PEGEMBARAAN MATAHARI SEBUTIR PASIR, MEMBACA
PUISI-PUISI REKKI ZAKKIA
Tahun 2013. Saya baru mengenal secara
pribadi kawan Rekki Zakia justru setelah nyaris hampir 15 tahun berselang dari
persinggungan momen lomba penulisan puisi remaja nasional yang diadakan majalah
Horison. Puisi Rekki Zakia menjadi juara ke 2, sementara puisi saya menempati
posisi juara harapan paling bontot, nyaris tanpa harapan. Perkenalan kami justru
tidak di jogja, kota yang sama dimana kami berproses bergulat menulis. Beberapa
kawan dalam lingkaran pertemanan kami ternyata banyak yang sama. Sungguh sebuah
perkenalan yang menginfus spirit kepenyairan kepada saya yang ketika itu mati
suri, tahun 2010-2013 saya hampir tidak menghasilkan karya puisi.
Rekki Zakia, sosok gagah tinggi dengan
rambut hitam selalu tergerai di punggung. Seorang perokok, ramah, supel, tampak
pendiam, tapi tidak pula sungkan untuk melontarkan pendapat dan menyela perbincangan.
Gambaran ini saya kumpulkan kembali ketika saya menghadapi puisi-puisi Rekki,
utamanya yang termuat dalam buku puisi Matahari
Sebutir Pasir (penerbit Gambang, 2018).
Sosok Rekki Zakia, gambaran penyair. Selintas pikiran saya menyentuh gambaran
Chairil dengan pose wajah miring dan rokok terselip di bibir. Sebentar kemudian
terlintas gambaran aksi Sutardji dengan rambut awut-awutan tampak berteriak di
sebuah panggung dengan bir di salah satu sisinya. Membuka secara selintas buku
puisi karya Penyair Rekki Zakia kita temukan nama-nama: May Hawa, Dina
Oktaviani, Putri Fitria, Anna Funfgeld, Krisnaningsih, Faisal Kamandobat, Timur
Angin, Dewi Rosiana, Andhi Maghadon, Agus Malma, Rika Eryanti Novitasari,
Furqon Kamilin, Wartawan Udin, Emha Ainun Nadjib, Widji Thukul. Sejumlah nama,
sekian pertemuan, sekian bukti keterlibatan, bukti persaksian.
Menulis puisi adalah panggilan hidup
bagi Rekki Zakia. Dalam Penutup Ia mengutip Saini K.M., salah seorang guru dari
banyak penyair yang berproses melalui “pertemuan kecil” harian Pikiran Rakyat,
“Kepenyairan lebih berdasar pada Panggilan!” Demikian, puisi-puisi Rekki adalah
buah dari ‘berkeliaran kesana-kemari’, buah pergulatan hidup merebut diri dari
rayu, kepalsuan, dan gempuran kenyataan-kenyataan. Puisi-puisi awalnya
menampakkan ikhtiar penyair menemukan diri. Puisi Aku adalah Debu, salah sebuah puisi indah dalam buku ini, puisi ini
pula yang meraih juara 2 sayembara menulis puisi nasional yang saya singgung di
atas, memperlihatkan kepiawaian penyair dalam menentukan diksi dan mengolah
‘ledakan puisi’ menjadi kekhusyukan.
Aku adalah debu
yang terpelanting pada ranting-ranting
kusalami aneka dedaunan
kutanya pada satwa yang gelisah
kuketuk rumah-rumah burung
mencari alamat Sulaiman
yang mengaji sepanjang musim
Aku adalah lumpur
yang terbawa arus pada batu dan lumutan
bersama air di setiap kali
kusalami pasir dan cadas atau tumpukan
sampah
yang mengigil
kuketuk pintu rumah-rumah ikan
mencari bermukimnya Khidir
yang mengaji sepanjang arus
Aku adalah segumpal darah….
Pencarian jati diri adalah perjalanan
seorang anak manusia untuk menemukan makna hidup dalam kehidupan. Setiap
perjalanan pencarian jati diri seseorang tiada tertiru oleh orang lain. Sebuah
perjalanan yang tidak bisa sekali sampai, berkelok dan perih. Puisi-puisi awal
Rekki memperlihatkan kesungguhan menempuh perjalanan ini. Dalam puisi aku
adalah debu, tampak Rekki menempuh proses panjang ini dengan berulangkali
mengidentifikasi dirinya. Di bait pertama ia mengidentifikasi dirinya sebagai
debu. Di bait kedua, sebagai lumpur. Dan di bait ke tiga sebagai segumpal
darah. Debu dan lumpur sebagai citraan alam secara apik diangkat oleh penyair
untuk mengidentifikasi diri.
Pemilihan simbol ini tak berhenti begitu
saja, karena kemudian penyair mengambil citraan itu untuk mendekati dan
menyelami pencarian; penyair memandang Nabi Sulaiman dan Nabi Khidir sebagai juru
bicara dan guru kesejatian. Nabi Sulaiman kita tahu sebagai nabi yang mengatasi
ruang waktu, dalam puisi ini ditunjukkan dengan frase ‘Sulaiman yang mengaji
sepanjang musim’. Selain itu Nabi Sulaiman juga berkemampuan berbicara dengan
binatang, bergaul dengan kaum jin, dan mampu membaca tanda alam, hal mana
seyogyanya manusia lakukan dalam tafakkur untuk mengenali ayat-ayat Tuhan. Khidir,
terdapat silang pendapat apakah sosok ini seorang Nabi atau Auliya, yang pasti
ia telah menjadi guru dari seorang nabi utama, Khos, Musa a.s. Bukan main-main,
Tuhan sendiri yang memerintahkan Musa untuk mencari Khidir di muara pertemuan
dua arus. Kata Khidir bermakna hijau, sebuah lambang dari hidup. (Salah satu
tanda muara pertemuan dua arus tempat keberadaan Khidir adalah hidup kembalinya
ikan bekal Nabi Musa, lompat ke laut.) Literature-literature tasawuf kemudian
menceritakan jika Musa tidak mampu memahami tindakan makrifat dari Khidir yang
tampak menyalahi syariat. Khidir adalah guru para sufi, guru sejati. Demikian,
setelah mengidentifikasi dirinya sebagai debu dan lumpur, penyair menyatakan
ingin berguru kepada Sulaiman dan Khidir.
Pada bait ketiga, barulah penyair
mengidentifikasi dirinya sebagai manusia dengan mengambil symbol ‘segumpal
darah’. Frase segumpal darah tentunya mengingatkan kita kepada surah al ‘Alaq
dimana Tuhan memerintahkan manusia untuk membaca, membaca dengan asma Tuhan
yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Tampaknya penyair, yang
insyaf akan kehidupan di ‘bumi yang pecah
dan langit yang robek’, ingin kembali kepada kodrat fitrah dan tujuan
penciptaan manusia. Meski pencarian jati diri belumlah usai, penyair tetap
mengimani Tuhan. Ia berseru, ‘Kugenggam
akidah ini dengan tangan yang teramat letih’.
Penyair sekali lagi menidentifikasi
dirinya di bait ke empat, “Aku adalah
debu dan segumpal darah/ yang menyatu jadi lumpur/ bersama angin dan air yang
bergelandangan/ sepanjang musim sepanjang musim sepanjang arus/ untuk mencari
alamat-Mu”. Sekali lagi penyair memilih diksi yang tampaknya secara
referensial dapat kita temukan padanannya dalam kitab suci. Kata ‘lumpur’ atau
tanah liat dalam Al Quran menjadi pengingat manusia akan asal-usulnya. Bait ke
empat menegaskan pencarian jati diri penyair sebagai penelusuran asal-usul
hidup dan pencarian Sang Pencipta Tuhan.
Sekali lagi, pencarian jati diri adalah pengembaraan
besar mencari makna hidup yang tidak bisa sekali jalan. Penyair intens
menjalani perjalanan ruhani. Penyair berulang kali berbagi penghayatannya dalam
perjalanan ini. Puisi-puisi lain kurang lebih menegaskan hal senada, misal
dalam puisi Bila Aku adalah Tanah,
puisi Bila Aku adalah Air, puisi Bila Aku adalah Api, puisi Bila Aku adalah Angin, dan juga dalam
puisi Matahari sebutir Pasir. Dalam puisi-puisi yang tersebut belakangan pun
penyair mengekspresikan pengalaman spiritualnya dalam mencari jati diri. Dalam
puisi Matahari sebutir Pasir penyair
mendaku, “Aku Cuma sebutir pasir terbakar
dalam pengembaraan besar…”. Meski selintas tampak semacam pesimisme,
namun menggembirakan bahwa terdapat banyak kata-kata aktif bernada positif
dalam puisi-puisi jati diri penyair. Dalam puisi Aku adalah Debu misalnya, kita
menemukan kata: kusalami, kutanya, kuketuk, kugenggam, mencari, mengaji,
menyimak.
Sedikit perbedaan dapat kita lihat antara
puisi Bila Aku adalah Tanah, puisi Bila Aku adalah Air, puisi Bila Aku adalah Api, puisi Bila Aku adalah Angin, dengan dua puisi
lain, yakni puisi Aku adalah Debu dan
puisi Matahari sebutir Pasir. Pada
lima puisi pertama penyair masih menggunakan majas perumpamaan dengan
menggunakan kata “bila”, sedangkan pada dua puisi terakhir penyair lebih berani
mengidentifikasi dirinya. Aku adalah debu,
serunya. Meski tidak segarang Chairil Anwar yang mendaku “aku ini binatang
jalang”, tampak juga pengaruh Chairil dalam perpuisian Rekki.
Penyair Rekki Zakia terus belajar
memaknai kehidupan. Sepanjang terbaca dari puisi-puisinya, penyair tidak hanya belajar
dalam ruang formal. Ia juga menemukan makna hidup di tengah keriuhan dan dalam kesunyian.
Apakah saya berlebihan jika membayangkan kalau seorang penyair, tentu saja
insan biasa, lebih memilih kesunyian ketimbang kegaduhan, dan mengambil sudut khas
berjarak dari kenyataan? Barangkali ia ingin mendengarkan suara lain, suara
hati nurani, yang telah tertimbun kepalsuan hidup. Penyair berseru: Aku belajar pada kesunyian / berguru pada
sepi /tentang kasih sayang / dalam rahasia bilik tua / bernaung pohonan purba.(puisi Belajar pada Kesunyian)
Penggalian makna hidup, pencarian jati
diri juga membawa penyair kepada ‘kematian’. Makna hidup lebih sempurna ketika
bersenyawa dengan makna kematian. Sedari dini, puisi-puisi awal Rekki Zakia
telah menggali tema kematian. Penyair berseru dalam puisi Bila aku adalah Angin, “Bila
aku adalah angin/satu-satu kupungut huruf-huruf-Mu… agar menjaga nafas ini sampai kelak istirah pada halaman ridha
dalam kitab-Mu.” Dalam puisi Matahari sebutir Pasir penyair ‘menghitung dan terus menghitung abad/ berapa
usia ini/ lupa di mana alamat rumah/
segunduk tanah merah yang kurindukan/ tempatku terkubur’.
Kita membaca puisi-puisi bertemakan khusus kematian pada puisi Rest in Pain dan puisi Kamboja, puisi-puisi yang ditulis pada
periode awal.
Penyair tidak hanya menulis tema
pencarian diri, tapi juga menulis tema cinta dan sosial. Puisi-puisi cinta
Rekki amatlah intim, romantic, membara dan perih. Namun sayang saya merasa
kelewat tua untuk membacanya. Warna lain puisi Rekki adalah puisi sosial.
Penyair telah terlibat langsung dalam pergerakan sejak masih duduk di bangku SMA. Puisi-puisi sosial
Rekki menunjukkan keberpihakan pendirian dan sikap kritisnya. Rekki,
sebagaimana Rendra, menginsyafi kekuatan puisi sebagai media untuk penyampai
(pesan) protes atas ketidakadilan. Kita menemukan hal ini dalam puisi Mereka yang Hilang, Pengemis-pengemis Besar,
atau puisi Tragedi Oktober Hitam
(tidak termuat dalam buku ini) yang menggugat tragedi kematian 133 suporter
sehabis pertandingan sepak bola
di Stadion Kanjuruhan Malang.
Menulis adalah vocation, demikian menurut Simone De Beauvoir (esai Perempuan dan Kreativitas, dalam Hidup Matinya Sang Pengarang, YOI, tahun
2000), jawaban terhadap suatu panggilan jiwa, dan terhadap suatu panggilan yang
terdengar sejak awal dalam kehidupan seseorang. Agaknya hal ini pula yang
dilakoni Rekki dengan menulis puisi. Puisi bukan hanya ekspresi, bukan hanya
catatan dari pengembaraan besar, tetapi juga jawaban dan solusi (untuk berdamai
dengan) problema kehidupan yang dialaminya. Seakan menguatkan hal ini, Seno
Gumira Ajidarma pernah berujar (dalam pengantar buku Renungan Kloset, Rieke Diah Pitaloka, Gramedia Pustaka Utama, tahun
2003), setiap kali ada orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur,
karena kalau toh ia tidak berhasil menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia
telah menyelamatkan jiwanya sendiri. Kita membaca lengkap tuturan jujur Rekki
dalam puisi berjudul Puisi:
Puisi
Suatu kali,
Puisi pernah
menyelamatkan hidup dan jiwaku.
Baik dari keinginan
bunuh diri, kesepian yang mencekam maupun kedukaan serta patah hati yang
mendalam.
Terima kasih, puisi.
Puisi-puisi dalam Matahari sebutir Pasir
adalah puisi-puisi yang terselamatkan. Penyair hidup nomaden wira-wiri mengaku
tidak tekun dalam soal dokumentasi. Rekki Zakkia telah menulis sejak SMA, dan setelah fase
“Matahari Sebutir Pasir” Rekki Zakkia masih istiqomah menulis. Kepenyairan
adalah soal panggilan, tulis Rekki dalam catatan penutup Matahari Sebutir Pasir,
seakan mengamini pendapat Simone De Beauvoir tadi. Mungkin, karena itulah puisi-puisinya tulus,
natural, tiada kesan dibuat-buat, diksi-diksinya bernyawa. Dalam puisi Seribu Tahun Lagi yang diperuntukkan
bagi kawannya Faisal Kamandobat, Rekki menyampaikan keyakinannya akan kekuatan
puisi. Bahwa nyawa-nyawa puisi mampu mengepak
sayap/ menuju wajah dingin matahari / (meski) dengan sayap patah kata-kata /mengirimkan
getar halus ke semesta.
Kita
tutup bersama pembacaan sederhana atas puisi-puisi Rekki Zakkia dengan larik
terakhir Puisi sekali lagi: Terima kasih,
puisi.
Muntilan, 2020/2022
Agus
Manaji, tinggal di Muntilan Magelang, tapi bekerja di Kota
Yogyakarta. lahir pada 16 Maret 1979. kumpulan puisi tunggalnya Seperti Malam-malam Februari, penerbit
Interlude, th 2018. Artikel ilmiahnya dimuat di Jurnal WING Kota Yogyakarta,
Jurnal COPE. Dalam bidang sastra, puisi-puisinya dimuat dalam majalah Horison, www.basabasi.co, www.beritabaru.co, www.sastramedia.com, Jurnal Puisi, Koran Kedaulatan Rakyat, koran
Suara Merdeka, Koran BERNAS, Koran Jurnal Nasional, Koran Seputar Indonesia,
Tabloid Manajemen Qolbu, Majalah Annida, Tabloid SPICE, Majalah Sabili, Majalah
Karima, Jurnal Pawon, Majalah Muslimah, Jurnal BENI. Era awal 2000 an puisinya
dimuat www.cybersastra.net, www.bumimanusia.or.id, www.puisi.net
Mengikuti Festival Sastra Yogyakarta, Joglitfest, tahun 2019. Esainya
pernah termuat di majalah BASIS, www.langgar.co, www.sastraSKSP-literary.com, www.sastramedia.com, www.nongkrong.co, buku Kata Terpilih Kita Menjadi, Jagad Puisi,
Cerpen dan Esai Pilihan Sastramedia 2021-2022, buku Merenda Kata Mendulang Makna (balai Bahasa Jawa Tengah, th 2019), Nunggak Semi, Dunia Iman Budhi Santosa
(2021), 7 Jejak Guru (2020), Majalah Sabili.
Puisinya termuat dalam buku antologi komunal: Jejak waktu (2022),
Nurel, Sastrawan Kembara (2022) Plengkung (2021), Taman di Seberang Ingatan (komunitas Sastra Magelang, 2020), Sang Acarya (komunitas KKK, th 2021) GREGAH, antologi puisi dan geguritan
Festival JOGLITFEST tahun 2019 (festival sastra yogyakarta tahun 2019), Cermin Waktu, serial Pendapa #25 (taman
Budaya Jawa Tengah, tahun 2019), Pesisiran,
serial Dari Negeri Poci jilid 9 (Komunitas Dari Negeri Poci & Komunitas
Raja Kecil, tahun 2019), Kota Terbayang,
Retrospeksi 50 Tahun Kepenyairan Jogja (Tahun 2017, Taman Budaya Yogyakarta),
Lintang Panjer Wengi Di Langit Jogja
(tahun 2014), Dialog, Setahun Diskusi
Puisi Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasumantri (PKKH) UGM (Tahun 2013), Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern
(penyunting Korie Layun Rampan, penerbit Galang, 2013), Kilometer Nol (2013), Negeri
Awan, serial Dari Negeri Poci jilid 7 (Komunitas Dari Negeri Poci &
Komunitas Raja Kecil th 2017), Yogya
Halaman Indonesia jilid II (Studio Pertunjukan sastra, th 2018), Lirik Lereng Merapi (FKY Kabupaten
Sleman, th 2001), Filantropi ( FKY,
2001), Dian Sastro For Presiden #2
Reloaded (2003), Herbarium
(2007), Yogya, 5,9 SR (penerbit
Bentang Pustaka dan Komunitas sastra Indonesia, 2006), 142 Penyair Menuju Bulan (Komunitas Studi Sastra Banjar Baru).
Sedikit riwayat prestasi: Puisinya Sajak
Gelisah Buat Kekasih meraih juara pertama Lomba Cipta Puisi dalam rangka
Milad ke XX Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tahun 2001. Puisinya Prolog Badai Kering meraih juara Harapan
dalam sayembara Penulisan Puisi Remaja tahun 1997, penyelenggara Majalah Sastra
Horison, Puisinya Diwan Batu-Batu
terpilih sebagai salah satu finalis dalam Lomba Cipta Puisi Indosat tahun 2010,
dan Esainya “Menyelusuri Aspek-aspek
Sufistik Puisi Abdul Hadi WM dalam Madura, Luang Prabhang” meraih juara
kedua dalam Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) yang diadakan oleh pusat
perbukuan kemdikbud dan Majalah Horison, tahun 2010. Sebiji Esainya menjadi
salah satu nominator esai pilihan www.sastramedia.com tahun 2022
ini.
Hanya penyair local saja, karena Profilnya tidak ada dalam buku Apa
Siapa Penyair Indonesia. Profilnya cuma
termuat dalam buku Direktori Seniman dan Sastrawan Yogyakarta (terbitan
Dinas Kebudayaan Yogyakarta, th 2020).
Media social FB: Agus Bukulawas Menkmenk dan IG= Man_Aji.
Bacaan:
Matahari
Sebutir Pasir, Rekki Zakkia, Penerbit Gambang, 2018
www.basabasi.co edisi 8 November 2022