BOTOL
TERAKHIR
Botol
bekas minuman keras berhamburan di depan rumahnya. Begitu beragam merek dari
alkohol itu, mulai dari Topi Miring, Wishki, Anggur Merah dan semacamnya,
mungkin seorang yang sering mengunjungi bar akan tahu merek-merek miras.
Selain itu, bau menyengat dari miras itu mengelilingi rumahnya. Jika ada
seseorang lewat depan rumahnya, bau yang pertama kali tercium adalah bau
alkohol. Walaupun alkohol itu tidak disiram secara sengaja ke tanah depan
rumah, namun botol yang menyisakan beberapa tetes air setan itu tetap
menyebarkan bau.
Para
tetangga sudah paham betul dengan sikap pemuda itu. Tidak bosan-bosannya mereka
menasehatinya, tapi sang pemuda hanya menganggapnya sebagai angin lalu bahkan
angin ribut yang selalu memancing emosinya.
Malam
itu seperti malam-malam sebelumnya, Tono tidak sendirian. Ada beberapa temannya
menemani ia menenggak miras tersebut. Mereka berasal dari berbagai daerah. Baik
laki-laki maupun wanita berkumpul di rumahnya berpesta miras bersama. Suasana
bising memenuhi ruang tamu bahkan menyebar keluar rumah.
“Bro,
beli lagi Anggur Merah gih. Mau abis nih,” ucap salah satu teman Tono.
Tanpa
membantah, Tono beranjak dari kursi dan melangkahkan kakinya. Dengan bekal uang
untuk membeli ciu dan kunci motor milik temannya ia keluar dari rumah. Motor
temannya yang terparkir di depan rumahnya hendak ia tunggangi. Akan tetapi ada
sebuah suara dari kejauhan seperti memanggil-manggil namanya.
Keadaan
mabuk mengaburkan pandangannya, Tono tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang
sedang menghampirinya. Ia hanya bisa menunggu sambil memegang motor karena
hendak pergi membeli minuman.
“Mau
kemana malam-malam begini pergi?” tanya seorang laki-laki. Ia adalah
Marno, tetangga Tono. Walaupun Marno hanya seorang tetangga tetapi rasa
perhatiannya kepada Tono seperti adik kandung sendiri. Tidak henti-hentinya ia
memberi nasihat demi kebaikan tetangganya. Memang Tono orang yang keras kepala,
sesering apapun nasehat yang diberikan tidak pernah mempan masuk ke hati.
“Minggir!
Kau siapa beraninya ngatur-ngatur. Awas gue mau lewat!” bentak Tono.
Marno
hanya terpaku dan mengelus dada melihat Tono yang melajukan motornya. Tono
semakin jauh dari pandangan dan hilang tertutup tembok-tembok. Pandangan Marno
beralih ke dalam rumah tetangganya, rumah yang penuh dengan kebulan asap rokok,
laki-laki dan perempuan yang tidak ada batasan, botol dan gelas berantakan,
itulah pemandangan yang ada di dalam rumah Tono.
Marno
ingin masuk ke dalam rumah tetangganya itu dan menasihati mereka yang berada di
dalammya. Namun ada rasa menahannya untuk bertindak. Ia hanya bisa memandang
dari luar sambil mengumpulkan keberanian untuk maju dan masuk.
“Assalamualaikum,”
ucap Marno. Sontak mereka terdiam tanpa menjawab salam. Pandangan mereka
tertuju ke orang yang barusan mengucapkan salam. Mereka menatap segala sesuatu
yang melekat pada dirinya, dari ujung kaki hingga ujung kepala, mulai dari
sarung bermotif kotak-kotak hingga sebuah kopiah hitam, semua tak luput dari
perhatian mereka. Marno serasa dirinya asing setelah diperlakukan seperti itu.
“Ada
apa Pak datang kemari!” ucap salah satu pemuda sambil berdiri dari
duduknya. Ia menolak kedatangan Marno. Matanya yang tidak fokus karena mabuk
dipaksa melotot agar Marno takut akan dirinya. Tapi apa yang dilakukan pemuda
itu tidak menciutkan nyali Marno. Ia tampak santai menghadapi mereka.
“Apakah
kalian tidak takut dengan apa yang kalian lakukan?” tanya Marno dengan
bijak.
“Banyak
omong kau! Pergi!”
Pemuda
tadi mengambil sebuah botol kosong dan melemparkannya ke Marno. Untung saja
botol itu melenceng tidak mengenai Marno sehingga ia bisa selamat dari pecahan
beling yang melukainya.
Marno
berpikir jika ia masih di tempat itu mungkin akan terjadi hal yang lebih
berbahaya. Maka ia memutuskan untuk keluar dari rumah itu. Tapi belum sempat ia
keluar, Tono sudah terlebih dahulu kembali dari perginya.
“Eh
Mar. Ngapain di sini? Mau bikin kacau ya?” ucap Tono yang masih terduduk
di atas jok motor. Ia tidak terima teman-temannya diusik oleh tetangganya. Ia
rasa teman-temannya tidak butuh nasihat dari orang seperti Marno. Jadi, tidak
perlu repot-repot Marno menasihati teman-temannya seperti apa yang Marno
lakukan kepadanya
Merasa
dirinya tidak dihargai Marno memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Kakinya
mulai meninggalkan halaman rumah Tono. Belum jauh ia berjalan terdengar suara
bising dari dalam rumah Tono. Suara orang-orang yang hendak muntah. Ia kembali
untuk menghampiri. Akan tetapi Tono yang barusan ia temui dalam keadaan
baik-baik saja kini tergeletak di atas tanah.
***
Ia
terkapar di atas kasur. Matanya perlahan membuka menatap sinar lampu putih.
Silau yang diperoleh membuatnya beralih pandangan, memandang sekeliling. Ia
menjumpai seorang lelaki di sampingnya.
“Berhentilah
meminum minuman itu. Sekarang kau sudah tahu akibatnya, kan?” ucap Marno
yang sedang duduk di samping Tono.
Mulutnya
tetap bungkam. Namun matanya memandang lawan bicaranya. Seakan-akan ada pesan
yang ingin ia sampaikan. Sebuah pesan amarah jika dilihat dari caranya menatap.
“Kalau
gak niat nolong gak usah ceramah segala! Sana pergi!” hardik Tono. Hati
Marno sakit. Ia pergi meninggalkan Tono untuk kedua kalinya.
***
Hanya
perlu beberapa hari untuk pulih. Tono kembali sehat seperti semula. Ia bisa
melakukan aktivitas seperti biasa, pergi dari rumah kemudian pulang membawa
teman-temannya. Malam hari di rumahnya, mereka melakukan pesta miras lagi dan
lagi. Suatu kerinduan jika jauh dari miras, baginya.
Marno
hanya duduk di sebuah kursi di depan rumahnya. Mengamati pesta miras yang
dilakukan oleh pemuda-pemudi dari seberang rumah. Sebenarnya kakinya sudah
terasa gatal ingin menghampiri, menasihati mereka tapi ia sudah bertekad untuk
berhenti melakukan hal itu semua. Ucapan yang telah disia-siakan membuat Marno
sungkan untuk melakukannya lagi. Baginya kewajiban atas mencegah suatu
keburukan telah ia jalani, hanya saja mereka yang tidak menaati.
“Siapa
yang bisa habisin minuman ini,” ucap Tono sambil memegang satu-satunya
botol yang masih terisi air walaupun hanya tiga kali tenggak.
“Kok
diam semua? Gak berani? Ya udah gue minum sendiri aja nih.”
Tono
mengangkat botolnya. Mulut botol dengan mulutnya saling menempel dan miras
pindah dengan cepat dari botol ke tenggorokan Tono. Ia menikmati betul proses
meminumnya, ditandai dengan matanya yang setengah terpejam. Tapi tiba-tiba
matanya membelalakkan. Ia merasa mual dan muntah-muntah. Miras yang barusan
diminum keluar lagi dari mulutnya disertai cairan berwarna merah pekat kental.
Cairan itu tidak henti-hentinya keluar sehingga membuat kaki Tono lemas dan jatuh
tergeletak.
Tentang Penulis
Bagus
Sulistio,
lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Saat ini menjadi
pengajar di sebuah SD negeri Banjarnegara. Beberapa karyanya pernah dimuat di
berbagai media cetak maupun online skala nasional.