LEBARAN HAJI
Lebaran Haji tahun
ini seperti cawan jatuh
Pecahan kaca
berserak di bulan Juli
Menyembelih cinta
dalam sisa nafasku
Jejak Talbiyah dan
jerit takbir
Menderu dalam sunyi
takdirku
Pengorbananku adalah
keimananku
Tak cukup hanya
domba paling putih saja
Untuk kukorbankan di
musim pandemi ini
Saat sanak-saudara
satu persatu pergi
Ketika kawan-kawan
seiring seperjalanan sudah mendahului
Keimananku dan
pengorbananku
Tuhanku
KebesaranMu mendedah
resah
Melukis keikhlasan
di lorong sunyi kesabaranku
Sebab kelahiran dan
kematian
Ada di genggamanMu
Kuziarahi kapak
Ibrahim di bulan haji ini
Sudahkan berhala
ketakutan ini kutebas dengan pedang imanku?
Sudahkah pedang
tajam ini kuayunkan pada leher takaburku?
Lebaran haji tahun
ini menjadi labirin kerinduanku
Pandemi memendam
lebam dalam dukaku
Tuhanku
Tanamkan Tauhid Nabi
Ibrahim di sawah-ladang kalbuku
Takbir dan salam
Nabi Ismail dalam helai nafasku
Iman dan ilmu Nabi
Ishak yang mengakar di belukar nalarku
Agar Talbiyah
Cinta yang kutakbirkan di rongga dada ini tepat waktu di pintu
rumahMu
Gus Nas Jogja, 19
Juli 2021
DOA DI PADANG ARAFAH
Tuhanku
Wukufku mewakafkan
rindu
Terik Padang Arafah
ini menyalakan suluh
Membakar angkuh
selingkuhku
Wajahku tengadah
Berharap cipratan
cahaya
Dari api cintaMu
Matahari ketakwaan
Matahari kesabaran
Matahari hidayah
Serta sebelas
matahari dalam mimpi Nabi Yusuf
Menjadi sinar
talbiyah menembus ubun-ubunku
Padang Arafah ini
telah menjadi kafan jiwa-ragaku
Semesta bertakbir
mengubur takaburku
Hari ini kupuasakan
puisiku
Menjadi tamu Sang
Maha Rindu
Membuat syairku
mendadak bisu
Di Padang
Arafah
Doa-doaku membeku
seputih salju
Iman yang
penghabisan
Pada Dzat yang
melangitkan sukmaku
Pada Dzat yang
membumikan sujudku
Inikah jawaban
teka-teki di surga itu
Saat para malaikat
bertanya
Bagaimana bisa
manusia dipercaya menjadi penggembala
Menjadi khalifah di
muka bumi
Manusia yang suka
membuat kerusakan
Menusia yang tega
menumpahkan darah
Manusia yang terus
jumawa dan mewariskan residu
Di Padang
Arafah
Tak ada ranting yang
patah
Tak ada darah yang
tumpah
Semesta mengucap
talbiyah
Doa seluruh dunia
meneroka cinta
Menyenarai
kesembuhan manusia dan bumi yang kian cedera
Tuhanku
Berjuta tangan Nabi
Ibrahim mengayunkan pedang cintanya
Menyembelih perih
dan remuk redam nestapa jiwa
Manusia yang
berselimut hasud dan dengki
Manusia yang
bermahkota taring serigala
Sudah saatnya
memecat maksiat dari nafsu syahwatnya
Lalu munajat dan
membulatkan taubat memohon ampunanMu
Tuhanku
Kupuasakan nafasku
di Hari Arafah ini
Detak jantungku
bersenandung
Tangis taubat
meratap-ratap mencari ampunanMu
Merayakan banjir air
mata mengharap ridlaMu
Tuhanku
Kukepal tawakkalku
Kudedah pasrahku
Kubulatkan iman dan
cintaku
Semata hanya padaMu
Terimalah!
Aamiin
Gus Nas Jogja, 19
Juli 2021
9 Dzulhijjah 1442
Hijrah
MATAHARI ARAFAH
Matahari Arafah
memancarkan rindu
Mendidihkan doa pada
wukufku
Bertemu dua nabi di
sini
Kutuangkan madu
dalam secangkir susu
Perjamuan para
perindu
Talbiyah cinta
kuikrarkan dalam partitur doaku
Kucium tangan lembut
Nabi Ibrahim
Kukecup mesra jemari
Nabi Ismail selembut sutera
Wukufku menjelma
pesta penghuni surga
Matahari Arafah
menafkahi jiwaku
Sinar keindahan bagi
para pencari
Suluh cahaya bagi
iman di dada
Bertikar ranting
pelepah kurma
Bersajadah pasir
beratap mega
Kusujudkan wajahku
dalam kilau Cahaya
Tega atau tidak tega
Telah kupastikan
dalam tekadku
Telah kuniatkan
dengan iman merindu
Esok pagi akan
kusembelih nafsu kebinatangan itu
Bukan kambing hitam
yang akan kukorbankan
Tapi domba paling
putih di kehidupanku
Labbaik Allahumma
Labbaik
Labbaika La syarika
Lak
Aku datang padaMu
Memenuhi panggilanMu
Terimalah!
Gus Nas Jogja, 19
Juli 2021
DARI POJOK DEPOK
Dari pojok Depok
kuintip Indonesia
Suara sunyi menjamah
hati
Aku melihat jutaan
jaket kuning bergerak
Menyanyikan lagu
Bagimu Negeri
Apa yang telah
kaubawa dari Salemba
Selain nyala?
Api kemanusiaan dan
kedaulatan
Bagi Ibu Pertiwi!
Ijinkan aku
merindukan wajahmu yang dulu
Kampus perjuangan
untuk kesehatan dan vaksin
Opleiding van eleves
voor de genees-en helkunde en vaccine
Kampus kebangsaan
bagi kedaulatan
Indonesia kini dan
nanti
Veritas! Probitas!
Lustitia!
Begitulah kredo yang
lantang bergema di degub jantungku
Kebenaran!
Kejujuran! Keadilan!
Itulah jalan terjal
berliku
dimana kita menuju
Dari pojok Depok
kusaksikan Jakarta
Lalu-lalang para
pialang
Kasak-kusuk para
pemabuk
Tarian poco-poco
para calo
Di kota yang dulu
bernama Batavia itu
Konon katanya
berkibar-kibar para makelar
Comberan kotor para
koruptor
Tempat transaksi
siasat korupsi
Sekelam itukah
langit metropolitan Indonesia?
Kusebut UI sebagai
palang pintu
Bagi kemerdekaan
yang digadaikan pada kekuasaan
Bagi kecerdasan yang
dipenjara oleh birokrasi
Bagi kejujuran yang
dirantai oleh jabatan
Kulihat langit pekat
di atas ubun-ubun Jakarta
La Nina dan El Nino
merayakan pesta
Pemanasan Global dan
Perubahan Iklim
Menyalakan api di
cakrawala
Di pojok Depok
kugantungkan bait-bait sajakku
Kucari lubang kunci
untuk masa depan Ibu Pertiwi
Akankah kutemukan
sawah-ladang kemakmuran
Tempat menanam padi
dan kapas kesejahteraan itu?
Derai gerimis di
Kebun Raya Bogor
Menyirami kemarau di
rumah rindu
Pohon-pohon tua dan
bunga teratai
Menyanyikan orkestra
dalam bait puisiku
Dari pojok Depok
kulihat Indonesia Raya
Jaket kuning yang
tak boleh luntur
Walau usia kian
menua
Meski senja telah
merona
Gus Nas Jogja, 17
Juli 2021
LUKISAN HUJAN
Kepada Gus Mus
Jika kegelapan itu
milikku
Baiklah!
Dengan kuas
cahaya
Pada kanfas ratap
doa
Akan kulukis
hujan
Dalam banjir
bandang
Dosa-dosaku
Telah lama aku
_tersesat_
Di tebing terjal
_makrifat_
Pada jalan lurus
mendaki
Menuju Rindu Hakiki
Memetik Ridla Ilahi
Jika tetap tak ada
peluk
Hingga usai sisa
usiaku melapuk
Kuputuskan untuk
menunduk
Agar cinta terkubur
sejuk
Agar jiwa berkalang
takluk
Melukis hujan adalah
amsal sesalku
Agar kucuran rahmat
Telaga _shiratal
mustaqiem_
Mencuci sengkarut
masa laluku
Lidah cabang
bergincu tak tahu malu
Semoga yang
tersisa
Hanya warni-warni
surga
Yang tersia adalah
nafsu
Syahwat yang fana
Gus Nas Jogja, 17
Juni 2021
SECANGKIR KOPI
MENJELANG PROKLAMASI
Kepada Tan Malaka
Berapa didih akan
kau seduh pada kopi pahit di cangkir ini?
Diseduh, diseduh,
diseduh, mendidih!
Di joglo tua ini
kita berdebat dari pagi ke pagi tiada henti. Untuk sebuah negeri. Tentang
sepotong nurani. Soal janji kemerdekaan yang pantang dikhianati.
Terbentur.
Terbentur. Tafakur.
Siapa yang begitu
tega menjilat ludah sendiri? Siapa yang menghamburkan ribuan agitasi hanya
untuk dikhianati oleh dirinya sendiri?
Anak-anak revolusi
itu selalu didustai oleh propaganda dan mimpi
Bahkan demokrasi
telah dikremus dan dikremasi oleh oligarki
Tembok tebal dan
malam yang gelap telah menyemayamkan seluruh pertanyaanmu, Tuan Tan Malaka.
Tanpa nisan. Entah batu atau rindu. Semua berakhir kelam dan kelu.
Terbentur tapi tak
hancur. Terbentur tapi bersyukur. Terbentuk tanpa mengutuk. Inilah caramu
menziarahi kuburmu.
Dari tanah Minang
hingga tiba di bumi Jawa, berapa domba yang sanggup engkau gembala, Tuan Tan
Malaka?
Antara Bung Karno
dan Bung Hatta
Aku melihat
bayanganmu menari
Madilog menggaris
langit dan cakrawala
Menjadi kiri memang
butuh nyali, jika ke kanan penuh pengkhianatan. Benarkah, Tuan?
Terbentur. Terbelah.
Terbakar. Terkubur.
Secangkir kopi telah
kau hidangkan menjelang hari proklamasi. Sesudah itu sepi menyelimuti, tanpa
nisan, tanpa mimpi.
Hanya kopi yang
masih mendidih di cangkir sunyi. Selamat jalan, Tuan Tan Malaka!
Gus Nas Jogja,
menjelang Proklamasi 2021
AKULAH PENCURI KAIN
KAFAN ITU
Saat Pandemi tak
kunjung henti
Dalam dingin cinta
yang meratap dengan degil doa
Akulah pencuri kain
kafan itu!
Ayat-ayat telah lama
sekarat
Doa demi doa seakan
binasa
Kemanusiaan yang
sudah sekarat dan menanti ajalnya
Hanya kain kafan
kusam yang sanggup membungkus takaburku
Dunia yang rusak
oleh tamak dan budi pekerti yang koyak-moyak tanpa makna
Kepada siapa
kupersembahkan bunga rampai dosa-dosa ini?
Iman yang telah
lasak oleh gelak-tawa pemuka agama?
Kucuri kain kafan
usang para Nabi
Sebab selimut dunia
hanya penuh basa-basi
Tidur tanpa mimpi
dan nyenyak yang terus dikhianati
Inikah basa-basi
budi pekerti yang penuh tata-tertib tapi miskin tata-krama ini?
Dan agama ini,
tarekat ini, cinta ini, sudah begitu lama kukafani
Untuk kujadikan
sayap menuju Jalan Kembali
Gus Nas Jogja, 21
Juli 2021
Tentang Penulis
H.M. NASRUDDIN ANSHORIY CH. atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dan lainnya.
Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.
Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI; menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.