CINTA DI MASA PANDEMI KEMARIN ITU
di dasar hatiku
bersarang SARS
paras ayumu
di SMSR-an
bisik-bisik kesepianku
kukenang lagi MERS
mesramu
kamulah ODP
yang kupantau sepanjang PDP
karena sejak
kamu suspect aku kehilangan respek
kamu ternyata
punya pacar tak percaya PCR
sebaiknya kita lockdown
agar kembali slow down
LAPORAN AMAN
Apakah puisi
sudah aman terkendali?
Laporkan segera perkembangan!
Siap laksanakan!
Puisi
negatif-negatif saja
namun ditemukan
kata-kata baru
mutasi dari masa
lalu
laporan selesai!
Kalau begitu masih
belum aman
kita harus teruskan
metode lama kepemimpinan
batasi gerak
puisi jangan sampai imun
lemahkan mereka
dengan beasiswa
dan
penghargaan-penghargaan
Siap,
laksanakan!
JANGANKAN DEMO, BUNG!
Sepanjang
pandemi
calon-calon
doktor saling berbagi
di WAG nasional
terus saja bertanya-tanya
kesal
tentang nasib ajuan
beasiswa mereka yang masih sial
Inna
lilahi wa inna ilaihi raajiuun
(Coba sih bahas
saja artikel-artikel keren di jurnal-jurnal
bereputasi daripada
setiap hari mengobral kesal)
Mereka sepakat
akan ke Ibu Kota
memaksa Dirjen
membantu mereka
demi dapat gelar
segera
tidak mengganggu
tabungan keluarga
Inna
lilahi wa inna ilaihi raajiuun
(Jangankan demo
Bung! Jangankan ke Ibu Kota!
Jalanan di
mana-mana sama inna lilalhi-nya
dengan otak kalian!)
CINTA BUTA
di depan kaca
mata mudaku aku minus
di depan kaca
mata tuaku aku plus
tapi di depan
kamu, Manis,
aku selalu
berkaca-kaca, tragis…
apa pun zamannya
kamulah yang
selalu terbaca tanpa cinta
karena buta benar
aku pada derita bangsa
BIDUAN
Di depan puisi
kata berdandan bak biduan
Memoles muka bak
perawan mutlak urusan pilihan
Kalau bukan
karena profesi
Tak akan ia
mati-matian untuk tetap seksi
Di depan puisi
kata berdandan dengan rok mini
Mungpung masih
depan cermin sendiri
Mengangkang tak usah
risi
Di panggung
kesenian nanti ia tak akan sendiri
Akan berjejer
seperti para menteri di foto-foto kabinet negeri
Mungkin akan ada
yang menyawernya dengan receh milyaran
Mungkin ada yang
menyuruhnya turun karena kasihan
KUCING, AMBULANS, TOA, KEMARIN-KEMARIN ITU
Kucin[g]tai
meonganmu
saat
menggonggongi Jumat Kliwonku
Kutakuti
wiwiwanmu
saat berhenti
depan rumahku
Kurindukan
panggilanmu, Toa Membahana,
kapan lagi kita
bisa kumpul tahlilan
makan-makan di
atas kehilangan?
RESTORAN DARING
Tak terasa dua
tahun sudah kita menjadi sepasang darling
sejak social distancing kali pertama berdering
di WAG-WAG
yang rungsing.
Aku dan kamu berdua
saja di restoran daring masing-masing.
Aku memasang back ground ilalang panjang
dan kamu
memasang bunga rumput.
Di latar-latar
suara kita melengking-lengking jerit ambulans
yang tak asing
lagi;
jauh lebih asing
suara batu di tengah sungai
dan masih asing pula
lapar yang tetap deras menderai.[1]
KATAKAN SAYANG BUAT YANG TERSAYANG
Tidur siang
wajib panjang bagi puisi malas-malasan
Buat bekal study tour liburan begadang
Paling tidak kata-kata
sayang bisa terus dikumandangkan
Jangan kalah
oleh suara adzan
Sebab siapa tahu
besok lusa salah satu dari kata libur
Dan berangkat ke
tujuan kubur
Segala akan
terasa kurang jika jarang diucapkan
Tahu-tahu di
kasur semalam suntuk bergulingan
Dengan sepi
ditinggal Sayang Tersayang
BULAN BAHASA
Tak apa, wahai
teman-teman seperjuangan,
semoga menjadi juri
pun kita bisa terhitung
sebagai pahlawan
tanpa tanda jasa
yang mungkin dikenang
setiap Bulan Bahasa.
Mereka yang
menang akan mendapatkan piala-piala
dan uang
pembinaan, kita tentu mendapat pahala
dan jangan pernah
mau disamakan
dengan mereka
yang haus kemenangan.
Kita membina dan
tidak untuk dibina
Kita bekerja dan
tidak untuk mendapatkan harta
Kita memenangkan
dan tidak untuk dimenangkan
Pahlawan tanpa
tanda jasa matinya pun tak mesti diperingati
dentuman meriam,
damai sedamai rekening
yang jarang
diramaikan “cling-cling-cling” sms-banking.
[1] Lihat puisi “Di
Restoran” karya Sapardi Djoko Damono, berkaitan dengan tujuh larik terakhir
puisi ini.