CAHAYA
TERBIT DI BUKIT SEMAYA
Oleh:
M. Hendry Agus R.
Subuh berangsur
menyingkir, cahaya remang lampu dusun menyinari jalan pagi. Saat hawa dingin
yang menusuk, membuat gigil temu di majelis ngaji
itu. Bunyi jangkrik dan binatang malam yang biasanya terdengar nyaring,
seketika itu hening. Hanya gemercik sungai Logawa
di bawah kaki bukit sana yang terdengar lirih. Di antara lorong masjid,
genangan-genangan sisa hujan semalam masih basah, membuat Kau musti menyincing
sarungmu agar cipratannya tidak lantas membuat kotor sarung yang baru Kau
kenakan pagi itu.
Kau menyapa Ibu, Bapak
yang baru selesai melaksanakan sholat subuh di masjid, saat Kau mencari sendal merk swallow biru yang baru saja Kau beli
di warung bawah, sebab putusnya sendalmu di hari kemarin. Sementara itu, teman-temanmu turut mengikuti dari
belakang, ada juga yang sudah
menanjak menuju majelis
ngaji. Kau pun lantas bergegas membersamai mereka, Dani di sebalahmu
memberimu salam sambil mengenakan jas untuk menghangatkan tubuh.
Sinar pagi masih tertutup
oleh rimbunnya awan. Jalanan menanjak berlumut menambah sikap sigapmu, jika
sewaktu waktu Kau terperosok lantaran licinnya jalan bebatuan itu. Sayup terdengar
suara kaki-kaki mungil berlarian menyusuri tanjakan, wajah mereka ceria tidak
ada sedikit kantuk pun
yang membersamai mereka, dengan kitab ngaji di tangannya masing-masing. Kau
memandang mereka dengan tatapan haru, dan berbisik dalam keheningan hatimu.
“Mereka anak-anak
hebat, meski dipagi buta semangat menimba ilmu melunturkan sisa kantuk semalam,
mereka calon orang-orang sukses pemimpin di masa mendatang”, Bersamaan dengan
itu, Kau menyeka mata air yang mengalir membasahi pipi yang masih dingin oleh
hawa perbukitan pagi itu.
Perlahan, majelis itu kian meramai
dan masing-masing dari mereka mulai merapalkah surat ataupun iqro’ melanjutkan ngaji maghrib
kemarin. Kau memandangi satu demi satu wajah mereka, dan Kau kembali menitihkan
air matamu. Akhirnya pagi itu, Kau memilih untuk pulang ke sekretariat lebih
awal dari kawan- kawanmu. Turut membantu anak konsumsi menyiapkan hidangan
sarapan.
Pada tikungan pertama
sebelum turunan, pada pohon merunduk tetes embun masih setia pada pucuk dedaunannya.
Kau berjumpa dengan ia, wajah teduh, penuh ketenangan. Kau menyapanya dengan
gugup, ia pun membalas sapamu tanpa sepatah kata, hanya dengan senyuman pingit
yang masih terasa hingga saat kakimu berpijak saat langkah kakimu menjauh
saling membelakangi perempuan berwajah teduh itu. Saat senyuman gugur di
hatimu, semilir rindu dan rasa penasaranmu mulai muncul, menerka-nerka siapakah
wanita itu. Hingga, kemudian di hari hari selanjutnya, Kau merasakan kembali
tetumbuhan kasih yang telah lama mengering dalam jiwamu.
***
Sore hari menjelang
hujan, pada rumah warga tempat belajar bersama anak- anak semaya. Kau larut
dalam kehangatan semangat mereka. Mendung yang sudah hujan sore itu, Kau
mengajari mereka tentang pecahan dan pembagian matematika, yang sedikit Kau
tahu meski harus berpikir lebih lama, sambil mengingat pelajaran ketika masih
sekolah dulu. Mereka memperhatikanmu dengan segenap antisiasme. Bahkan,
satu di antara mereka ingin terus belajar sampai hampir masuk waktu maghrib.
Azan pun berkumandang
dengan merdunya, terbawa angin bukit disertai rintik yang belum juga mereda.
Bunyian deras aliran sungai logawa terdengar, dan bau hujan menerpa tanah masih
tercium. Kau dan sahabatmu musti turun untuk briving, dan kemudian
mengajar di TPQ yang pagi kemarin kisahmu sebermula.
Kau dan sahabatmu
berlarian menuju majelis ngaji
yang letaknya agak naik dari sekretariat. Jas birumu basah sebab rintik yang
dikira kecil itu, ternyata mampu membuat basah jas tebal organisasimu itu.
“Mari kita mulai dengan
berdo’a bersama yah,
anak anak.” Ucap salah satu di antara temanmu yang
maghrib ini menjadi pemimpin di majelis ngaji.
Kemudian disusul dengan
do’a dan hafalan-hafalan meraka lantunkan, membuat hatimu bergetar. Suara
gerimis tergantikan bunyian nadhom
yang dirapalkan para santri
Selepas doa dan
lantunan nadhom, masing- masing dari
sahabatmu turut membantu dalam menyimakkan hafalan anak-anak. Sementara angin
seakan memberikan selimut kehangatan dalam tubuh mereka malam itu.
***
Ini adalah malam ke-9
dan itu artinya esok merupakan puncak acara bakti sosial yang di dalam rangkaian
tersebut, ada sesi tiap TPQ
untuk menampilkan kreasi terbaik. Maka untuk mempersiapkan itu,
TPQ akan menampilkan hafalan dari kelas satu juga kelas dua.
Kau pun turut membantu
bersama sahabatmu dalam mempersiapkannya. Kau lebih fokus ke kelas dua dengan
hafalan hidayatussibyan. Dengan sabar
menata barisan dan sesekali memandangnya. Namun, kali ini Kau lebih memfokuskan
diri untuk menyiapkan penampilan mereka agar maksimal di hari esok.
Lagu maher zain yang
mengalun di malam berkabut itu, membuat suasana seketika hanyut dalam irama
lagu. Kaki kaki mereka dituntun mengikuti tempo yang keluar darinya. Satu
langkah dua langkah kaki, belokan dan pada sesi akhir menghadap depan. Kau
tanpa sengaja memandang —Wajah teduh—
dan Ia memandangmu.
Pada sesi akhir latihan,
alunan nadhom dirapalkan hingga usai.
Sepertinya mereka sudah hafal di luar kepala batinmu. Kau memandangi satu
persatu dari mereka, Kau
pun mulai menghafalkan muka-muka mereka setelah sembilan hari membersamainya.
Namun, tetap pada itu Kau
belum tahu nama perempuan berwajah teduh itu.
***
Sabtu sore, di mana
malam nanti adalah malam puncak sekaligus perpisahan dengan warga dusun.
Segenap panitia mulai bersiap dengan membagi tugas dan masing-masing dari
mereka sibuk dalam job desknya. Pada sore itu, Kau dan dua temanmu bertugas sebagai
pendamping dari anak anak TPQ dalam
agenda gladi bersih. Segala persiapan panggung Kau persiapkan dengan matang,
termasuk tanda untuk belok di panggung dan teknis masuk, keluar.
Ketika gladi telah usai
waktu sudah menunjukan hampir maghrib. Bersamaan dengan itu hujan datang dengan
derasnya, dengan angin yang bertiup kencang. Kain kain penutup panggung
berkibaran tak tentu arah. Kemudian tak lama setelah itu, listrik padam.
Gelaplah suasana, sementara hujan masih deras turun. Kau pun terduduk lemas,
membayangkan acara yang tinggal di depan mata musti terhalang.
Hujan mulai mereda
ketika menjelang Isya, dengan kondisi banjir dan lampu padam. Kau dan panitia
berusaha merapikan tempat kembali dan bersiap untuk acara. Panggung basah terguyur hujan terbawa
angin, dan tanah bacek sisa hujan menggenang, menjadi pemandangan di malam itu.
Acara dapat dimulai
tepat pukul 19.30 dengan hadroh sebagai pembukanya. Kau turut membaur bermain
alat hadroh dan melantunkan sholawat. Warga pun berduyun-duyun mulai berdatangan
saat sholawat terakhir dilantunkan. Pencahayaan dan sound bersumber dari
ganset yang menyala. Mengingat waktu, sholawat dilantunkan dalam waktu
sebentar, dan Kau langsung mencari dalam kegelapan rombongan TPQ yang Kau
dampingi.
Senter flash hapemu
dinyalakan. Satu demi satu rombongan Kau datangi, dan pada akhirnya Kau
menemukan rombongan TPQ dampinganmu. Kau mengenalnya melalui wajah teduh yang
tanpa sengaja terkena lampu hp mu.
“ Bagaiamana, keadaan
kalian?, “ tanyamu
“ Alhmadulillah
baik ka” jawab perempuan berkrudung putih
“ Intinya nanti kalian
jangan grogi yah, sebelum maju panggung jangan lupa untuk berdo’a, kita akan maju sebagai penampilan terakhir.
Jadi, masih ada waktu untuk menengkan pikiran dan hati. Dan saya dan Kaka yang lain
akan terus mendampingi kalian dari bawah panggung nanti” Kau berusaha
menenangkan hati anak-anak sekaligus memberinya semangat.
“ Baik, Ka In syaalloh Kami akan mempersembahkan yang terbaik” jawab salah
satu di antara mereka dalam suasana gelap.
Kau pun kembali ke
belakang panggung, setelah penampilan sebelum terakhir, suasana masih gelap dan
anak TPQ dampinganmu sudah siap di sisimu dan sahabatmu. Sesaat sebelum menaiki
panggung, Kau berdoa bersama sahabat dan anak TPQ itu. Kemudian, listrik
kembali menyala dan dusun kembali cerah, ini seakan menyambut penampilan
terakhir.
Saat musik masuk mulai
dibunyikan,
dadamu berdetak hebat. Kau
yang berdiri di seberang kanan panggung dapat melihat dengan jelas teduhnya
anak-anak itu memasuki panggung. Dan ada saat Kau dan wajah teduh saling
berpandang, dan Ia melantunkan senyumannya. Kau pun membalasnya dengan
menundukkan kepala. Hatimu berkecamuk saat itu juga, Kau merasakan ketenangan
dan kedamaian sesaat setelah senyuman itu.
Setelah tepuk tangan
panjang dari para hadirin, Kau pun berfoto bersama anak anak. Dan Kau
memberanikan diri untuk menanyakan nama wanita berwajah teduh itu. Pada
akhirnya di malam perpisahan,
Kau mengetahui namanya. Hari-hari berikutnya,
Kau berkesempatan bertemu dengan wanita berwajah teduh itu.
Pada sore di hari
hujan, pada gedung yang kokoh bersaksi. Pada rumout yang turut merunduk saat
Kau berjumpa dengannya. Kau mengungkapkan ketenangan hatimu berada di dusun
permai tersebut. Dan Kau pun berpesan kepadanya, untuk terus mendalami ilmu
agama maupun ilmu dalam bangku sekolah (umum).
“Teruslah
tumbuh, tunas muda jalanmu masih panjang, aku akan menemuimu di waktu yang
tepat, saat tunas menjadi pohon, saat pohon memberi keteduhan pada sekitar”,
Dan Kau pun
berpamit…..
Semaya, 2022
Tentang Penulis
M.
Hendry Agus Riyanto, lahir di Banyumas, 8
Desember. Masih berstatus mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan bergiat
di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) UIN Prof. K. H. Saifudin Zuhri
Purwokerto Wakil Ketua HMJ Pendidikan
Bahasa Arab 2021, dan Tim Redaksi HMJ
PBA 2021 . Santri Alumni Pondok Pesantren At-Taujieh al-Islamy 2
Andalusia, Kebasen ini merupakan
Koordinator Biro Wacana Keilmuan Rayon Tarbiyah. Puisinya pernah dipublikasikan
di Radar Mojokerto, Koran Kopri,
Harian BMR Fox,dan Majalah Simalaba. Antologi
puisi bersama Semua Menutup Pintu untuk Duka Kota (2020),
Antologi puisi bersama Bordir Umayah
(2021), Antologi puisi bersama Puisi Millenial Harlah HB Jassin (2021)
, Antologi puisi bersama Memorabillia
(2021), Antologi Cerpen bersama Duka
Bumi Pertiwi (2020), Antologi Essai Pendidikan (2020).
Ig:@mohammad.hendry_. Wa: 083824826584