MENUJU KEPULANGAN ANGIN
angin tak dusta rasakan cemas yang sama
atas deru yang kadang ada kadang tiada
sebagaimana air ngalir, lewati setiap kelok sungai
dan rerumput memanjang di tepiannya
pematang belum juga kering setiap kutapakkan kaki
kenangan terpelosok dalam, emak nyinyir sambil bawa
rantang
menyebrangi jembatan bambu sebelum sampai pada
keringnya tanah
dan
gubuk lapuk
tak usah menangis mak, musim sudah bukan anakmu
lagi
memang ia tak pasti pulang pergi
tapi bukankah ia anak tiri, katakan saja pada angin
tentang
resah yang berderu
mak yang rimbun bukan kuning padi
tapi ilalang yang menguning mati
kita masih punya doa yang mesti kita rapal
bersama kidung-kidung puji
untuk mengganti lumbung dan karung yang kosong
gabah lapuk sudah kita larung bersama burung yang
terbang
menuju
sarang yang telah hilang
november, 2015
PATOS DAN
OBITUARI
ketika takdir meruntuhkan waktu dari
rahimmu
sebuah sungai mengalir di antara tugu
aku melihat perempuan menyebrang
membawa aksara di mata yang tak nyalang
sejarah menyimpan duka zaman di dadanya
lawati langit pemilik semua musim
anak-anaknya menunggu matahari terbit
hujan memekik, langit menjadi samar
tangis pecah di atas batu dan pasir
burung-burung lepas dari sangkarnya
kembali pada penjuru mata angin
hingga bulu-bulunya tercecer
di langit dan tanah yang dicampakkan
sedang tubuh kuyup oleh butir hujan
yang tak terhitung jumlahnya
utopia mekar pada dahan-dahan era
perang atas dendam tak akan berakhir
distrik-distrik sepi setelah hujan reda
patos, hanya rak-rak kosong dan
berlubang
tak ada pelangi memancar
desember, 2015
KEPADAMU
KUTITIPKAN ANGIN
aku tak ingin menangis melihatmu tidur
menahan lara yang ngalir bersama airmata
bukankah kau yang sudah penuhi musim
mengaduk-aduk rindu hingga rindu lebur tiada
di pot sendiri kau tahu bunga tak akan mekar
tapi dengan tulus dan doa kusiram saban pagi
sebelum kau buka mata dan fajar singkap raga
lantas siapa yang mengisi nyawamu
aku tak mampu terjemahkan jika kau
sebagai Shinta, Drupadi, atau Indardi
kepadamu kutitipkan deru yang terpelanting
pada setiap waktu yang masih lugu
aku hanya anak angin yang bawa debar
dan basah pada bulan-bulan
yang tak pernah tenggelam
aku suka bermain dengan kitiran
saat hari menumpuk pada akhir senja
di sana ia berputar-putar
dan tak pernah izinkanku menangis di pangkuanmu
sebab ia tak pernah dusta ceritakan lara
februari. 2016
FRAGMEN
KEMBARA
Kusingkap
malam pada perburuan
Tak
juga kutemu hati berjaga
Jalan
mulai berlubang
Tapi
cemas menelikung
Membaurkan
angin
Dan
percakapan menghentak
Lantas
setiba di depan rumah itu
Purnama
sudah membulat penuh
Cahaya
mengorek dan menelusup
Sampai
pada raga paling sepi
Bukankah
kita seperti angin
Berhembus
dari daun ke daun
Bawa
deru ketidakpastian
Andai
kata, purnama tak mekar pun
Aku
masih memburu
Pada
musim yang tak tepat
februari,
2016
MENUJU
NAPAS USIA
:
niken astuti
pada
hari yang selalu buncahkan sepi, arak-arakan angin menyebar. menabur
bibit-bibit yang nantinya akan rela aku atau mereka terima sebagai rindu.
sungguh pun kehadiran malaikat atau tuhan begitu asing di waktu-waktu tertentu.
sebagaimana
dahulu kau menyisir rambutmu, sebelum kita menghabiskan segelas susu di meja
yang menghadap penjuru senja. sunyi begitu menebar pada setiap pertemuan. nyeri
semakin larung pada hari-hari berikutnya.
kata
terus menyala-nyala dalam dadamu. berkecamuk pula namamu dalam jiwa. doa
merinai jatuh pada kesendirian penuh. ciuman demi ciuman kembarai setiap jarak
yang terentang. sungai-sungai mesti diterjang, janganlah berpaling pada
prasangka serta kecewa.
sangsi
tak akan menemu apa. kau mesti belajar pada benih-benih suci setiap cahaya
pagi. akan kuulurkan sulur-sulur dari tanganku yang basah. dalam genggam, pun
mereka akan merayakan kemilau tawa yang dahulu pernah remuk ke dalam debu.
aku
lagi menguruk batu-batu ke dalam kubur. dan melepaskan kupu-kupu di kebun bunga
depan rumahmu. ia akan melarut seperti halnya udara. mencari-cari si empunya
masa.
mereka
akan terus hidup di antara ubanmu kelak. atau di usia yang mulai leleh pada
lilin-lilin doamu. tak serta merta kematian menjadi jarak antara sumbu-api.
tetapi napas tak akan pernah kehilangan usia dan cinta.
april,
2016
DI
BUKIT KAILASA*
1/
datanglah
seperti angin maka kau bebas rentangkan sayap
menubruk
serta belah kabut yang terkapar di bukit senyap
karena
perjalanan hanya mengikat jarak yang rentang
rumput
membeku, begitu pun selederi dan tunas kentang
karika
akarkan pertemuan pada bau tanah kotoran kandang
bukit-bukit
batu gemakan deru pompa air
petani
terhuyung tumpuk hasil panen di tepi jalan tak berakhir
truk
pengangkut tak juga datang, begitupun dengan colt buntung
gemuruh
gunung menguap-uap dari candradimuka
tak
ada tatap yang lebih letih dari elang kehilangan ranting albasia
sebab
kelakar manusia telah kehilangan lidah dan nuraninya
undakan
batu tak sanggup lagi menjadi tempat bertumpu
harap
hanya cemas yang menggauli dan semakin memburu
2/
menuju
kailasa jalanan batu memanjang, kabut tak luput menutup
maka
janganlah kau pergi seperti embun yang menisbikan kerinduan
seperti
padang ilalang di atas bukit yang melepaskan tangis bima
sebab
segala tangis telah mereka akrabi dari kebisingan kota
candi-candi
terlihat dari puncak, harum belerang menyengat sesak
di
senja yang mulai ranum anak-anak kehilangan kitiran bambu
dan
sunyi dieng telah kehilangan bunyi tongkeret yang berserak
maka
akrabilah kepergian seperti kau akrabi orangtua saat kecil dulu
3/
lintang
yang sedari dulu nyala mesti terbit setelah
lampu-lampu
dihidupkan pertanda waktu sandekala
asap
mengepul dari cerobong rumah yang landai
harum
teh mengepul dari gelas dan pabrik berhenti beroperasi
sementara
tungku di dapur terus memakan kayu
menyisakan
jelaga pada dinding dan genting kaca
tiap
kali diteguk, air seperti muara ke telaga
badan
serasa kepenuhan dan gigil mulai memanggil-manggil
jejak imaji, 2016
ENIGMA ANGIN DAN BULAN YANG
TENGGELAM
aku
tersesat di arah mata angin matamu
lewati
ngarai terjal antara gunung yang basah
bulan
terus mengudara pada peredarannya
terjemahkan
pekat awan rapat-rapat
saat
sangsi musim hujan kedua
akan
kupakai mantel dari sisa jasadmu
aku
tak ingin basah malam ini
jiwa
terhuyung pada jalan terlipat
awal
november
angin
lagi berdesir lirih
ratakan
wangi kemarau yang berdalih
kutitip
hidup pada tetes hujan pertama
ketika
kau lupa bunyi hujan pagi
yang
bangunkan dari mimpi paling bisu
kuperhatikan
semburat biru samar
bayang
gunung di belakang rumahmu
masehi
telah gugur dari ranting jam matahari
hujan
turun deras di bukit dada
sebelum
kau terbangun
kulihat
purnama tenggelam
pada
reranting putih mimpi
yang
berseri di rambutmu
2016
DOA UNTUK KOTAKU
Di luas waktu yang selimuti hidup
Kutambatkan rindu pada rinai gerimis
Kepada malaikat kutitip doa yang paling sepi
Yang paling kutahu, Tuhan hidup di kotaku
Di mukim sunyi, kotaku bercahaya lugu
Aku menyusuri jalan di deras hujan yang bertalu
Atau menerjang kabut yang menebal di dadaku
Dingin memanggil dan ia menetap di tulangku
Aku ingin pulang
Mendengar lagi anak-anak kotaku mengaji
Atau membaca sejarah dengan tekun di hari-hari basah
Suara ceria yang gaduh di saat pintu dan jendela gigil
Aku ingin pulang
Menyusun keping mozaik dari cerita kakek
Mengenalkan kembali kepada anak-anak kelak
Dan membacakan cerita tentang kotaku dari buku-buku
Kalau kau tua dan kelabu
Telahku bangun rumah untuk kau singgah
Di sana ada sedikit buku
Dan anak-anak yang mulai mengantuk
Mereka ingin tidur di pangkuanmu
juli, 2017
TERKADANG, CUKUP KAU SAJA YANG MENGERTI
1/
Sepanjang
jalan kupungut sisa-sisa kabut
Perjalanan
letih telah mengabadikan jejak-jejak
Seperti
kau, kukira telah menjadi bagian malam lalu
Saat
tempias gerimis lenyap kau menjadi selepas napas
Tak
ada yang lebih sesak dari dekap temu
Janji-janji
berembus tertiup angin, bukan kenang
Kau
tak jauh
Namun
tak terdekap, seperti jantung angin
Apa
yang mesti kulepas jika lelah menjadikan kau semakin dekat
Ingin
kutusuk segala ingatan hingga tak ada kata, katamu
2/
Rasanya
kita tak akan pernah bertemu
Sebelum
senja kemarin bungkuk ke barat
Mempertemukan
bayang yang sama-sama malu
Ada
debar yang menyala pada dadaku
Sampai
lelah pun tak memahami rahasiamu
Sebagian
waktu telah patah pada jam tanganmu
Sebelum
gelap memberi isyarat, pisah akan terus tergali
Potretmu
akan menyimpan jawaban-jawaban
Tapi
desir angin yang akan mengabarkan
Atau
di balik bening matamu suaraku menjadi sunyi
3/
Telah
kumasuki segala rumah dan ingatan
Hingga
pada musim-musim panjang
Selalu
aku tak tahu mesti menuju kemana
Hanya
lamat-lamat suaramu lirih
Pada
jalan setapak terkurung isyarat
Di
lepas langit jingga dan segambar haru
Batu-batu
atau pasir menyerap rindu
Akhirnya
di sudut paling jauh, tak ada lagi
2018
Tentang Penulis
ARDY SURYANTOKO,
kelahiranWonosobo, 19 Desember 1992. Penyair ini beralamat di Binangun 002/004,
Gunungtawang, Kec. Selomerto, Kab. Wonosobo. Saat ini dia menjadi pendidik di
SMA Takhassus Al-Qur’an Wonosobo, dan bergiat di Komunitas Sastra Jejak Imaji.
Pos-el: ardysuryantoko@gmail.com.