Candu dan
Gudang-Gudang
yang Turut
Hilang di Tanjungkarang[1]
: Mads
Lange, 1838-1839
“Di langit
Lombok
kita sama:
hati-hati membaca
garis-gelagat
nasib
bakal
runcing dan selancip,
sudut
bulan sabit–
sebab pada
siang, dua matahari
telah
bertabrakan di cakrawala:
kita
memandang
gugur
Gowa-Sumbawa
di arah
timur sana; dan dari likat barat
Klungkung-Karangasem
mengulurkan
lengan cahaya
dalam
kelimpungan.”
1.
Telah kita lalui
abad-abad yang gelap-pengap.
Lalu setelahnya, tanganmu leluasa
merangkul candu
yang berlabuh
dari negeri jauh.
Pintu gudangmu perlahan terbuka
(setamsil peti tanpa kunci)
menjejakkan mata orang-orang Eropa
pada sabana rempah,
beras-sutra-emas-kapas,
kacang hijau, dan juga kilau
timah hitam.
2.
Telah pula kita saksikan:
puputan demi puputan–semisal–
darah Ida lawan Cokorda
turut mengental
dalam ingatanmu.
Riuh keresahan,
terus bergema dari jauh–
ia lamat-lamat
jadi makin dekat.
Tetapi apa yang bisa dilakukan
lambat kapal pada luas laut
ketika di darat perang pecah,
dan api-api merambati
tiap yang bersekutu
dengan kayu?
Segalanya–
benda-benda yang kita sebut berharga–
telah gagal menumpang
pada palka kapal arah Cina-Singapura
atau Mauritius di nun sana.
Di matamu, gelap pun jadi penuh;
gemintang serupa harapan, kecil, teramat kecil
di atas gelar kelam
yang telak purna.
3.
Gudang-gudang pun
telah terbakar di Tanjungkarang:
kau mencium aroma rempah
(pada kusam sayap asap)
yang saling sulam
dengan udara malam.
“Dan pada
Bali, cuma ke arah Bali,
kau
memandang lahan lapang
tempat
mendirikan gudang, harapan–
pula
melelang candu–
yang turut
hilang,
di tubuh
Tanjungkarang.”
Praya-Yogya,
2021-2022
Setelah
Kapal-kapal
Bergerak
ke Ampenan[2]
: Lombok, XIX—XX
“Kau
hanya tahu: tak ada
yang
dibentangkan lengkung langit
selain
cuaca buruk jelang penghabisan;
lalu
jauh, jauh sekali, juga tak ada
yang
didirikan oleh daratan
selain
aral melintang
dan
sisa-sisa detak
pelabuhan
di Kayangan—
kapal-kapal pun
bergerak ke Ampenan.”
Di
sini, kau (masih) coba membaca
juga
menerabas kabut, sembari
hati-hati
menjejaki tanah
yang
mengerut.
Kau
hanya tahu—dan seterusnya—
kau
hanya tahu: sebelum meriam
dan
gelombang makin mendesak kita
ke
pedalaman, aroma tinta
dan
kata-kata leluasa bersanggama
di
antara amis ikan arah Gowa
dan
Sumbawa.
Riuh
di barat
telah
menahan angin
sampai
pada kita: para nakhoda
menghapus
satu nama dari peta—
perang
melecut di darat,
lalu
di Kayangan, lalu di Kayangan,
geladak
kapal tua, pelan-pelan
karam-menyentuh
karang.
“Kau hanya tahu: kapal-kapal pun
bergerak ke Ampenan, kapal-kapal pun
menghapus kita
dari peta.”
Praya-Yogya, 2020-2021
Siasat di
Atas Gelombang
: Lombok,
Belanda, Bali-Mataram, 1894
1.
Glosarium Pelaku
Di
Kayangan,
yang asali
adalah kami: para pelaku
yang
diterpa angin,
diempaskan
musim
ke
pedalaman.
Dan jelang
abad peralihan,
di
sejengkal selat:
mesiu
telah kau cegat,
lalu duka,
berjalan dengan perlahan
ke pintu
puri mereka.
2.
Peta Perjanjian
Mulailah kami terbata,
membaca peta di langit gulita:
o, rasi bintang yang rumit,
kami tahu, kami tahu, kata “licik”
tak pernah ditemukan
dalam kamus peperangan.
Pada udara malam,
telah lama kami dapati:
aroma maut yang menyengat,
dan kalut dari rekat
jari-jari mereka.
Tetapi gerak
kaki-kaki kami—
di atas siasat yang masai-gontai—
memang tak pernah sampai
di garis terdalam
jantung Mataram:
kami surut, kami kembali,
mendapati pintu yang terlepas;
mendapati sisa tumit mereka,
di atas debu
dan tangis
para ibu.
Maka kami kirimkan peluru,
dari arah Barat
yang lain—
sembari menebak gelagat angin:
kami sadari, kami sadari,
sejak semula kami tak cekat
bermain siasat,
di atas gelombang
dan lambung kapal.
3.
Laut: Perhentian Mesiu-mesiu
Engkau menahan angin
dari tegar layar,
mengeraskan getar-gelombang,
sembari merenangkan
bayang-bayang maut
pada permukaan laut:
dan mesiu-mesiu itu,
bertemu perhentian
tepat pada palung
harapan Anak Agung.
Engkau mencipta tanya—
bagi mereka, bagi mereka—
yang hanya sampai pada
dinding Puri Cakra:
“Ke manakah
senjata berlabuh—
sementara perjanjian
tentang kongsi perang,
masih belum mengabur
dari kusut kertas kuning,
dari bening warna angin?”
Engkau beri jawaban,
lewat mata seribu serdadu:
antara pelesir nyawa
dan kelam pendaratan,
di atas pasir Ampenan.
Tetapi lagi-lagi,
dan tetapi lagi-lagi,
senantiasa ada
yang disembunyikan malam—
selembar tirai gelap itu—
dari suratan yang sembarang ditebar,
dari suratan yang sembarang ditabur.
4.
Setelah Kematian van Ham
Engkau menggantung mendung
di langit September—
yang hampir—berkabung itu.
Di antara cuaca penuh peluru,
ukiran luka, dan garam di udara,
mereka pun saling sikut
dengan lengan maut—
pada puputan itu, mungkin
gentar pun mengental,
di ulu lambung kami.
Dan setelahnya,
dan setelahnya, rupanya
kami tetap terbata:
membaca arah angin
di lentang lautan,
membaca rasi bintang, di atas
gugus gunung-gunung.
“Akankah kapal-kapal,
kembali
bergerak ke Kayangan?
Akankah
malam malah memanjang,
setelah
pertempuran penghabisan—
setelah
pertempuran yang makin
mendentangkan
gamang
dan sekian
kegoyahan?”
Praya-Yogya,
2020-2021
Pejanggik, XVII
: Pemban
Mas Komala Kusuma
Telah
ia cium kekalahan:
seribu
senjata menyusur selat
dan
kematian seperti mekar, tepat
di
lebar selasar September.
Ia
tanam dendam
seperti
benih pepohonan—
Gawah
Purwa, tanah yang piatu itu—
di
garis terakhir
pertahanan.
“Seperti menyimak
dari jarak terdekat:
maut kian karib, ketika suara
menjejakkan diri
pada larik-larik babad.”
Ia
mungkin menghitung
getir
dan luka, pada lepas
napas
pemungkas:
tetapi
takkan ada
hitungan
yang tuntas—
baginya,
baginya—
setelah
mata, kehilangan
cara-cara
mengeja
bahasa
semesta.
Telah
ia cium kekalahan,
kali
keduanya:
ketika
seribu senjata
menyusur
selat,
dan
penaklukan panjang
berjalan
perlahan—
amat
perlahan—
seperti
pergerakan kapal-kapal
yang
kehilangan layar
dan
para
nakhodanya.
Lombok, 2020-2021
Tentang
Penulis
mengelola komunitas sastra Jejak Imaji di Yogyakarta. Selain pernah mendapatkan
penghargaan, tulisan-tulisannya juga terbit di beberapa bunga rampai dan media
massa, baik cetak maupun daring (Koran
Tempo, Lombok Post, Koran Sindo, Merapi, Minggu Pagi, Basabasi.co, Bacapetra.co, Beritabaru.co,
Sastramedia.com, Dialektikareview.org, Kibul.in,
Jejakimaji.com, SKSP-Literary.com, Cerano.id,
Haripuisi.com, Lensasastra.id, Omong-omong.com,
Mata Budaya, Kreativa, dan lain-lain).
Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
dan Magister Sastra, Universitas Gadjah Mada (UGM). Telah menerbitkan buku
kumpulan esai Perihal Sastra &
Tangkapan Mata (2021) dan buku kajian Sastra,
Kedaruratan, Pahlawan (2022). Dapat dihubungi via akun Instagram
@_ilhamrabbani atau surel ilhamrabbani505@gmail.com
[1] Puisi peraih Juara I dalam Lomba
Cipta Puisi (Kategori Mahasiswa/Umum) Bulan Bahasa Universitas Gadjah Mada
(UGM) 2022.
[2] Puisi peraih Juara I dalam Festival
Cipta Puisi Nasional Fun Bahasa 2021. Telah dimuat sebelumnya di laman Funbahasa.com dan buku antologi puisi Setelah Kapal-Kapal Bergerak Ke Ampenan (Insan
Paripurna, 2021).