Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Puisi

Puisi-puisi H.M. Nasruddin Anshoriy Ch.

Admin by Admin
20 November 2022
0
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter

 

LEBARAN HAJI

 

Lebaran Haji tahun
ini seperti cawan jatuh

Pecahan kaca
berserak di bulan Juli

Menyembelih cinta
dalam sisa nafasku

 

Jejak Talbiyah dan
jerit takbir

Menderu dalam sunyi
takdirku

Pengorbananku adalah
keimananku 

 

Tak cukup hanya
domba paling putih saja

Untuk kukorbankan di
musim pandemi ini

Saat sanak-saudara
satu persatu pergi

Ketika kawan-kawan
seiring seperjalanan sudah mendahului

Keimananku dan
pengorbananku

 

Tuhanku

KebesaranMu mendedah
resah

Melukis keikhlasan
di lorong sunyi kesabaranku

Sebab kelahiran dan
kematian 

Ada di genggamanMu

 

Kuziarahi kapak
Ibrahim di bulan haji ini

Sudahkan berhala
ketakutan ini kutebas dengan pedang imanku? 

Sudahkah pedang
tajam ini kuayunkan pada leher takaburku? 

 

Lebaran haji tahun
ini menjadi labirin kerinduanku

Pandemi memendam
lebam dalam dukaku

 

Tuhanku

Tanamkan Tauhid Nabi
Ibrahim di sawah-ladang kalbuku

Takbir dan salam
Nabi Ismail dalam helai nafasku

Iman dan ilmu Nabi
Ishak yang mengakar di belukar nalarku

Agar Talbiyah
Cinta
yang kutakbirkan di rongga dada ini tepat waktu di pintu
rumahMu 

 

Gus Nas Jogja, 19
Juli 2021





DOA DI PADANG ARAFAH

 

Tuhanku

Wukufku mewakafkan
rindu

Terik Padang Arafah
ini menyalakan suluh 

Membakar angkuh
selingkuhku

 

Wajahku tengadah

Berharap cipratan
cahaya

Dari api cintaMu

Matahari ketakwaan

Matahari kesabaran

Matahari hidayah

Serta sebelas
matahari dalam mimpi Nabi Yusuf

Menjadi sinar
talbiyah menembus ubun-ubunku

 

Padang Arafah ini
telah menjadi kafan jiwa-ragaku

Semesta bertakbir
mengubur takaburku

 

Hari ini kupuasakan
puisiku

Menjadi tamu Sang
Maha Rindu

Membuat syairku
mendadak bisu

 

Di Padang
Arafah 

Doa-doaku membeku
seputih salju

Iman yang
penghabisan

Pada Dzat yang
melangitkan sukmaku

Pada Dzat yang
membumikan sujudku

 

Inikah jawaban
teka-teki di surga itu

Saat para malaikat
bertanya

Bagaimana bisa
manusia dipercaya menjadi penggembala

Menjadi khalifah di
muka bumi

 

Manusia yang suka
membuat kerusakan 

Menusia yang tega
menumpahkan darah

Manusia yang terus
jumawa dan mewariskan residu

 

Di Padang
Arafah 

Tak ada ranting yang
patah 

Tak ada darah yang
tumpah 

Semesta mengucap
talbiyah

Doa seluruh dunia
meneroka cinta

Menyenarai
kesembuhan manusia dan bumi yang kian cedera 

 

Tuhanku

Berjuta tangan Nabi
Ibrahim mengayunkan pedang cintanya 

Menyembelih perih
dan remuk redam nestapa jiwa 

 

Manusia yang
berselimut hasud dan dengki

Manusia yang
bermahkota taring serigala 

Sudah saatnya
memecat maksiat dari nafsu syahwatnya

Lalu munajat dan
membulatkan taubat memohon ampunanMu

 

Tuhanku

Kupuasakan nafasku
di Hari Arafah ini 

Detak jantungku
bersenandung

Tangis taubat
meratap-ratap mencari ampunanMu

Merayakan banjir air
mata mengharap ridlaMu

 

Tuhanku

Kukepal tawakkalku

Kudedah pasrahku

Kubulatkan iman dan
cintaku

Semata hanya padaMu

Terimalah! 

 

Aamiin 

 

Gus Nas Jogja, 19
Juli 2021

9 Dzulhijjah 1442
Hijrah

 




MATAHARI ARAFAH

 

Matahari Arafah
memancarkan rindu

Mendidihkan doa pada
wukufku

 

Bertemu dua nabi di
sini

Kutuangkan madu
dalam secangkir susu

Perjamuan para
perindu

Talbiyah cinta
kuikrarkan dalam partitur doaku

 

Kucium tangan lembut
Nabi Ibrahim 

Kukecup mesra jemari
Nabi Ismail selembut sutera

Wukufku menjelma
pesta penghuni surga

 

Matahari Arafah
menafkahi jiwaku

Sinar keindahan bagi
para pencari

Suluh cahaya bagi
iman di dada

 

Bertikar ranting
pelepah kurma

Bersajadah pasir
beratap mega 

Kusujudkan wajahku
dalam kilau Cahaya 

 

Tega atau tidak tega

Telah kupastikan
dalam tekadku

Telah kuniatkan
dengan iman merindu

Esok pagi akan
kusembelih nafsu kebinatangan itu

 

Bukan kambing hitam
yang akan kukorbankan

Tapi domba paling
putih di kehidupanku

 

Labbaik Allahumma
Labbaik

Labbaika La syarika
Lak

Aku datang padaMu

Memenuhi panggilanMu

Terimalah! 

 

Gus Nas Jogja, 19
Juli 2021

 




DARI POJOK DEPOK

 

Dari pojok Depok
kuintip Indonesia 

Suara sunyi menjamah
hati

Aku melihat jutaan
jaket kuning bergerak

Menyanyikan lagu
Bagimu Negeri 

 

Apa yang telah
kaubawa dari Salemba 

Selain nyala?

Api kemanusiaan dan
kedaulatan 

Bagi Ibu Pertiwi!

 

Ijinkan aku
merindukan wajahmu yang dulu

Kampus perjuangan
untuk kesehatan dan vaksin

Opleiding van eleves
voor de genees-en helkunde en vaccine

Kampus kebangsaan
bagi kedaulatan 

Indonesia kini dan
nanti

 

Veritas! Probitas!
Lustitia!

Begitulah kredo yang
lantang bergema di degub jantungku

Kebenaran!
Kejujuran! Keadilan!

Itulah jalan terjal
berliku 

dimana kita menuju

 

Dari pojok Depok
kusaksikan Jakarta

Lalu-lalang para
pialang

Kasak-kusuk para
pemabuk

Tarian poco-poco
para calo

 

Di kota yang dulu
bernama Batavia itu

Konon katanya
berkibar-kibar para makelar 

Comberan kotor para
koruptor

Tempat transaksi
siasat korupsi

Sekelam itukah
langit metropolitan Indonesia?

 

Kusebut UI sebagai
palang pintu 

Bagi kemerdekaan
yang digadaikan pada kekuasaan

Bagi kecerdasan yang
dipenjara oleh birokrasi

Bagi kejujuran yang
dirantai oleh jabatan

 

Kulihat langit pekat
di atas ubun-ubun Jakarta 

La Nina dan El Nino
merayakan pesta

Pemanasan Global dan
Perubahan Iklim

Menyalakan api di
cakrawala 

 

Di pojok Depok
kugantungkan bait-bait sajakku

Kucari lubang kunci
untuk masa depan Ibu Pertiwi 

Akankah kutemukan
sawah-ladang kemakmuran 

Tempat menanam padi
dan kapas kesejahteraan itu?

 

Derai gerimis di
Kebun Raya Bogor

Menyirami kemarau di
rumah rindu

Pohon-pohon tua dan
bunga teratai

Menyanyikan orkestra
dalam bait puisiku

 

Dari pojok Depok
kulihat Indonesia Raya

Jaket kuning yang
tak boleh luntur 

Walau usia kian
menua

Meski senja telah
merona

 

Gus Nas Jogja, 17
Juli 2021





LUKISAN HUJAN

Kepada Gus Mus

 

Jika kegelapan itu
milikku

Baiklah!

Dengan kuas
cahaya 

Pada kanfas ratap
doa

Akan kulukis
hujan 

Dalam banjir
bandang 

Dosa-dosaku

 

Telah lama aku
_tersesat_

Di tebing terjal
_makrifat_

Pada jalan lurus
mendaki

Menuju Rindu Hakiki

Memetik Ridla Ilahi

 

Jika tetap tak ada
peluk

Hingga usai sisa
usiaku melapuk

Kuputuskan untuk
menunduk

Agar cinta terkubur
sejuk

Agar jiwa berkalang
takluk

 

Melukis hujan adalah
amsal sesalku

Agar kucuran rahmat

Telaga _shiratal
mustaqiem_

Mencuci sengkarut
masa laluku

Lidah cabang
bergincu tak tahu malu

 

Semoga yang
tersisa 

Hanya warni-warni
surga

Yang tersia adalah
nafsu 

Syahwat yang fana

 

Gus Nas Jogja, 17
Juni 2021

 




SECANGKIR KOPI
MENJELANG PROKLAMASI

Kepada Tan Malaka

 

Berapa didih akan
kau seduh pada kopi pahit di cangkir ini? 

Diseduh, diseduh,
diseduh, mendidih!

Di joglo tua ini
kita berdebat dari pagi ke pagi tiada henti. Untuk sebuah negeri. Tentang
sepotong nurani. Soal janji kemerdekaan yang pantang dikhianati.

Terbentur.
Terbentur. Tafakur.

Siapa yang begitu
tega menjilat ludah sendiri? Siapa yang menghamburkan ribuan agitasi hanya
untuk dikhianati oleh dirinya sendiri?

Anak-anak revolusi
itu selalu didustai oleh propaganda dan mimpi

Bahkan demokrasi
telah dikremus dan dikremasi oleh oligarki

Tembok tebal dan
malam yang gelap telah menyemayamkan seluruh pertanyaanmu, Tuan Tan Malaka.
Tanpa nisan. Entah batu atau rindu. Semua berakhir kelam dan kelu. 

Terbentur tapi tak
hancur. Terbentur tapi bersyukur. Terbentuk tanpa mengutuk. Inilah caramu
menziarahi kuburmu. 

Dari tanah Minang
hingga tiba di bumi Jawa, berapa domba yang sanggup engkau gembala, Tuan Tan
Malaka?

Antara Bung Karno
dan Bung Hatta

Aku melihat
bayanganmu menari

Madilog menggaris
langit dan cakrawala

Menjadi kiri memang
butuh nyali, jika ke kanan penuh pengkhianatan. Benarkah, Tuan?

Terbentur. Terbelah.
Terbakar. Terkubur. 

Secangkir kopi telah
kau hidangkan menjelang hari proklamasi. Sesudah itu sepi menyelimuti, tanpa
nisan, tanpa mimpi.

Hanya kopi yang
masih mendidih di cangkir sunyi. Selamat jalan, Tuan Tan Malaka! 

 

Gus Nas Jogja,
menjelang Proklamasi 2021

 




AKULAH PENCURI KAIN
KAFAN ITU

 

Saat Pandemi tak
kunjung henti 

Dalam dingin cinta
yang meratap dengan degil doa

Akulah pencuri kain
kafan itu!

 

Ayat-ayat telah lama
sekarat 

Doa demi doa seakan
binasa

Kemanusiaan yang
sudah sekarat dan menanti ajalnya

Hanya kain kafan
kusam yang sanggup membungkus takaburku

 

Dunia yang rusak
oleh tamak dan budi pekerti yang koyak-moyak tanpa makna

Kepada siapa
kupersembahkan bunga rampai dosa-dosa ini?

Iman yang telah
lasak oleh gelak-tawa pemuka agama?

 

Kucuri kain kafan
usang para Nabi 

Sebab selimut dunia
hanya penuh basa-basi

Tidur tanpa mimpi
dan nyenyak yang terus dikhianati 

 

Inikah basa-basi
budi pekerti yang penuh tata-tertib tapi miskin tata-krama ini? 

 

Dan agama ini,
tarekat ini, cinta ini, sudah begitu lama kukafani 

Untuk kujadikan
sayap menuju Jalan Kembali 

 

Gus Nas Jogja, 21
Juli 2021

 

Tentang Penulis


H.M. NASRUDDIN ANSHORIY CH. atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dan lainnya.

 

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

 

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI; menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In