JANGAN KATAKAN BUKAN PANDAN
Jangan katakan bukan pandan, Gus!
Meskipun besar, kasihan
Ia terlalu gagah, dan terlalu lama
berhabitat hutan
Berebut minum berebut makan
Dengan semua akar-akar di sekitar
Jangan katakan, itu bukan pohon
pandan
Kalau di dekatnya pohon-pohon dan
semak subur
Tentu ia pohon tafakkur yang berhak
ditanam
Di halaman masjid atau gereja
Atau istana yang masih menghargai
nyawa
Menghargai orang-orang merangkak
yang diranjau onak
Katakan saja itu pohon pandan
Atau carikan nama lain yang lebih
padan
Tapi jangan sampai tidak bernama
Agar ia tidak merasa dianggap
tumbuhan yang sia-sia
Kenapa kita berbahagia
Bercakap tentang sesuatu yang tak
terjamah
Yang seolah tidak berpaut dengan
cuaca
Dengan sejarah yang terlalu perkasa?
Barangkali kita sejenis kupu-kupu
Yang mengagumi kefanaan atau segala
yang sementara
Sedang daun pandan telah biasa
berbahasa embun
Atau tempias air terjun sebelum
jatuh di telaga
DARI TELAGA KE TELAGA
Di telaga pertama anak-anak mandi
Bukan karena tubuhnya berdaki
Yang tidak sekadar main-main
Tapi orang tua seperti aku
Meskipun tak mandi
Seperti mencari diri sendiri
Dan membedakan tirai hari dan tirai air
Bukan sekadar tirai kain
Di telaga kedua
Aku tertarik pada badan
Pada sesuatu yang serba dandan
Foto-foto orang tersenyum di pohon-pohon
Kucurigai mengandung racun
Padahal telaga sejak zaman purbakala
Tak pernah mengajar salah sangka
Tapi kenapa wajah-wajah yang senyum itu
Tidak menebar harum cempaka?
Di telaga ketiga, di telaga yang jauh
Tak ada anak-anak mandi
Telaga seperti tak pernah tidur
Karena menghormati ufuk timur
Dan langit yang menjatuhkan
Air atau embun
Selalu merahasiakan takdir
Bahwa untuk bisa bertakbir
Kita harus bisa menghargai setitik air
SUNGAI JERNIH
Beres! Apanya yang beres? Ringan lidah membuat kata tak bertenaga,
tak punya magnit agar orang mengibarkan bendera. Stiker, umbul-umbul dan gambar
beku lainnya, membuat orang harus bertanya. Dana? Atau berapa? Tak ada itu! Tak
saling sapa!
yang kacau kalau ada yang menganga, bagaimana sebuah bangsa akan dimasukkan ke
rahang singa? Mendung-mendung tidur, malahan ngantuk tak mau meninggalkan ufuk.
Kutu-kutu makin busuk mengukuhkan gedung kekar jadi sarang nyamuk. Siapa yang
berhak menyalakan lampu merah? Persimpangan tetap persimpangan, tak bisa
memberi isyarat angan-angan. Lampu merah tidak menyala. Orang-orang di
menyatakan lewat hakikat puasa. Mimbar harus mengisyaratkan pintu pagar. Ini
sebuah puncak tempat semua runtuh ke bawah, ke tanah yang berlinang-linang.
Lampu merah harus bernyala pada setiap jiwa. Waktu telah bertahan lewat
pandangan seorang buta. Palung-palung harus diubah jadi punggung, agar urat
berurat dan kata kembali mekar. Kita mulai kembali mengaji kata kita, kau dan
aku serta semua, yang siap jadi embun pada setangkai bunga. Sanggup melambai
menepis malapetaka, kita panggil sungai jernih untuk mengalir melewati
masing-masing empedu kita.
ALAM
tergetar, huruf menjalar di antara ribuan belalai, alam naik turun
dari bukit ke ngarai lalu ke danau, dengan mengasuh padi bernyanyi, lalu datuk
dinobatkan. Semua menjadi guru. Semua boleh dijadikan guru, kita memang harus
berguru tapi jangan meniru, kita memang harus belajar tapi jangan kesasar. Pada
lumpur yang hitam itulah mataair belalai
daun tak bersusun tapi hutan. Awan tak teratur tapi berarak. Danau tak
persegi tapi berhati, sembarang orang bisa berenang tapi tak setiap sembahyang
bisa menyelam.
Inilah alam terkembang yang membuat engkau jadi guru dan aku sujud
untuk bertemu senyum ibu. Sudahlah tuan, jangan terlalu banyak keterangan!
Karena rumput di sini
seperti bermulut, kita memerlukan air pasang sebelum surut. Itulah
mungkin sejenis rumus sesudah bukit di Teluk Bayur menjelma kerucut
kami mengaji di sini kami mengeja, karena kincir kayu direnung
melebihi baja, bahkan air sawah pun lebih cemerlang dari kaca. Kami mengaji
kami mengeja, angan mencari karena ruh juga bekerja. Tanah yang berbongkah dan
bajak kerbau yang gagah, adalah debar darah semesta baling-baling otak semesta,
bahwa alam ini tidak berhutang kepada kita. Kami mengaji kami mengeja
MINANG
Orang bertanya, untuk apa datang ke Ranah Minang?
Pertanyaan yang tidak merangsang.
Pada bulan yang timbul sebentar masih sempat
menyisakan secercah terang, lalu kelam,
karena awan memang kelabu
“Aku ke Minang untuk mengerang,” jawabnya,
Dan benar, orang itu menjerit tidak membuat kaget orang.
Alam menggeliat, sawah yang membuat lembah bertingkat,
dan lubuk yang bertingkap,
telah membuat darah menjerit dan rasa senang mengerang.
Bahagia berjumpa alam, berjumpa hakikat
“Tuhan, untuk itu aku salat, dan kini menetapkan kiblat.”
Malu tersesat tanya di hutan.
Dan malam, dan juga siang, sekilas memang seperti permainan, padahal
mata dan hati punya hak berbeda ejaan. Dan Minang yang malam, dengan rumah
gonjong menusuk matahari, adalah aku adalah engkau, atau kita yang merindukan
di balik semesta pengalaman
Kita perlu indah yang menggugah elok yang berkelok, karena di balik
kelok harus terdengar ayam berkokok di dalam telur. Kupasang telinga, kupasang
pori-pori dan ujung rambut untuk mendengar khotbah alam yang diucap lewat
sehelai kapuk yang terbang di musim kemarau
Tentang Penulis
D.
Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang,
Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal,
nasional, dan internasional. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura,
Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan
Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku
Airmata (1985), (5) Celurit Emas
(1986), (6) Derap-derap Tasbih
(1993), (7) Berlayar di Pamor Badik
(1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang
(1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku
Angin (1996), (10) Madura, Akulah
Darahmu (1999), (11) Kujilat Manis
Empedu (2003), (12) Cinta Ladang
Sajadah (2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan beberapa lainnya. Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam dari Dusun (2000). D. Zawawi
Imron pernah juara pertama menulis puisi di AN-teve
(1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia
(MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002).
Sastrawan-budayawan ini memenangkan
Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA
Write Award 2011 dari Kerajaan
Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron
mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa
kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Pada Minggu, 9 Desember
2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan
dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron,
atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan
kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.