LEMBUT
JARI-JEMARIMU
kurengkuh dalam
dada. wahai, cahaya.
lembut
jari-jemarimu. seluruhnya.
biar detak usia
pun sampai.
ke dalam ronggamu jua.
kalau pun ini
baris-baris terakhir.
baca dan terimalah
bagi perjumpaan
yang kelak
terlahir. karena diri takkuasa lagi.
engkaulah cahaya
yang berasal
dari tujuh api
suci. cahaya.
kurengkuh pendarmu
dalam dada.
ketika ruang dan
waktu susut.
diam-diam. sebuah
kota pun terbayang.
dalam bingkai
kabut. sebuah persinggahan.
serupa dermaga
menjelang surga.
kita pun
berangkulan.
berbagi dingin di
luar cuaca.
SERUPA
APA AKU
di pantai laut
merah,
kita pun pejalan
yang menemu arah.
empat penjuru mata
angin.
menyatu dalam
kehendak.
gemercik ombak dan
hangat pasir.
menyapa hidup
dalam desir.
membawa cinta.
dari
penghujung
cakrawala.
di laut tenang
dengan kecil ombak.
jiwa berenang
seturut kehendak.
di laut tenang
berkerudung awan.
kita pun bangkit
menolak tenggelam
(itu dulu, Ma.
setahun lalu. ketika
kamu di sisiku
ada. kini, engkau lebih tahu.
serupa apa aku)
ENGKAU
PUN ENGKAU
Kampus Qujing
Normal University,
suatu
hari.
kaujabat pagi
musim semi.
bersama matahari
yang menyela-nyela
lumut danau.
bersama termometer yang
mencatat suhu
sekian derajat. bersama
gigil daun dan
hati yang ngungun.
engkau pun engkau.
pejalan larut yang
pantang surut.
menenun kenangan
demi kenangan.
hari-hari perjalanan.
membangun tenda
hunian. orang usiran.
tanah seberang.
engkau pun engkau. sebiji
puisi risau.
takkunjung selesai dituliskan.
DUA
SERIGALA
ada dua serigala
yang selalu berlaga
dalam diri. cinta
dan benci. pemenang
ialah yang
terbanyak kauberi.
“itu bagi leluhur
kita,” katamu
dengan keyakinan
sempurna.
“dalam hati kita
memang ada
dua serigala,”
lanjutmu.
tapi mereka tidak
pernah berlaga.
mereka bersahabat
dan saling
memberi makna.
kesetiaan dan cinta.
kesabaran dan cinta.
berangkulan
memperkokoh jiwa.
walau dalam dua
jagat berbeda.
tapal batas antara
tidur dan jaga.
adalah jembatan yang
menautkan
keduanya.
HIJAU
HIDUPMU
sepasang batu.
bersanding di dua
jari.
hijau hidupmu.
bersama matahari
pagi.
sepasang batu.
bersanding
di telapak tangan
kiri.
lumutan hidupku.
sejak engkau pergi
dan aku sendiri.
SESOBEK
TIKET
aku tahu bukan
engkau yang menyobek tiket perjalanan di sisa hari-hariku.
walau lipatan
kertas kecil itu terselip di sakuku. terminal dan jam berangkat sudah ditera di
sana. juga nomor kursi dan terminal terhenti.
tapi bukan
terminal penghabisan.
cuma sebuah
persinggahan.
bayangmu
berkelebat.
nyelinap di
kaca jendela.
bisik suaramu
samar terdengar.
di sela roda
berputar di jalanan datar.
“Tuhan suka jika
sabar.”
aku paham. memang
bukan engkau
yang menyobek
tiket hidupkku.
juga bukan aku
yang menyobek tiket hidupmu.
GADUH
SUNYI MENJELANG PAGI
“700 hari lagi
kita ke sini lagi,”
bisikmu sebelum
puisi.
sehabis menabur
jagung
buat beribu
burung.
di bawah jam
gadang.
lalu lengang.
serupa hidupku.
kini. belum lagi
100 hari.
engkau ketuk
gerbang malam.
memenuhi
panggilan.
sisanya cuma
gumam.
antara jaga dan
tidur.
tanganmu terulur.
lalu salam.
di relung malam.
gaduh sunyi.
menjelang pagi.
aku sendiri.
AROMA
REMPAH
putri cina. tidak
seperti tercatat dalam babad.
juga dalam sejumlah
serat. ia tinggi semampai.
harum tubuhnya
ngingatkan harum rempah
selesai dituai.
merah bibirnya bukan pulasan
stik lipstik.
tapi serupa warna
batu khas negaraku.
merah raflesia
khas bengkulu. atau agak
serupa dengan
merah borneo.
ah, semuanya tak
seindah kesederhanaanmu.
tawa yang renyah.
bersama ruap napas
aroma rempah.
DITIMBUN
HARI-HARI
engkau pun
sekeping
gending yang beku.
ketika nalarku
mengeja notasi.
cepat lambat
irama.
tinggi rendah
suara.
ketukan dan
tekanan.
aku pun kehilangan
gema.
nada-nada membeku.
sejak kautak ada.
aku pun sendiri.
ditimbun
hari-hari.
BEKAL
SEHELAI KAFAN
hidupku
bertalu-talu sepanjang waktu.
syairnya kinanthi
mider ing rat.
di tengahnya
kumandang gendang
malam garap
kalang-kinantang.
lalu jerit rebab.
ditingkah gemongtang gambang. nasibku terpetakan dengan gamblang.
kini dalam
orkestra tanpa dirigen di depan.
sejak engkau
nyelinap di balik awan.
jika pun tuhan
mengizinkan,
rasanya ingin
segera kususul dengan
bekal sehelai
kafan.
Tentang
Penulis
SUMINTO A. SAYUTI lahir di Kabupaten Purbalingga, Jawa
Tengah, 26 Oktober 1956. Pada dekade 1970-an saat tergabung dengan komunitas Persada
Studi Klub Yogyakarta, namanya tidak pernah absen dalam forum-forum
diskusi sastra maupun pementasan-pementasan puisi dan teater. Di kalangan
seniman Yogyakarta, Suminto dikenal sebagai pemuda “bengal” yang tidak pernah
puas dengan ilmu yang didapat. Proses kreatifnya dimulai dari kegemarannya
membaca dan menulis sejak kecil. Semakin tersihir oleh dunia sastra sejak masuk
Yogyakarta sekitar 1974. Sejak bergabung dengan komunitas Malioboro, mulailah
ia “menancapkan kukunya” di dunia
sastra. Penulis yang Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY) ini, juga menggeluti seni karawitan dan
menggagas serta pengurus Masyarakat Karawitan Jawa. Ratusan karya lahir
darinya, baik berupa makalah, diktat, buku, kumpulan puisi, cerpen, esai
sastra, dan sebagainya.
Daftar
ini hanya memuat sebagian karya Suminto A. Sayuti :
- Kumpulan Sajak Malam Tamansari
- Resepsi Sastra
- Intertekstualitas: Pemandu Pengkajian
Sastra - Ensiklopedia Sastra Indonesia
- Evaluasi Teks Sastra
(2000, terjemahan The Evaluation of
Literary Texts karya Rien T. Segers) - Semerbak Sajak
(2000) - Berkenalan dengan Prosa Fiksi
(2000) - Berkenalan dengan Puisi
(2002)
Penghargaan
:
- Kedaulatan
Rakyat Award, Bidang Kebudayaan (2005) - Anugerah
Sastra Yayasan Sastra Yogyakarta (2014)