Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Puisi

Puisi Ilham Rabbani

Admin by Admin
1 Juli 2024
0
Puisi Ilham Rabbani
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter

Candu dan
Gudang-Gudang 

yang Turut
Hilang di Tanjungkarang
[1]

: Mads
Lange, 1838-1839

 

“Di langit
Lombok

kita sama:
hati-hati membaca

garis-gelagat
nasib

bakal
runcing dan selancip,

sudut
bulan sabit–

sebab pada
siang, dua matahari

telah
bertabrakan di cakrawala:

kita
memandang

gugur
Gowa-Sumbawa

di arah
timur sana; dan dari likat barat

Klungkung-Karangasem

mengulurkan
lengan cahaya

dalam
kelimpungan.”

 

1.

Telah kita lalui

abad-abad yang gelap-pengap.

Lalu setelahnya, tanganmu leluasa

merangkul candu

yang berlabuh

dari negeri jauh.

 

Pintu gudangmu perlahan terbuka

(setamsil peti tanpa kunci)

menjejakkan mata orang-orang Eropa

pada sabana rempah,

beras-sutra-emas-kapas,

kacang hijau, dan juga kilau

timah hitam.

 

2.

Telah pula kita saksikan:

puputan demi puputan–semisal–

darah Ida lawan Cokorda

turut mengental

dalam ingatanmu.

Riuh keresahan,

terus bergema dari jauh–

ia lamat-lamat

jadi makin dekat.

 

Tetapi apa yang bisa dilakukan

lambat kapal pada luas laut

ketika di darat perang pecah,

dan api-api merambati

tiap yang bersekutu

dengan kayu?

 

Segalanya–

benda-benda yang kita sebut berharga–

telah gagal menumpang

pada palka kapal arah Cina-Singapura

atau Mauritius di nun sana.

 

Di matamu, gelap pun jadi penuh;

gemintang serupa harapan, kecil, teramat kecil

di atas gelar kelam

yang telak purna.

 

3.

Gudang-gudang pun

telah terbakar di Tanjungkarang:

kau mencium aroma rempah

(pada kusam sayap asap)

yang saling sulam

dengan udara malam.

 

“Dan pada
Bali, cuma ke arah Bali,

kau
memandang lahan lapang

tempat
mendirikan gudang, harapan–

pula
melelang candu–

yang turut
hilang,

di tubuh
Tanjungkarang.”

 

Praya-Yogya,
2021-2022



 

 

Setelah
Kapal-kapal 

Bergerak
ke Ampenan
[2]

: Lombok, XIX—XX

 

“Kau
hanya tahu: tak ada

yang
dibentangkan lengkung langit

selain
cuaca buruk jelang penghabisan;

lalu
jauh, jauh sekali, juga tak ada

yang
didirikan oleh daratan

selain
aral melintang

dan
sisa-sisa detak

pelabuhan
di Kayangan—

kapal-kapal pun

bergerak ke Ampenan.”

 

Di
sini, kau (masih) coba membaca

juga
menerabas kabut, sembari

hati-hati
menjejaki tanah

yang
mengerut.

 

Kau
hanya tahu—dan seterusnya—

kau
hanya tahu: sebelum meriam

dan
gelombang makin mendesak kita

ke
pedalaman, aroma tinta

dan
kata-kata leluasa bersanggama

di
antara amis ikan arah Gowa

dan
Sumbawa.

 

Riuh
di barat

telah
menahan angin

sampai
pada kita: para nakhoda

menghapus
satu nama dari peta—

perang
melecut di darat,

lalu
di Kayangan, lalu di Kayangan,

geladak
kapal tua, pelan-pelan

karam-menyentuh
karang.

 

“Kau hanya tahu: kapal-kapal pun

bergerak ke Ampenan, kapal-kapal pun

menghapus kita

dari peta.”

 

Praya-Yogya, 2020-2021

 


 

Siasat di
Atas Gelombang

: Lombok,
Belanda, Bali-Mataram, 1894

 

1.
Glosarium Pelaku

Di
Kayangan,

yang asali

adalah kami: para pelaku

yang
diterpa angin,

diempaskan
musim

ke
pedalaman.

 

Dan jelang
abad peralihan,

di
sejengkal selat:

mesiu
telah kau cegat,

lalu duka,
berjalan dengan perlahan

ke pintu
puri mereka.

 

2.
Peta Perjanjian

Mulailah kami terbata,

membaca peta di langit gulita:

o, rasi bintang yang rumit,

kami tahu, kami tahu, kata “licik”

tak pernah ditemukan

dalam kamus peperangan.

 

Pada udara malam,

telah lama kami dapati:

aroma maut yang menyengat,

dan kalut dari rekat

jari-jari mereka.

 

Tetapi gerak

kaki-kaki kami—

di atas siasat yang masai-gontai—

memang tak pernah sampai

di garis terdalam

jantung Mataram:

kami surut, kami kembali,

mendapati pintu yang terlepas;

mendapati sisa tumit mereka,

di atas debu

dan tangis

para ibu.

 

Maka kami kirimkan peluru,

dari arah Barat
yang lain—

sembari menebak gelagat angin:

kami sadari, kami sadari,

sejak semula kami tak cekat

bermain siasat,

di atas gelombang

dan lambung kapal.

 

3.
Laut: Perhentian Mesiu-mesiu

Engkau menahan angin

dari tegar layar,

mengeraskan getar-gelombang,

sembari merenangkan

bayang-bayang maut

pada permukaan laut:

dan mesiu-mesiu itu,

bertemu perhentian

tepat pada palung

harapan Anak Agung.

 

Engkau mencipta tanya—

bagi mereka, bagi mereka—

yang hanya sampai pada

dinding Puri Cakra:

“Ke manakah

senjata berlabuh—

sementara perjanjian

tentang kongsi perang,

masih belum mengabur

dari kusut kertas kuning,

dari bening warna angin?”

 

Engkau beri jawaban,

lewat mata seribu serdadu:

antara pelesir nyawa

dan kelam pendaratan,

di atas pasir Ampenan.

Tetapi lagi-lagi,

dan tetapi lagi-lagi,

senantiasa ada

yang disembunyikan malam—

selembar tirai gelap itu—

dari suratan yang sembarang ditebar,

dari suratan yang sembarang ditabur.

 

4.
Setelah Kematian van Ham

Engkau menggantung mendung

di langit September—

yang hampir—berkabung itu.

 

Di antara cuaca penuh peluru,

ukiran luka, dan garam di udara,

mereka pun saling sikut

dengan lengan maut—

pada puputan itu, mungkin

gentar pun mengental,

di ulu lambung kami.

 

Dan setelahnya,

dan setelahnya, rupanya

kami tetap terbata:

membaca arah angin

di lentang lautan,

membaca rasi bintang, di atas

gugus gunung-gunung.

 

“Akankah kapal-kapal,

kembali
bergerak ke Kayangan?

Akankah
malam malah memanjang,

setelah
pertempuran penghabisan—

setelah
pertempuran yang makin

mendentangkan
gamang

dan sekian
kegoyahan?
”

 

Praya-Yogya,
2020-2021

 



 

Pejanggik, XVII

: Pemban
Mas Komala Kusuma

 

Telah
ia cium kekalahan:

seribu
senjata menyusur selat

dan
kematian seperti mekar, tepat

di
lebar selasar September.

 

Ia
tanam dendam

seperti
benih pepohonan—

Gawah
Purwa, tanah yang piatu itu—

di
garis terakhir

pertahanan.

 

“Seperti menyimak

dari jarak terdekat:

maut kian karib, ketika suara

menjejakkan diri

pada larik-larik babad.”

 

Ia
mungkin menghitung

getir
dan luka, pada lepas

napas
pemungkas:

tetapi
takkan ada

hitungan
yang tuntas—

baginya,
baginya—

setelah
mata, kehilangan

cara-cara
mengeja

bahasa
semesta.

 

Telah
ia cium kekalahan,

kali
keduanya:

ketika
seribu senjata

menyusur
selat,

dan
penaklukan panjang

berjalan
perlahan—

amat
perlahan—

seperti
pergerakan kapal-kapal

yang
kehilangan layar

dan
para

nakhodanya.

 

Lombok, 2020-2021

 

 

 

Tentang
Penulis

Ilham Rabbani, lahir di Lombok Tengah, 9 September 1996. Aktif
mengelola komunitas sastra Jejak Imaji di Yogyakarta. Selain pernah mendapatkan
penghargaan, tulisan-tulisannya juga terbit di beberapa bunga rampai dan media
massa, baik cetak maupun daring (Koran
Tempo
, Lombok Post, Koran Sindo, Merapi, Minggu Pagi, Basabasi.co, Bacapetra.co, Beritabaru.co,
Sastramedia.com, Dialektikareview.org, Kibul.in,
Jejakimaji.com, SKSP-Literary.com, Cerano.id,
Haripuisi.com, Lensasastra.id, Omong-omong.com,
Mata Budaya, Kreativa, dan lain-lain).
Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
dan Magister Sastra, Universitas Gadjah Mada (UGM). Telah menerbitkan buku
kumpulan esai Perihal Sastra &
Tangkapan Mata
(2021) dan buku kajian Sastra,
Kedaruratan, Pahlawan
(2022). Dapat dihubungi via akun Instagram
@_ilhamrabbani atau surel
ilhamrabbani505@gmail.com


[1] Puisi peraih Juara I dalam Lomba
Cipta Puisi (Kategori Mahasiswa/Umum) Bulan Bahasa Universitas Gadjah Mada
(UGM) 2022.

[2] Puisi peraih Juara I dalam Festival
Cipta Puisi Nasional Fun Bahasa 2021. Telah dimuat sebelumnya di laman Funbahasa.com dan buku antologi puisi Setelah Kapal-Kapal Bergerak Ke Ampenan (Insan
Paripurna, 2021). 

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In