MERUWAT ARWA*
Cerpen Bagus Likurnianto
Masih
terbilang amat pagi, tapi matahari sudah tidak sendirian lagi. Orang-orang
sejak semalam telah beramai-ramai memenuhi lapangan dengan tenda. Aih, padahal
udara di sini teramat dingin bagi mereka yang biasa tinggal di dataran rendah.
Demi apa mereka rela bertahan berlama-lama di sana.
Sisa
lentera dan sampah itu masih berserakan di sekitarnya, dari lubang jendela
kamarku yang hanya tertutup korden tipis ini terlihat sejumlah panitia
memungutinya. Beberapa orang peduli dan membantunya, sebagian lainnya acuh
karena dingin membuat mereka memilih berdiam di depan nyala api, atau di dalam
selimut di tenda-tenda bersama kekasihnya.
“Bangun,
Nduk.”
Suara Nenek yang memanggil sudah terdengar dari depan. Tapi aku memilih kembali
berpura-pura tertidur.
“Nduk.”
Nenek mendekat dan Ia duduk perlahan di samping tikar tempat tidurku. “Ini
Nenek bawakan apa yang kamu minta, sebagai persyaratan ruwat hari ini. Bapakmu yang
mengirim langsung dari kota. Bangun dan lekas mandi, kita akan bersiap ke rumah
Nyai Wongso.” Pungkasnya sembari menyiapkan kebaya putih dan rok batik kawung
untukku.
Aku
tidak mengatakan apapun sebagai jawaban. Tetapi, aku menurutinya, bangun dari
tempat tidur dan mandi pagi-pagi sekali. Sudah ada air panas yang tinggal
kutuang dari panci yang masih setia di atas pawon, menunggu aku mengangkatnya
dan menuangnya ke ember.
“Nek,
aku ingin mandi sedikit lebih lama.” Aku beralasan kepada Nenek yang berada di
bilik sebelah, kamarku yang tadi kuceritakan.
Aku
memang merasa ingin mandi sedikit lebih lama, sebab rambut panjang yang paling
kusayangi ini bakal diruwat setelah ritual siang nanti. Aku ingin membasuhnya
lebih lama.
Bohong!
Sebenarnya aku ingin melarikan diri. Aku bahkan sama sekali belum melepas
pakaian. Bilik kamar mandi kututup agar Nenek mengira aku masih mandi, lalu aku
diam-diam pergi lewat pintu belakang menuju ke ladang. Pasalnya, aku tahu bahwa
Nenek berbohong. Hadiah permintaanku itu tentu bukan dari Bapak. Melainkan dari
pak RT. Aku melihatnya kemarin sore Ia keluar dari rumah pak RT dan membawa apa
yang kuminta itu.
Mengenai
Bapak, aku bahkan sama sekali belum pernah bertemu dengannya dan tidak pernah
tahu Ia tinggal di kota mana. Nenek hanya mengatakan bahwa Bapak tinggal di
kota. Demikian pula dengan Ibu, kata Nenek, Ibu meninggal ketika aku baru saja
dilahirkan. Konon, Ibu yang meninggal sesaat setelah melahirkan, Ia akan masuk
surga. Demikianlah, aku menjadi sedikit tenang karena kupikir Ibu sudah damai
di sisi-Nya. Nenek menyimpan banyak sekali foto Ibu, Ia memang mirip sekali
denganku, eh aku yang mirip dengannya. Tapi, mengenai Bapak, aku sama sekali
tidak pernah melihat wajahnya, termasuk sekadar di foto.
“Em,
kira-kira wajah Bapak seperti apa ya?” Aku menerka-nerka sambil bertanya kepada
diri sendri. Barangkali apa yang tidak mirip antara aku dengan Ibu adalah
jawabannya.
“Mata.” Sergah Nenek yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Aku
terkejut bukan kepalang. “Matamu adalah mata Bapakmu. Lelaki kota yang tertarik
dengan gadis desa, Ibumu.” Tukasnya.
Nenek
tidak bertanya mengapa aku melarikan diri, Ia pun tidak marah padaku, sebab
hari ini aku sedang menjadi putri Atas Angin yang bakal diruwat, seperti
ratu, hari ini akulah pemeran utama bagi para wisatawan yang hadir, dan tentu
saja bagi kamu yang membaca cerita ini. Lantas, kami segera pulang, mandi, dan
berpakaian layaknya putri Raja Kaladete. Rambut gimbalku bersanggul ronce
melati seperti para dayang Nyai Roro Kidul. Tidak, tidak. Rambut gimbal tak
bisa dibuat seperti itu, aku hanya berharap saja suatu ketika aku bisa
mengenakannya, barangkali kelak saat menjadi pengantin.
***
“Eh,
cantik sekali, Nduk.” Nyai Wongso menyambut kami. “Kau mirip sekali
dengan Ibumu saat Ia seusiamu.” Selain Nenek dan aku sendiri, Ia orang pertama
yang mengatakan hal ini. “Masuklah, Nyai akan sedikit bercerita tentang
mendiang Ibumu,” tukasnya.
Aku
pun masuk dan segera duduk berdekatan dengan Nyai Wongso. Aku memandangi
bibirnya yang terus mengunyah kinang. Ia berpaling memandangku dan sedikit
tersenyum. Giginya benar-benar merah kehitaman.
“Ibumu
gadis cantik jelita,” Ia memulai ceritanya sambil mulai menata rambutku agar
nanti mempermudah prosesi ritualnya. O iya, di tempat kami, pemotongan rambut
gimbal memang harus dilakukan dengan ritual, tak boleh sembarangan jika tak mau
tertimpa petaka. Konon, rambut gimbal yang terpotong tanpa ritual yang sempurna
akan membawa petaka, seperti yang pernah dikatakan Ki Wongso, rambut itu
mendatangkan keburukan bagi rumah tangga seseorang. Atau bahkan menyebabkan
kematian.
“Eh,
malah melamun, Nduk, kamu mau dengar cerita Nyai, tidak?” Tanyanya
dengan nada lembut, dan dengan sedikit terkejut kujawab dengan anggukan manut.
Ia pun bercerita.
***
Empat
puluh empat tahun lalu kira-kira, saat Ibumu berusia dua puluh tahun, Ia datang
ke
mari, sama persis seperti dirimu untuk melaksanakan
ritual ruwatan tahunan. Tibalah waktu bagi prosesi pertama, Ia naik tandu dan
diarak ke sungai untuk dijamasi di Sendang Sedayu dan dibersihkan segala mala
petaka di kepalanya, lalu kembali ke padepokan. Maka, di hadapan tetua rambut
gimbalnya diruwat.
“Nyai,
apakah kutukan itu telah terbebas dariku?” Tanya Ibumu, namun aku belum punya
jawaban. Sebab ritualnya belum usai.
Di
sana pula Ia berjumpa dengan Bapakmu, seorang wisatawan dari kota yang pandangannya
telah jatuh di pangkuan Ibumu. Di hari itu pula, Bapakmu melamar Ibumu.
“Celakalah
engkau, wahai Sasmita!” Aku menyergah Ibumu, tapi Ia tak peduli. “Ritual ini
belum usai, kau dan keturunanmu akan dikutuk kanjeng Atas Angin!”
“Hai!
Kenapa engkau mengutuk putriku?” Seru Nenekmu kepadaku dengan nada
semarah-marahnya.
“Sebab
putrimu telah melanggar ritual, hingga Ia meninggalkan prosesi dan menyepelekan
pantangan demi lelaki itu.”
“Ia
sudah menentukan takdirnya!” Pungkas Nenekmu sembari melangkah pergi.
***
Demikianlah,
Nyai Wongso menceritakan bahwa tak seberapa lama, Ibu menikah dengan Bapak.
Setahun kemudian, aku dilahirkan. Seperti yang dikatakan Nenek, Ibu meninggal
saat melahirkanku, sementara Bapak sudah pergi ke kota sejak empat bulan sebelum
aku dilahirkan.
Kini,
giliranku melaksanakan ritual, sama seperti Ibuku, menaiki tandu diarak dari
sungai Wanggu hingga Sendang Sedayu, suara gamelan mengiringiku, doa-doa tetua
ditiup alastu di keningku. Lalu diruwat rambutku dan di situlah aku bertemu
kekasihku. Ia pria dari kota yang menjatuhkan hatinya kepadaku. Ia melamarku di
hari itu, Nyai Wongso memarahiku karena aku meninggalkan ritual yang belum usai
itu, tetapi Nenek merestui keputusanku.
Tak
seberapa lama dari hari itu aku menikah dengannya, di hari pernikahanku satu
harapanku terkabul, yakni memakai sanggul ronce melati seperti para dayang Nyai
Roro Kidul.
Dan
kini aku tengah mengandung anak pertamaku. Suamiku sudah empat bulan ini
kembali ke kota karena Ia bekerja di sana. Aku tak bisa menghubunginya, Ia pun
sepertinya tak berusaha menghubungiku padahal tinggal hitungan hari aku akan
melahirkan anakku ini.
Aku
ingin pembaca tahu bahwa aku menulis cerita ini sebagai catatan untuk anakku:
“Wahai
Anakku, ketahuilah bahwa aku, Ibumu, sangat mencintaimu. Engkau mungkin akan
sangat mirip denganku, kecuali matamu, kau memiliki mata Bapakmu. Kau bisa
melihat wajah Ibu melalui foto-foto yang disimpan di galeri padepokan Ki Wongso
itu. Maafkan Ibu, kau tidak bisa melihat foto Bapakmu, sebab Ia membawa semua
bersamanya. Kalau kau rindu Ibu, datanglah ke sungai Wanggu, di bening airnya
lihatlah ke dalamnya, Ibu ada di sana. Sebenarnya masih banyak yang ingin Ibu
sampaikan kepadamu, tetapi cukuplah engkau tahu bahwa Ibu sangatlah
menyayangimu.”
***
Dan
suamiku yang tinggal di kota, barangkali Ia telah membaca cerita ini berulang
kali.
*Cerpen ini pernah dimuat pada
Suara Merdeka hari Minggu, 12 Desember 2021.
Tentang Penulis
Bagus Likurnianto, lahir di
Banjarnegara, 9 Januari 1999. Tinggal di Jl. Tamansari, Gg. Pasar Kota Banjarnegara No. 22 Parakancanggah. Alumnus UIN Prof. KH. Saifuddin Zuhri
Purwokerto (2021) ini sehari-hari mengajar di SD Muhammadiyah 1 & 4 Kota
Banjarnegara. Sedikit karyanya pernah disiarkan di Media
Indonesia, Koran Tempo, basabasi.co, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Kedaulata n Rakyat, dan lainnya.