Engkau
Sendirilah Kesabaran Itu
I/
di pembaringan
kaurajut jerami cinta.
aku pun terjaga.
ketika bayangmu meruang.
kita berbagi kata.
fondasi rumah masa depan.
kita urai
kristal-kristal kenangan. adalah makna bagi sisa usia. pohon kesabaran yang
dulu kautanam.
kini berbunga
sudah.
adalah harum
kasturi yang meruah. kini berbuah sudah. adalah kesetiaan yang taksudah.
dan di ujung malam
yang merona merah.
bayangmu
menghilang. tapi tetap ada
di berbagai arah.
II/
seperti biasanya.
takada balon dan lampu
warna-warni. yang
ada cuma kata-kata. lalu puisi sunyi. pendar-pendar cahaya meruang dalam
rongga. lalu alir doa bersama air mata.
engkau tahu.
ketika aku bersama anak cucu.
larut dalam sekutu
puji dan puja. mengenang
senyum dan tawamu
di serambi surga.
benih yang
kautanam dulu. kini telah tumbuh kembang. batangnya mulai menjulang.
reranting berdaun
rindang. di bawahnya aku berteduh. bersama anak cucu. sebatang pohon kesabaran.
berbunga cinta. berbuahkan setia.
engkau pun tahu.
pada saatnya kita bakal ketemu. berbagi kenangan. di rumah yang dijanjikan.
III/
cuma bayangmu yang
meruang. tapi pohon kesabaran yang dulu kautanam. kini mulai
berbunga dan
berbuah. karena engkau sendirilah kesabaran itu. aku melihat dengan jelas.
dalam bahasa anak dan cucu.
aku pun setia di
tepian batas. seperti engkau
pun setia di rumah
yang dijanjikan. menungguku dengan senyum. juga salam. karena, seperti
katamu, rumah itu
rumahku juga. pada saatnya.
IV/
ingin
kuterjemahkan kembali sorot mripatmu.
yang melati. pagi
itu. menjadi baris-baris puisi abadi.
biar wanginya
hinggap di dedaunan pohon rindang.
yang tumbuh tegak
di pekarangan kalbu.
sebatang pohon
kesabaran. yang 40 tahun lalu
kausemaikan
benihnya. kausirami dengan air kasih
sayang. kaurawat
dengan pupuk kesetiaan.
Aku
Pun Tiada dalam Ada
“aku tahu,”
bisikmu di tengah raung malam.
“engkau tetap
tegar dan sekukuh merapi.”
antara jaga dan
tidur, aku raih tubuhmu.
ingin kembali
kuterjemahkan kehendakku
ke dalam kehendakmu.
kuterjemahkan tubuhku
ke dalam tubuhmu.
kuterjemahkan sukmaku
ke dalam sukmamu.
tapi engkau ada dalam tiada.
aku pun tiada
dalam ada.
antara ada dan
tiada. jarak takpernah
memisahkan
kita.
Sebuah
Jalan
nomor induk
kematian. itu NIK,
jelas dalam canda.
engkau pun tertawa.
“bacalah dengan
cermat,” pintaku.
“oh, iya. di sana
tertulis dengan jelas,” katamu dengan seulas senyum.
“tertulis atau
ditulis,” sergahku.
engkau pun diam.
mengiyakan.
jari-jari tangan
kita tidak saling
menceraikan.
kamu pun
mengaminkan.
kematian cuma
sebuah jalan.
menuju rumah
keabadian.
kematian cuma
sebiji kata yang
dimitoskan. kata
yang membuat kita
merasa pernah
terjaga.
yang membuat kita
merasa
pernah hidup
dengan jantung
kita yang berdegup.
Menyelinap
ke Balik Kelam
di ceruk
sindoro-sumbing.
matahari jatuh di
gunung miring.
bayang-bayangmu
meruang,
lalu semerbak
kembang.
si gagar mayang.
“jangan bilang aku
takada
di antara anak
cucu,”
bisikmu perlahan.
di telinga kanan.
“aku selalu hadir
melengkapkan
hari-hari kalian.”
lalu sunyi.
bersama matahari
mengawal malam.
engkau pun
menyelinap ke balik kelam.
meniti pelangi.
menuju rembulan.
di antara gurau
dan tawa anak cucu.
gunung miring
kelabu. lalu pathetan.
“sisanya cuma
sendu, istriku.”
Di
Utara, Pada Tangkai Daun
di utara.
engkaulah angin gunung
yang menyapu
mendung.
menipu harapan
bagi jiwa murung.
adalah isyarat
bagi daun
agar tetap
bertahan pada tangkai.
adalah lambai bagi
gapai
yang taksampai-sampai.
engkau pun paham.
aku cuma setangkai
daun
yang mencoba
bertahan.
sekeping jiwa murung
di ngarai tersaput
kabut.
menunggu panggilan
demi panggilan.
menanti kereta
dengan empat kuda
sebagai jemputan.
Di
Timur, Pada Tinta Embun
di timur.
engkaulah fajar hari
yang meredakan
gelisah mimpi.
puisi pun kutulis
dengan tinta embun fitri.
selembar asa
kaurajut dari benang-benang usia.
aku pun tahu.
untuk siapa kaugelar
permadani cinta
beraroma cempaka.
di bawah cahaya
itu. kecuali untuk anak-anak
dan
cucu-cucu.
aku pun sedia
mengawalnya.
hingga tiba janji
sang waktu.
Di
Selatan, Pada Angin Laut
di selatan.
engkaulah landai pasir putih pantai.
gelombang pasang
pun reda. dan sapa
mawarmu pun
sampai. penuh cinta bagi
jiwa bahagia.
ketika diri beringas angin laut.
engkau pun
selendang bagi jiwa haus pagut.
dekap hangatmu
merayapi rongga-rongga dada. karena bagi laut dan gelombang, tepian pun
senantiasa sedia.
ah, jiwa yang
rindu jiwa.
adakah tapal batas
antara air dan tepian.
adakah batu-batu
jarak yang tertata.
demi memisahkan
dua jagat berbeda.
dua
jagat cinta kita.
yang sejatinya
tetap tunggal makna.
Kita
Tulis Puisi
“malam sudah
larut,” bisikmu dari kelam.
dalam aroma mawar
segenggam.
“sebait lagi, istriku,”
tawarku dalam gumam.
segumpal puisi
dirampungkan.
sebelum ninabobo
engkau lantunkan.
lalu derit
kata-kata saling bersentuhan.
kalimat demi
kalimat menuliskan hikayat.
narasi hayat yang
tak berkesudahan.
cinta yang tak
terceraikan.
“lusa akan aku
baca,” lanjutmu
dalam katup mata
yang cempaka.
“aku mengantuk.
mau tidur duluan.
silakan kamu
lanjutkan. kutunggu kamu
di pinggir waktu.
takusah tergesa.
walau tidur aku
tetap terjaga.
Ketika
ketika aku pun
pohon kelam.
engkau pun
daun-daun cahaya.
ketika aku pun
kembara.
mencari batas
antara ada dan tiada.
engkau pun
mega-mega katulistiwa.
hingga gelisah pun
reda.
ketika adaku dan
tiadamu menyatu.
sisanya cuma
onggok rindu.
kata-kata pun
bisu. lalu kembali.
engkau pun dedaun
cahaya.
lalu kembali.
langkahku satu-satu.
menujumu. cuma
menujumu.
Tentang Penulis
SUMINTO A. SAYUTI lahir
di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, 26 Oktober 1956. Pada
dekade 1970-an saat tergabung dengan komunitas Persada Studi
Klub Yogyakarta, namanya tidak pernah absen dalam forum-forum diskusi
sastra maupun pementasan-pementasan puisi dan teater. Di kalangan seniman
Yogyakarta, Suminto dikenal sebagai pemuda “bengal” yang tidak pernah puas
dengan ilmu yang didapat. Proses kreatifnya dimulai dari kegemarannya membaca
dan menulis sejak kecil. Semakin tersihir oleh dunia sastra sejak masuk
Yogyakarta sekitar 1974. Sejak bergabung dengan komunitas Malioboro, mulailah
ia “menancapkan kukunya” di dunia sastra. Penulis yang Guru Besar UNY
ini, juga menggeluti seni karawitan dan menggagas serta pengurus Masyarakat
Karawitan Jawa. Ratusan karya lahir darinya, baik berupa makalah, diktat, buku,
kumpulan puisi, cerpen, esai sastra, dan sebagainya.
Daftar ini hanya
memuat sebagian karya Suminto A. Sayuti :
- Kumpulan Sajak Malam Tamansari
- Resepsi Sastra
- Intertekstualitas: Pemandu Pengkajian
Sastra - Ensiklopedia Sastra Indonesia
- Evaluasi Teks Sastra
(2000, terjemahan The Evaluation of
Literary Texts karya Rien T. Segers) - Semerbak Sajak
(2000) - Berkenalan dengan Prosa Fiksi
(2000) - Berkenalan dengan Puisi
(2002)
Penghargaan
:
- Kedaulatan
Rakyat Award, Bidang Kebudayaan (2005) - Anugerah
Sastra Yayasan Sastra Yogyakarta (2014)