DI BALIK JENDELA KERETA
Pagi ini aku bergegas
ke kotamu. Mesti aku tak tahu pasti kau di mana. Aku hanya mengikuti kata
orang-orang saat melihat keberangkatanmu kala itu. Ke selatan Gunung Slamet,
ucap orang-orang yang kutanyai tentang kepergianmu.
Aku berjalan di trotoar
jalanan yang berwarna hitam dan putih, seperti warna kesukaanmu. Pada daypack
hitamku, masih ada ikatan kain tenunmu yang berwarna biru laut. Kain tenun
kita tepatnya. Aku masih memakainya sebagai tanda di ranselku, entah dirimu.
Jeans dengan satu
sobekan di lutut masih kupakai, seperti saat aku sering bertualang bersamamu.
Flanel kotak-kotak berwarna gelap juga masih melekat bersama kaos hitam polos.
Aku masih berjalan di trotoar ini, “teruslah berjalan meskipun orang-orang
berlari,” pesanmu sebelum pergi meninggalkanku.
Jalanan pagi sudah
ramai. Sambil berjalan, orang-orang membawa serta binatang dan segala sumpah
serapah yang ada di dunia. Mereka akan melemparnya satu persatu saat ada yang
berkendara ugal-ugalan, atau menyerobot jalur tanpa permisi. Aku hanya
tersenyum melihat orang-orang itu saling lempar binatang dan sumpah serapah.
Stasiun ramai sekali
pagi ini. Sama, seperti pagi-pagi biasanya. Seperti katamu, “aku tak suka
stasiun sekarang,” “tapi aku suka!” debatku. Kau selalu membandingkan stasiun
dulu dan sekarang. Satu hal yang kau sulit untuk belajar sayangku, perubahan
zaman. Aku masih ingat saat pertama kali mengajakmu naik kereta api lokal
menuju Merak.
“Di mana para penjual
nasi rames yang dibungkus kertas dan diikat karet warna-warni?”
“Penjual minuman
botolan?”
Aku tertawa terpingkal
mendengar pertanyaanmu. Ah lucunya sayangku, sudah berapa lama kau tak naik
kereta?
“Jendela kereta
sekarang tak bisa dibuka?” tanyamu kala itu.
“Kereta sekarang sudah
maju sayang,”
“Lho, memang
kereta dulu tidak maju?” tanyamu lugu.
Aku hanya tertawa kecil
dan menusuk perutmu dengan dua jariku. Kereta api lokal menuju Merak bersiap
untuk melesat.
Pada kereta yang
melaju, kita tatapi bersama rumah-rumah kayu yang bagian belakangnya terendam
air selokan. Kayu-kayunya pudar dimakan matahari dan air yang menggenang.
Rumput dan semak belukar menjalar tak sedikit menumbuhi dinding-dinding kayu
yang sudah lapuk itu.
“Aku cinta
kesederhanaan.” Katamu.
“Aku benci kemiskinan.”
Jawabku.
“Orang-orang seperti
kita saat ini pasti akan selalu dekat dengan kemiskinan,”
“Oiya, bagaimana bisa?”
“Kalau bukan kita yang
miskin, berarti kita harus memperjuangkan orang miskin.”
***
Akhirnya kudapati
kereta yang membawaku kepadamu. Tidak seperti kereta listrik yang dipadati
setiap hari, kereta api yang kutumpangi ini lebih sepi. Aku duduk di bangku dua
sebelah kiri dan sendiri. Kusandarkan telapak tangan pada jendela, kurebahkan
pelipisku, dan kusibak rambutku agar tercipta posisi yang nyaman.
“Kereta kini sepi, tak
seperti dulu.”
Ah, sayangku. Kau
kembali membuka keran ingatanku pada masa-masa yang lalu. Entah apa yang
membawaku untuk mencintaimu, aku tak tahu. Di kampus, segala perempuan pasti
mengenalmu. Entah seberapa banyak dari mereka pasti menyukaimu.
Orasimu yang tajam
menusuk dan meledakkan amarah massa saat demonstrasi, puisimu indah penuh
abstraksi, atau karena kepemimpinanmu mengelola organisasi. Namun, ketiganya
aku tak peduli.
Mungkin kau yang
seorang pejalan, dengan topi rimba dan rambut terurai melewati kerah kemeja.
Itu pun tak membuatku terpana. Aku tak peduli bagaimana aku mulai mencintaimu.
Yang kutahu cinta membawaku pada kedunguan untuk menghampirimu di kota yang
jauh. Melepas sejenak bebanku dan pergi menghampirimu, entah apa yang kutuju.
***
Perjalanan ini
membuatku mengantuk dan segera tertidur. Tapi keran kenanganku sudah terlanjur
terbuka olehmu. Dulu, kau selalu menyediakan bahu dan pelukan saat kantuk
mendera di perjalanan kita. Flanelmu yang hangat dan aroma black opium
menjadi tempat ternyamanku kala itu. Kemudian kau putar lagu dengan sepasang
earphone, untuk kita berdua.
“Nosstres”, “Sandrayati
Fay”, “Iksan Skuter”, “Sisir tanah.”
Hingga kau menyelipkan
jemarimu di antara jemariku, kita saling menghangatkan dan terlelap di bawah
redupnya lampu-lampu.
***
Kereta Api Serayu
melintas melalui jalur selatan pulau Jawa. Dilaluinya bukit hijau dan hamparan
pesawahan yang luas. Udara di dalam kereta sama sejuknya dengan di luar.
Matahari mulai menuruni
peraduan, sinarnya masih terang terlihat. Burung-burung masih berkeliaran,
bebek-bebek masih berlajan bersama penggembala, air segar masih mengalir
mencari muara untuk dituju.
Kereta mengurangi
kecepatan sejenak untuk melewati jembatan panjang yang menghubungkan dua bukit
hijau. Erangan kenikmatannya membangunkan penumpang yang tidur di dalamnya.
Kereta Api Serayu bergerak perlahan agar penumpangnya bisa menikmati keindahan
yang tersaji dari alam dengan bantuan tangan baik manusia.
***
Demonstran dan pejalan,
orang-orang menggambarkanmu sayang. Lelaki muda dengan semangat membara. Tapi
bagiku, kau lelaki lugu dengan kebaikan hati yang membumi.
Darimu aku belajar
berjalan di tepi jalan, rimbun hutan, atau di pasir yang membentang di sebelah
lautan. Sekali waktu yang tak menentu, kita kumpulkan receh untuk membagi
kebahagiaan-kebahagiaan yang murah. Sayangku, berkatmu aku tak harus menjadi
orang berpunya untuk bisa berbagi dengan sesama manusia.
Sebentar lagi senja,
keran kenanganku kepadamu semakin terbuka lebar. Aku ingin memesan secangkir
kopi hitam tanpa gula kepada Prami di kereta. Aku ingin mengingat kenang manis
sembari menikmati kopi yang pahit. Saat demonstrasi atau perjalanan jauh ke
hutan-hutan. Saat kau diciduk aparat atau saat kau melinting tembakau dengan
masyarakat adat. Menonton drama yang dipentaskan atau berjingkrak saat menonton
konser musik.
Kereta kembali meraung
dan menambah kecepatannya. Lagi-lagi kau datang, mendobrak pikiranku dan
membobol paksa keran kenangan bersamamu. Aku masih duduk sendiri, sejak kereta
berangkat dari kota hanya sedikit gerbong yang penuh penumpang. Orang-orang tak
semuanya ingin duduk di bangku kereta yang hampir tegak lurus dan melaju lebih
dari 10 jam. Tapi aku tak peduli.
Mega-mega mulai
mengumpul pada cahaya jingga. Senja datang di peraduan kehijauan sawah dan
aliran air yang mengalir deras. Ekor cahayanya menjuntai menimpa padi-padi,
pohon, air yang mengalir, dan jendela kereta yang melaju cepat melintasi rel
yang berubah warna menjadi keemasan.
Ah, sayangku. Senja
terlalu indah untuk dipandangi seorang diri, di sini. Kau kembali lepas
lengkung di bibirmu, dalam peraduan bias jingga dan kegelapan yang mulai
menyebar kau cumbuiku pada sehampar pasir putih kala itu. Kau mengepaki semua
yang ada dan pergi meninggalkan gempita kota entah apa alasannya.
Senja perlahan mulai
hilang ditelan malam. Cahaya jingga keemasan yang memancar akhirnya pupus juga
disergap langit yang berubah warna menjadi hitam. Aku masih duduk di kereta
yang sebentar lagi berhenti di tujuan akhir, kotamu.
Tentang
Penulis
Bayu
Suta Wardianto, lahir
di Tegal pada 18 Maret 1998. Seorang Guru SMK yang juga avonturir.
Pernah belajar di pendidikan formal selama 16 tahun di Banten dan kini berlabuh
di Purwokerto. Bekerja serabutan sebagai pekerja teks di Rumah Kreatif Wadas
Kelir menjadi bagian kecil dari Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.
Proses
kreatif bersastranya dimulai sejak bangku kuliah ketika mengenal Arip Senjaya, Herwan Fr, dan Firman Venayaksa. Namanya tercatat
di buku antologi bersama Gol A Gong dalam Kumpulan Puisi Penyair Banten “Cinta
yang Menangis Cinta yang Berduka”. Buku puisi pertamanya berjudul Tuhan,
Aku Tersesat menjadi top 10 dalam ajang Pekan Literasi Bank Indonesia
Purwokerto. Buku kedua berupa kumpulan cerita pendek yang berjudul Perempuan
yang Terjerat Kursi Taman. Tulisannya termuat diberbagai media lokal
seperti Radar Banyumas, Maarif NU Jateng, Beranda.org, Bidik Utama, dan
sebagainya.
Penulis
bisa dihubungi melalui email: bayusutawr@gmail.com atau
media sosial Instagramya @suta_sartika.