MERJAN – MERJAN KEMULIAAN
dingin menyiksaku dalam balutan
warna emas tanaman hias dan bunga merah
sepanjang negeriku yang dibangun dari darah
secangkir kopi tak kuasa melenyapkan marah
yang terpendam lama di tanah bawah belukar,
yang dirampas semasa zaman penguasa tiran
batas timurnya sungai purba, dindingnya kars
batas selatannya pohon pisang nenek moyang
yang berujung di sungai rasa dendam
hidup seperti lebatnya hutan larangan,
hewan-hewan ganasnya memangsa si lemah
Tanah sisa ratusan meter digarap petani papa
bantaran lembahnya menganga luka sengketa:
Di keduanya beda Tuhan, jumpalitan di kesepian
negeriku masih dilanda hujan kata mabuk realita
Kenyataan pahit sebatas undang iba di lelaguan;
Kesatunya mengundang kasih sayang Tuhan,
Keduanya mengandung kutukan abadi moyang.
“Stoplah jualan dogma! Yakinlah kamu bisa bahagia,
cakrawala kembali sehat bebas asap”
rasa hangat lalu menuntut bayaranku di rumah,
membolak balikan cerita, menjegal kebekuan udara
malam jelita kerna awan nan putih, perawan dandan
dari senja yang merendahkan hatinya, dilamar doa:
“Kamu jangan risau dengan orang patah arang,
ingat asal mula kelahiran, jalan berkaki empat
berjumpa jodoh, jalan berkaki tiga, dan kematian.
Sungguh bijak bukan?”
Terima kasih pada peringatan bunga jati unggulan lepas
dibawa angin, jatuh ke tanah menjadi bibit, ketika
melangkah semua datar datar saja,
suka maupun duka sama saja,
itulah penunggang buraq
perjalanan menyenangkan, serba syukuran
hadir untuk hiasan zaman:
terima batu pirus cincin perak
cahaya betah di jiwa
Hidup adalah merjan-merjan kemuliaan
/Padalarang, 25 Maret 2021 –
27 Maret 2022
MULA HIDUP SERUMPUN BAMBU
serumpun bambu telah tumbuh
di tiap jantung, membagi ragam kidung
Rimbunnya bikin teduh pelancong jauh
Di akarnya air tertampung :
Kerendahan tanah yang dituju
serumpun bambu daunnya tak terhitung
bernyanyi saat rindu mengurung
pulang kampung, tunggu kabar burung
memang kematian serupa not-not lagu
daun gugur di atas tunggul :
Kerendahan tanda pelajaran leluhur
serumpun bambu nyawanya kampung
lima tahun umurnya, bukan untuk dibunuh!
batang-batang tuanya mula – ujung hidup
Berikan cinta pada bambu buat kuburmu
setitik embun
bergegas tengah daun
debu terhapus
Kabuyutan Rajamandala, 27 September2020
MATI ITU PILIHAN 1
jam tangan ini telah mati
lalu siapa yang menghidupkannya nanti
listrik suka mendadak padam sehari
tanpa pemberitahuan dari pembangkit
kita mati antara dua pilihan sendiri
mati seperti listrik yang berakhir sepi
hidup sekali di bumi tanpa tangisan istri
atau mati tunaikan janji,
nyawa lepas, jasad di taburi melati
melesat cepat bawah hujan pujian langit
sebagian menghapus janji di rahim
tergantung nyala batin, sunyi jadi api
perjalanan yang hangat, mata berseri
buku-buku disimpan waktu, tulisan abadi
: rentangkan tanganMu, kekasih
rindu debu di
ujung daun lembut dikawini air.
memuja diri
cermin bawah mentari
kilaunya pergi
/Bukit Padalarang, Maret2021
MATI ITU PILIHAN 2
jam berdentang meluluskan kepalsuan,
menahan banyak langkah kebenaran
agar si kelak tenaganya besar
membabat kejahatan penghuni dunia
semua kitab suci di genggamannya,
kitab negara Kertagama – Sutasoma
kitab aturan hidup Siksa Kanda Ng Karesian
dan syair perahu Hamzah Fanzuri diikatkan
dipinggangnya
jikalau aku mati duluan tanpa terkenal,
ingin cepat berjumpa, minat meloncat, tahanlah nafasmu
dalam ketukan hujan,
tapi jangan! Lebih bermakna ajal
ditangisan anak-anak terlantar.
jam ruang tamu sudah bisu
siapa yang memelukmu bila ‘ku pergi
ke bukit Wali menemui guru
takdir bicara pasti meski ditawar di rahim
jam tengah rumah gemetaran
antara udara beku, terus mengulang,
hidup mati adalah kincir angin berputar
: kebosanan malam yang menyenangkan
sialan kau membongkong ruang kosong!
aku melolong melepaskan doa tawasul
berharap hadir seorang Imam penolong
tiada suara, hanya
kepak cinta si bul bul,
gerimis tahunan sering menembus rambut tebalku,
petikan rindu tenangnya saat menunggu embun
: siapa pun bisa kelu hidup di kampung kumuh,
debu di kaki si pemburu burung telah tertiup jauh,
di ruang dan di waktu tanpa kita tahu,
kelak dituntut hukum pengadilan burung
jam dinding kamar lambat berputar, kadang diam, lalu
siapa menceritakan keberuntungan di tikungan jalan,
hujan angin menghadangnya tanpa belas
kerna kematian itu tidur panjang:
maut bukanlah musuh, ia penghibur
si empunya buku-buku sastra baru,
kawan setia penyanyi serba bisa,
seriosa, kidung leluhur sampai dangdut.
jam duduk, ah sama membeku
tanda kecantikanmu akan pupus,
ketampananku segera hancur,
kebanggaan pada karya tulisan itu,
angan-angan yang disukai tanah kubur
: mati memang pilihan, juga sebuah kidung
mau sekedar dipuji orang saja,
atau dirindukan Tuhan dalam senyap
musik daunan menghibur di perjalanan,
di titian cahaya senyum memanen canda,
oh menggembirakan mati direncanakan
melewati usaha membela si teraniaya,
memutihkan adat budaya kecerlangan,
itu pilihan orang bijak penakluk keakuan
: jam, listrik, elektronik matilah kalian sesesepimu jauh
dari nyanyian kudus!
: aku ingin mati melalui angka-angka
dan kata-kata lembut yang diucapkan para maula,
kekasih di desa 14 bintang,
Mereka menunggu kita;
“Senyumlah sayang dengan penderitaan demi
kesenangan!” bisiknya sela dahan,
buang kesombongan! cantikmu tipuan!
Yup! aku siap mati usai memberi bibit
ke petani miskin di pinggir hutan peri.
: selendang tua
cakaran kucing
lapar
jahit di bintang
/Bukit Padalarang, 5 Maret
2021
POLITIK API GAMBUT
seperti danau yang tak pernah kering
mulut bumi manis, penuh rayuan janji
bukan siapa siapa, tak lain sepi sufi
ribuan haiku ukir hening abad ini
menghapus polusi ulu-ilir hati
simpan lariknya di paru-paru
warga urban mudah kisruh
orang pabrikan di kampung kumuh
orang busuk orde baru memanggul suluh
membawa api dan tungku
mengobarkan api permusuhan.
Seperti api di gambut merunduk
Bergerak ngendap bawah rumput
Hancur leburnya mesti datangkan ombak laut
kuburnya di tutup lahar panas-kabut gunung Semeru
seperti danau
sorot mata tak berisau
dibatas pulau
rindunya berubah pisau
kata busuk membungbung
//kars Citatah, 28Mei2020
PENARI BALI ITU HILANG
mantan pacarku penari Bali
gerak senyumnya itu gunung kebun kopi
dimanakah dikau kini,
masihkah terasa rindu di ujung jari
di pantai Sidomareukah, di subak tepi
atau berumah di laut dasar jiwa
lagu ombaknya menghibur pantai
senyap berubah bermata hyang raksasa
sekian langkah sudah mainan sejarah
jangan kau tolak satu pinangan
aku pengelana yang hilang di bukit barat
jangan percaya pada buih ombakmu
akhir pelukan itu terekam di cakrawala
apalagi rencana jumpa tertunda di pura
sekian langkah sudah menjadi cerita
daun kemboja pun menua di ujung siang
bunga kuningnya dihempas angin malam
tak ada yang kubawa, kereta malam sudah lewat
surat bersajak tertinggal di setasion tua
Kita sempat berlayar sampai nusa dua
goresan batu karang ditutup air bunga
seribu kemustahilan kita enyahkan
di kabut tebal
pecah kepakan camar
bahtera datang
diam terlukis senyum
lumut kars melembut
/Kereta Api Yogya – Jakarta,
1981 – 1993
SEBELUM BERANGKAT DAN SEMPAT BERCINTA
Jika malam sempurna
tanpa dekapan – tepukan pelan
sepi pergi menyusuri sudut meja
sapaan terlipat rapih di senyuman
Doa penghiburan menembus sungai
mata berwarna keemasan dan perak
Jika asyik membaca,
sering lupa warna kemejanya
maya merayu, penuh nafsu memeluk
memberikan isapan jempol biru, bisu
keinginan tidur lelap di awan kelabu,
Jika kamu belum menemukan kata,
warna bisa ditiupkan sebagai bahasa
kemerdekaan ialah ular air dari kolam tua,
Di Papua suka melilit pahatan kayu Asmat,
suara koloni rayap menyalakan api unggun
dendam perang Badar terus memburu
memilih berputar di rumah Marwan – Hindun,
tinggalkan gurun, menghasut orang kota dan dusun.
Jika langkah berhenti
melintasi kebun petani miskin
tanah merah berubah warna coklat
Hidup bercahaya usai tamat puasa
Diri ini tak lebih dari ranting di hutan
menulisi waktu dengan tinta listrik
melatih vokal di bukit granit
Saat kembali, kanvas penuh garis,
pelukan lepas, rindu disetubuhi angin
air mata mencari-cari lobang di bumi
Jika sempat menyelamatkan puisi
/Pasir Gede Padalarang,
19Juni2019
SEBELUM BERANGKAT ZIARAH
Jika malam sempurnakan dinginnya
lewat tepukan pundak dan dekapan
bergegas masuk ke jalan moyang
sapaan ramah, ciuman berulang
Doa penghiburan diterbangkan;
itu ziarah kendaraan cahaya
pintu emas, kursinya perak
kususur cerita isra mi’raj
: hangat sudah jiwa ! hangat! Tak perlu purnama
Jika menunggu lama lalu asyik membaca,
warna busana batikmu seperti arus air sungai
ratapan dunia maya merajuk, memanaskan kamar
pemberian acungan jempol biru kuberi emote merah
Anjingnya lelap pun, terjaga, matanya merindukan
kekasihnya yang menemani perjalanan Yudistira
masuk ke surga dalam hutan, di gunung awan,
o puncak tak bernama, nirwarna – nirkata
Jika kamu lupa asal daratan dan lautan,
tak apa-apa. Sedikitnya tahu darimana kemerdekaan
Kemerdekaan, rehat di pahatan kayu Asmat
di malam koloni rayap menyalakan api unggun
Dendam perang Badar terus memburu
Jadi, kamu berpusar di rumah Hindun
Jika kaki berhenti
Jalan ke rumah melintasi kebun petani miskin
Sejenak tanah merah berubah coklat
Hidup bercahya bundar usai tamat puasa
Jadikan swara saja di udara
Jadi, menulis setiap waktu dengan tinta listrik
melatih vokal pagi di bukit atas pancuran air
Sebelum kembali, kanvas sudah penuh garis
dan pelukan lepas, putih mata mencair di bumi
Jika sempat menyelamatkan puisi
:Pasir Gede Padalarang,
19Juni2019
BURUNG TEMBUS KABUT
I/
kepakan burung
menembus tebal kabut
bulunya kuyup
mata memandang jauh
tembang sore pun sayup
Il/
tak ada kampung
baris pohonan kabur
kepakan lembut
Ill/
kabut menutup
puncak gunung terputus
rombongan burung
pandang mata oh lamur
panah rindu beracun
IV/
mengoyak kabut
kepak burung menjauh
sayup terputus
/kaki Gunung Burangrang,
26Des.2021
Tentang Penulis
JANG SUKMANBRATA, lahir di Bandung, 17 Agustus 1964. Selain puisi, juga
menulis esai, artikel serta mencintai dunia pendidikan anak-anak sebagai
Pendidik literasi (Pendamping proses pendidikan alternatif melalui sarana senirupa,
teater, menulis), dan sebagai pendongeng
keliling untuk anak-anak basis pedesaan serta pembaca puisi keliling di
kampung-kampung di kota Bandung.
Selama 17 tahun aktif bekerja di NGO yang didirikannya dan di Asian NGO
Coalition (ANGOC); hildhope-Asia Foundation; kerjasama dengan Balay
Tuluyan dengan berdomisili di Paco Manila dan Davao City Philippina selama 4
tahun. Kembali ke Indonesia tahun 2000. Sewaktu bekerja di NGO – karya puisinya
banyak tersebar/dimuat di Newsletter – Majalah-majalah NGO Indonesia dan Asia
dengan tema-tema HAM (Human Right), Lingkungan Hidup dan kondisi
kemiskinan sosial. Kini kembali “bersyair” dan hidup bertani di kaki
pegunungan Mandalawangi Cijapati Cicalengka Kabupaten Bandung; dan bertani
bunga – tanaman hias di Desa Jambudipa – Cisarua Kabupaten Bandung Barat.
Mulai tahun 2017 banyak menulis puisi beragam genre; lirik, epik
-balada, geguritan sampai tanka dan haiku: Karya puisinya di buku Antologi Negeri
Pesisiran dan Negeri Rantau; DNP 2019 – 2020, dan 30 haiku-nya dan
puisinya di koran PosBali, Koran Pikiran Rakyat Bandung, Koran Bandung
Pos. Puisi genre tanka dan haiku-nya di buku-buku Antologi Newhaiku
– KKK, Majalah digital Elipsis 2021, di Buku Antologi 100 puisi
HPI-2021; dan puisinya tersebar di medsos Facebook – di berbagai komunitas
penulis puisi FB dan di medcet. Kini tinggal di Desa Padalarang Kabupaten Bandung
Barat – Jawa Barat, Indonesia.
Email: sukmansatyariga@gmail.com
HpWA: 0896 6839 1713
Facebook: Satyariga Sukman