DINDA YANG
MEMELUK KEHILANGAN
Malam kembali datang seperti biasanya. Ia menyelimuti awan di Kampung Benda. Geretak pintu
mulai di terpa sayup angin hujan. Lambat suara ombak.
Daun yang mengayun terdengar hingga rumah-rumah. Menyelinap ke pintu, membuka
tirai, mengganggu tidur orang-orang yang asyik mendengkur. Debu dan pasir
pesisir diarak angin, menyelinap ke beranda, menerobos celah
dinding yang terbuat dari kayu itu. Angin terus berhembus dari Utara
menerpa pintu kamar hingga berdecit pelan. Pintu kamar sedikit terbuka.
Di kamar itu, tidur Dinda tak lelap. Angin sedang tidak bersahabat,
dibawanya hawa dingin yang menusuk, tak sehangat dekapan suami. Dinda menggigil
dan mendekap guling dalam selimut. Ia tertidur lagi, dalam tidurnya ia bermimpi
buruk.
Hujan di laut, barangkali badai pekat. Angin ribut beterbangan setinggi
rumah, menggulung perahu suaminya, hingga hancur berkeping. Ia melihat suaminya
terombang-ambing, lalu hilang. Tiba-tiba dari arah entah, muncullah seorang
lelaki tua bersorban putih, berjubah putih, serba putih membopong suaminya. membawanya
terbang menuju cahaya di atas langit hingga lenyap.
Angin seakan kencang menerobos pintu rumah kecil itu. Angin yang
menyilet menembus pori-pori halus kulit Dinda. Tidurnya semakin terusik mimpi
buruk yang kian mencabik. Dinda
terjaga. Ternyata cuma mimpi, mimpi buruk.
Mimpi itu selalu menghantui Dinda sejak sebulan lalu.
Kala sore itu, temaram senja yang kembali menampakkan keemasannya,
siluetnya mulai pudar menyelubungi ufuk Barat. Ketika matahari bersembunyi di
balik gunung yang menjulang di depan sana. Sinarnya memantul indah pada
bongkahan awan yang membias keemasan, dan siang yang
ingin berganti dengan malam. Maka itu adalah waktu bagi Rajo, suaminya, untuk
berlayar ke laut mencari ikan. Malam di laut, tak seperti malam di kotamu. Di
pantai itu mereka berpisah. Dilihat oleh ombak, disaksikan pantai. Tanpa pelukan,
tanpa kesaksian, dan tanpa air mata.
“Berhati-hatilah.” Ujar Dinda seraya berdoa dan mengangkat kedua
tangan.
“Doakan semoga dapat ikan banyak.” Jawab
Rajo yang sedang mempersiapkan peralatannya.
“Semoga kembali dengan selamat.”
Rajo pun pergi tanpa lambain tangan dan kecupan istrinya. Bekal
dipikul di pundak kanannya. Ember berisi nasi dan sayur, juga sedikit air tawar
sebagai pelipur dahaga. Rajo semakin menjauh menuju perahu. Terdengar suara
mesin dinyalakan, suara itu memperkecil gemuruh angin malam. Dinda menatap
perahu suaminya yang semakin jauh, menjauh. Lampu ceplik yang berada di
tiang atap perahu juga semakin kecil, mengecil, menjadi titik, lalu hilang.
Tangan Rajo mencengkram sisi perahu dengan kuat. Air laut itu
berlomba-lomba ingin mencapai bibir perahu. Sungai desa Benda pada bulan September
ibarat harimau yang bersembunyi di balik alang menanti kelengahan rusa malang.
Sedikit saja tukang perahu salah mengambil arah, maka ombak besar yang
bersembunyi di balik gemuruh malam siap membuat perahu terjungkal dan seisinya
bisa berakhir pada kematian.
Rajo berdiri di bagian belakang sambil memegang tali kemudi, ia
terlihat fokus menatap ke depan, mencari bagian teraman dari laut yang luas
itu. Air merembes masuk ke sela-sela papan perahu. Langit-langit malam kian
menggelap, perahu kecil nelayan itu menari-nari di tengah gelombang. Hujan
mengguyur deras, petir menyambar, kilat melambai, Rajo menggigit bibirnya
kuat-kuat. Ombak setinggi tiga meter tak lelahnya menghantam lambung perahu,
kemudian mempermainkannya seperti buih saja. Tak punya belas kasihan, tanpa
rasa bersalah. Laut malam itu seakan mengajak Rajo, nelayan terbaik di Benda
menari tarian kematian. Ia harus berebut nyawa dengan malaikat
maut.
Terdengar bunyi krekk! Sepertinya tiang-tiang layar hendak
menyerah, mereka kian merunduk pasrah. Rajo berpikir keras. Ia harus membuat
pilihan, jika ia mengambil keputusan salah maka ia akan berakhir di lautan.
Lalu, bagaimana nasib Dinda jika ia tahu bahwa suaminya
meninggal sia-sia?
Rajo mendekati tali pengikat layar. Kemudian membuka tali itu satu
persatu. Layarnya kini tergulung rapi. Ia telah memutuskan untuk berlayar tanpa
layar. September merupakan bulan terkutuk untuk para nelayan. Ombak setinggi
tiga meter lebih menjadi ancaman yang menakutkan mereka, belum lagi angin
kencang, hujan turun tak menentu, petir menyambar, angin bertiup kencang. Kapal
kecil itu berputar-putar tanpa arah dan sebuah tiang layar jatuh mengenai kaki
lelaki tersebut.
Sudah lima hari para nelayan desa Benda selalu pulang dengan tangan
kosong. Tak ada ikan yang bisa mereka bawa pulang. Laut biru seakan tak mau
bersahabat. Juragan Tono berteriak di pelelangan ikan. Tempat biasa para
nelayan berkumpul.
“Kurang ajar kalian! Masa selama lima hari tidak ada hasil?”
“Maaf Juragan, ini bulan September.
Bukan salah kami awak kapal tak bisa menangkap ikan,” jawab Sugeng, seorang
nahkoda dengan topi hitam yang selalu melingkari kepalanya.
“Alasan
kalian semua! Kalian hanya bisa menghabiskan uang-uangku.” Balas Juragan Tona
dengan wajah memerah api.
“Benar Juragan, bukan salah kami,
salahkan saja laut yang mengamuk,” ujar yang lainnya.
“Alah, kalian saja yang tidak mempunyai keahlian.”
“Apa? Apa kau bilang?” Tanya lelaki
paruh baya dengan dada yang menjulang.
“Lihat saja nanti, pasti Rajo akan membawa ikan salmon Benda. Ingat itu.”
“Nelayan
desa Benda tidak punya keahlian!” Jawab Juragan dengan memalingkan badan.
“Diam kau!” Sahut lelaki paruh baya
tadi. Lelaki berumur empat puluh tahun itu menepuk-nepuk dadanya seakan tak
terima cacian Juragan.
Rajo memang tak pernah pulang dengan tangan hampa. Ikan- ikan
seakan tunduk dengan perangkap yang di pasang di perahu Rajo. Mereka
berlomba-lomba masuk ke dalamnya hingga perangkap itu penuh. Tak cukup hanya
itu, ikan-ikan besar pun selalu memakan umpan di kail pancing Rajo.
Tapi nasib memang tak terduga. Hari ini bukannya Rajo mendapatkan
ikan, tapi malah mendapatkan sial. Hal itu karena cuaca ekstrim bulan
September. Perahu lelaki kurus tersebut di terjang ombak besar, kakinya pun
terkena reruntuhan tiang layar, Rajo pingsan.
Rajo membuka matanya perlahan. Kakinya masih nyeri dan matanya agak
berkunang. Tapi cahaya cerah mentari pagi membuat penglihatannya semakin
membaik. Air yang menabrak pinggiran perahu menyadarkan dari pingsannya. Rajo
kaget ia masih di tengah laut. Langsung ia bangun, mengingat apa yang terjadi
pada dirinya. Rajo diambang kebingungan. Berapa lamakah ia pingsan? Berapa harikah
ia di lautan?
Hal itu juga di rasakan Dinda yang terus menunggu suaminya. Pagi
yang temaram berubah menjadi kelam. Sementara tangis si anak semata wayang
semakin mengencang. Menunggu, hingga menjelang petang. Beberapa nelayan
mendatangi rumah Dinda.
“Tadi malam kami melihat perahu Rajo
jauh di tengah amukan ombak.” Ujar nelayan tua dengan raut wajah panik.
“Benar, kami melihatnya,” ujar
nelayan lain dengan tergesa-gesa. “Kami melihat ombak besar menerjang perahu
Rajo, tetap sepertinya Rajo sudah tidak ada di perahunya.” Dinda semakin panik.
Tangis bayi semakin kencang, tanpa jeda. Seakan ia juga merasakan apa yang dirasakan
ibunya.
“Kami melihat ombak yang disertai
angin ribut tepat di samping perahu Rajo.” Ujar nelayan itu lagi. “Ketika itu
kami langsung melaju mundur ke daratan setelah menyaksikan kejadian tersebut.”
Rumah Dinda ramai didatangi orang-orang. Wajah mereka cemas. Ratapan mereka kian
mengeras. Suara desit ombak kini tertelan oleh suara-suara orang yang berkumpul
di rumah Dinda. Kesaksian
nelayan-nelayan itu membentuk suatu kecemasan. Mereka bertanya-tanya. Di mana
Rajo sekarang? Dan di laut mana ia berada?
Tentang Penulis
Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri
Purwokerto. Lahir pada tanggal 1 Juni di Benda,
Sirampog, Brebes. Penulis bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban
(SKSP). Karyanya pernah terpublikasikan di beberapa media online seperti ngewiyak.com,
cerano id, go kenje, Borobudur Writers, sksp literary. Sekarang sedang
berdomisili di Ponpes Al-Hidayah Karang Suci Purwokerto, dan Ponpes Darul
Ghuroba Al-Hikmah 1. Penulis
dapat dihubungi melalui IG/musyafa Asyarie, HP: 085727228346 atau Email musyafaasyari03@gmail.com