cemerlang
Yang kembang meniru bintang
Kalau tak bisa mengusir gelap
Kalau hanya menambah legiun gagap
Inilah keajaiban, semakin pandai orang
Semakin pandai membakar hutan,
Membiak virus dan menggadaikan tanah warisan
Bertahun kami bertahan
Pada setangkai kembang bernama melati
Seakan-akan sekadar main kata dengan nurani
Padahal kami ingin mengharkati bumi
Dan merias dengan kecermatan matahari
SINGKARAK
Pohon kelapa dan daun ketela
Tetap mencatat isyarat angin berjingkrak
Menggerakkan air Singkarak:
Keramas di ujung siang, nanti menyusui jantung malam
Bertingkat bukit mengambang suara bangsi
Banyak orang berkunjung ke rumah perawan
Dan hidup memang mahal
Tapi sedikit yang mampu membayar
Dengan harga yang tunai, dengan harkat yang pijar
Di sini aku mencari
Sebut saja akar, tempat jiwa mempercayakan lapar
Lapar yang awal, haus yang asal
Tak pernah berhitung air laut dan air tawar
Semua adalah melati, adalah mawar
Inilah sejarah singkat Singkarak
Membuai tapi juga teriak, mendesak
Agar saya berlayar ke tengah
Ke pusar danau ziarah
Tempat aku bertanya kepada aku
Tempat bersumbu semua arah
Kembali ke tepi, aku seperti puisi
Yang diasuh pokok dan daun randu
D.
Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang,
Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal,
nasional, dan internasional. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura,
Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan
Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku
Airmata (1985), (5) Celurit Emas
(1986), (6) Derap-derap Tasbih
(1993), (7) Berlayar di Pamor Badik
(1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang
(1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku
Angin (1996), (10) Madura, Akulah
Darahmu (1999), (11) Kujilat Manis
Empedu (2003), (12) Cinta Ladang
Sajadah (2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan beberapa lainnya. Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam dari Dusun (2000). D. Zawawi
Imron pernah juara pertama menulis puisi di AN-teve
(1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia
(MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002).
Sastrawan-budayawan ini memenangkan
Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA
Write Award 2011 dari Kerajaan
Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron
mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa
kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Pada Minggu, 9 Desember
2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan
dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron,
atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan
kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.