Kepada sebuah golok dan kaos oblong setengah usang, Mak
Rohmah menggantungkan hidupnya. Ada pada selainnya—pada belarak-belarak yang berguguran dari pohon- pohon kelapa di belakang
rumahnya. Pohon-pohon kelapa itu milik Pak Mamat—
saudagar kelapa yang baik nan dermawan. Saking dermawannya, selalu
mempersilakan Mak Rohmah untuk mengambil belarak-belarak yang berguguran itu, terserah mau diapakan. Terkadang saat panen, Mak Rohmah kebagian satu atau
dua biji kelapa muda atau tua.
Oleh
Mak Rohmah, belarak-belarak itu bakal disulapnya jadi sapu lidi untuk dijajakan saban hari ke kampung-kampung. Harga satuannya tiga ribu rupiah.
Kalau beli dua jadi lima
ribu rupiah. Memang seperti itu. Tidak banyak yang diharapkan dari berjualan di kampung. Tidak ada
perhitungan soal laba-rugi karena yang terpenting dagangannya laku, barang satu.
Tiap
habis salat subuh, wanita paruh baya
itu sudah mulai bekerja di pintu belakang
rumahnya—memisahkan bagian daun kering dari lidinya—sambil menyenandungkan salawat Nariyah atau salawat Jibril.
Hari ini ia harus menjual
setidaknya lima buah sapu
lidi agar tungkunya berasap.
Dengan begitu, tetangganya bisa berhenti merendahkan Ipan, anaknya yang lama tidak
pulang dari tanah rantau.
Di
rumah yang lebih mirip gubuk ini, ia selalu merasa kesepian. Suaminya wafat setahun sebelum anaknya memutuskan pergi
merantau. Dulu suaminya itu pelaut, selalu
ikut berlayar dengan kapal-kapal besar milik para saudagar dari negeri seberang.
Sedangkan anak satu-satunya itu tidak pernah pulang sejak pergi merantau.
Para tetangga sering
menggibahkannya karena mirip dengan tokoh si Malin Kundang—anak durhaka yang ketika sudah sukses
tidak mau mengakui
ibu kandungnya.
“Si Ipan ini pasti generasi
penerus Malin Kundang.” “Ipan Kundang?
HAHAHA!”
Kalimat-kalimat seperti
itu yang paling sering didengar
Mak Rohmah tiap melintas sedang menjajakan sapu-sapunya. Sampai terbahak-bahak mereka.
Tidak bisakah mereka diam jika tidak membeli?
Namanya Khairul Irfan!
Sakit
sekali hati Mak Rohmah karena orang-orang seenaknya membubuhkan nama belakang anaknya dengan nama belakang
tokoh durhaka dalam cerita rakyat itu. Mak
Rohmah percaya anaknya tidak mungkin seperti itu. Dalam tiap salatnya, Mak Rohmah pernah mendengar Ipan berdoa untuk
dirinya sendiri, agar di masa depan tidak menjadi anak yang durhaka.
Satu
tahun, dua tahun, tiga tahun, sampai tahun ke tujuh, Mak Rohmah tak pernah berhenti berdoa, tidak pernah
berhenti menunggu kepulangan anak laki-lakinya
itu. Ia yakin—kelak pada suatu pagi, siang, sore atau malam—anaknya itu
pasti akan kembali pulang bersama dengan teman seperantauannya yang
sama-sama tak pernah pulang.
Baru
dapat seikat sapu lidi, seseorang datang mengetuk pintu depan rumahnya yang hanya tripleks
biasa itu.
“Ipan?!”
seru Mak Rohmah dengan mata berbinar-binar. Goloknya diletakkan sebentar, seraya bangkit berpegangan pada
bingkai pintu dan dengan langkah tergopoh- gopoh
mengahampiri pintu depan rumahnya. Kaos oblong yang menjadi alas pahanya tersampir di pundak. Kaos oblong terakhir
yang dikenakan anaknya sebelum pergi tujuh
tahun lalu.
“Anakku pulang…
anakku pulang….” Ia bersenandung gembira.
Hatinya berdenyut ngilu karena
bahagia yang tak tertahan, tak dapat disembunyikan. Ia selalu optimis
bahwa itu anaknya yang pulang tiap pintu rumahnya
diketuk.
“O-oh, Marni?”
sapanya pada gadis yang berdiri
di depan pintu
rumahnya. Senyumnya luntur
perlahan-lahan.
Gadis bernama
Marni itu mengangguk. Tangannya yang kuning langsat mengulurkan sepotong kertas. “Ada sembako
di rumah Pak RT, Mak. Ini kuponnya. Ditunggu hari ini sampai bakda isya.”
“Oh, ya… t-terima kasih,
Mar.”
Tidak
apa tidak pagi ini. Ada besok pagi, besok paginya lagi, sekalipun harus menunggu sehari sebelum kiamat
terjadi. Lalu, mereka akan mati bersama.
“Kang Ipan belum pulang,
Mak?” tanya gadis itu selalu.
Tiap berkunjung sekadar memberikan sepotong bolu kukus,
selalu tidak tinggal menanyakan anak laki- lakinya
itu. Satu-satunya orang yang selain dirinya—yang menunggu kepulangan Ipan. Mereka bersahabat sejak kecil, sangat
dekat. Mereka mungkin akan lebih dari sekadar
sahabat jika Ipan masih di sini.
Mak Rohmah menggeleng. Tersenyum
getir. “Belum.”
“Tidak apa, Mak. Pasti suatu hari nanti Kang Ipan pulang.” Mak Rohmah tersenyum.
“Pulanglah cepat, sebelum
ada yang melaporkanmu datang ke sini pada bapakmu,” suruh Mak Rohmah.
“Menyebalkannya orang-orang itu! Padahal
Marni ingin membantu
Mak buat sapu,” rajuknya.
“Pulanglah!” paksa Mak Rohmah
gemas. “Iya, aku pulang ya, Mak.” Wanita itu mengangguk. “Terima kasih kuponnya.”
“Iya, nanti disampaikan pada Kang Amir yang sudah menitipkan kuponnya,” balas Marni. Mak Rohmah
tersenyum.
“Terima kasih lagi, ya?”
“Sama-sama, Mak,” balas gadis itu tersenyum pula.
Sepeninggal gadis ayu itu, Mak Rohmah kembali
menemui belarak-belarak dan goloknya
di pintu belakang. Pukul 7 semua harus sudah siap, baik sapu lidinya, juga mentalnya, karena sepanjang
berkeliling untuk menjajakan sapu-sapunya nanti akan ada banyak para
pembenci dirinya juga anak laki-lakinya.
***
Mak Rohmah meletakkan dagangan sapu lidinya di pelataran rumah Pak RT
yang cukup ramai. Ibu-ibu
yang sudah mendapatkan sembako tidak langsung
bergegas pulang karena masih banyak urusan—mengurusi
urusan orang lain. Tentu juga mengurusi
hidup Mak Rohmah karena dari sejak kedatangannya, mereka mulai berbisik-bisik.
“Ada
Ibu si Malin.” Mereka tidak berniat berbisik-bisik, tapi berniat menambah rasa sakit di hatinya. Mulut mereka sudah
seperti naga yang mengeluarkan api. Yang kemarin
masih lebam, sekarang sudah ditambahkan saja lebam baru di hatinya.
“Terima
kasih, Bu RT,” ucap Mak Rohmah setelah mendapatkan bungkusan sembako
bagiannya.
“Sama-sama, Mak.”
Namun
syukurlah, setidaknya hari ini tungkunya berasap bukan karena mulut- mulut panas mereka. Beras, minyak, satu buah ikan kalengan, gula, dua butir telur,
dan tiga buah mi instan goreng dan kuah. Yang mi goreng merek ini kesukaan
Ipan.
Ya Raab, makan apa anakku di
perantauan? lirihnya sembari berjalan pulang. Hari sudah berangkat sore. Hanya dua dari
enam sapunya saja yang sudah laku. Ia mengantongi
lima ribu rupiah hari ini. Selain mengantongi selembar uang lima ribu rupiah,
ia juga banyak mengantongi kalimat-kalimat jahat orang-orang di tempat pembagian
sembako tadi.
“Siapa
tahu di perantauan dia makan enak, sedangkan ibunya nyaris makan batu kalau tidak ada sembako ini!”
“Ah, masa iya, Bu Wati?!”
“Ya, siapa yang tahu. Sudah berapa kali puasa berapa
kali lebaran tidak
pulang!”
“Iya
juga! Waktu itu si Febri baru masuk
SMP, sampai sekarang sudah kuliah semester
2 belum pulang juga. Bisa dibayangkan betapa makmurnya dia di perantauan sana.”
“Benar!
Kawannya, si Anwar, walaupun tidak pulang-pulang tapi selalu kirim uang untuk orang
tuanya.”
Selalu ada ketidakadilan hanya karena soal uang. Hanya anaknya yang direndahkan
di sini dengan asumsi mereka yang belum pasti benar. Demi Allah, Mak Rohmah hanya ingin anaknya pulang. Tidak
masalah sekalipun tidak selembar uang terselip di saku celananya.
***
Waktu dua sampai tiga tahun masih terasa kurang untukku.
Maksudku untuk kita. Tujuh tahun!
Tujuh tahun berlalu dengan begitu lambat, tapi tetap masih kurang. Bertahun- tahun harus merasa sakit karena rindu pada
kampung kelahiran. Namun rasa sakit itu tidak
sendirian, beriringan dengan rasa sakit karena rasa bersalah kepada kawanku
yang kini bertempat tinggal di tepi-tepi jalan besar yang ada
di kota ini.
Sejak
tahun pertama di perantauan ini, semua
sudah berjalan tidak baik-baik saja.
Kota ini sangat keras, lagi jahat untuk anak-anak rantau—khususnya untukku dan kawanku.
Di
tahun ke tujuh, bajunya masih tersusun rapi di lemari pakaian bagian paling atas. Aku selalu mengganti
kampernya jika sudah habis. Barangkali
dia pulang ke kontrakan, dan butuh untuk segera berganti pakaian karena sudah
lama tidak ganti.
Sekarang
aku menangis lagi. Beginilah aku saat libur bekerja. Menangis, di saat rekan-rekan kerjaku pergi berlibur sehari
dua hari di penginapan sekadar bakar-bakaran
ayam atau sosis. Memikirkan kampung kelahiran—Ibu, Ayah, dan adikku,
juga Mak Rohmah—yang entah bagaimana
kabarnya setelah tujuh tahun kepergiaan kami.
Di
sini kami masih hidup. Tapi, kami berpisah saat belum genap setahun di sini. Keadaan
begitu jahat memisahkan
kami dengan cara seperti ini. Dengan cara yang tidak senonoh dan mungkin tidak berterima jika keluarga kami di kampung halaman sana tahu apa yang sudah terjadi.
Apakah
aku harus menambah setahun lagi? Atau dua tahun?
Tiga? Empat? Lima? Pertanyaan yang
itu-itu saja tiap tahunnya. Namun di satu sisi aku khawatir. Apakah aku tidak akan keburu mengikuti
jejaknya jika terus-terusan begini? Beberapa
waktu belakang ini, aku mulai merasa diriku stres. Bisa tidak tidur
dalam beberapa hari dan mulai mendapat
surat peringatan dari atasan karena lalai saat bekerja.
Aku
menyudahi sesi overthinking ini
dengan hal yang lebih bermanfaat. Setelah menyambar
jaket, aku bergegas membuka lemari pakaian untuk mengemas satu buah celana dalam, celana pendek selutut,
satu kaos lengan pendek, dan sebuah topi barangkali
dia ingin sedikit bergaya. Selain itu, aku mengemas beberapa persediaan makanan yang masih tersisa: dua roti
bantal coklat srikaya, sebotol air, sekaleng kopi, sebungkus keripik kentang, dan sebungkus lagi keripik udang. Semuanya jadi satu
dalam totebag yang
kugantungkan di setang motor. Aku selalu melakukan ini karena percaya—tidak ada yang tidak mungkin di
dunia ini saat Sang Maha Pencipta sudah berkehendak.
Sejujurnya,
aku sama sekali tidak keberatan jika harus mengikuti jejak kawanku di jalanan. Mungkin itu akan bisa membuat
rasa bersalahku hilang dengan hilangnya seluruh
ingatan dan akalku. Aku tidak perlu lagi melihat wajah kecewa keluargaku dan Mak Rohmah, jika suatu saat aku pulang dan
menjelaskan semuanya. Tidak perlu merangkai
apa-apa untuk menjelaskan panjang lebar. Kami berdua bisa berbagi jalanan. Bergaul
dengan yang sesama kami tanpa perlu memikirkan apapun soal dunia yang sejak awal lebih mirip neraka.
Aku
mengendari motorku yang masih kreditan ini menyusuri jalan raya. Ah, lagi-lagi aku merasa bersalah.
Bisa-bisanya sudah bisa mengkredit motor sedangkan kawanku jalan kaki sepanjang hari—semoga tidak sepanjang
hidupnya—apalagi aku tidak bisa memboncengnya.
Kubawa
motorku pelan. Bukan karena takut akan turun mesin. Aku harus jeli. Terakhir
kali aku melihatnya di dekat-dekat halte daerah sini, sedang rebahan sambil bertelanjang dada seperti sedang di sauna.
Aku masih terus mengendarai motorku dengan pelan, melewati halte yang kosong.
Tapi, kemudian aku berhenti
karena melihat sosoknya melalui kaca spion sedang duduk di bagian belakang halte. Ia
terlihat sedang menggaruk-garuk rambutnya yang gimbal,
lalu mencium tangannya
sendiri yang bekas menggaruk kepalanya tadi.
“Sudah makan belum?” tanyaku
saat sudah berada di sampingnya. Dia menatapku tak
suka, lalu membuang muka. Dia kembali pada dunianya yang tidak bisa kuselami.
Kuambil beberapa
makanan dari totebag, menyodorkan ke depan wajahnya. Berharap dia mau menyambutnya. Sudah
beberapa hari ini dia tidak mau menerima makanan yang kubawa, bahkan menepisnya sambil
marah-marah.
“Makan!”
paksaku karena dia belum juga mau menerima, malah menatapku. Dia menggeleng berkali-kali, ketakutan. Aku
merutuki diriku karena sudah menaikkan nada bicara.
“Jangan! Pergi
orang jahat!”
“Orang jahat mana yang memberimu makan?! Ini aku, Pan! Kawanmu! Ayo pulang.
Aku tahu kau masih bisa sembuh!”
“PERGI
KAU BAJINGAN!!!” Dengan kakinya dia menendangku, membuatku terhuyung ke belakang. Rasanya aku ingin
mati saja daripada melihatnya hidup dengan keadaan seperti
ini.
***
Saking kejamnya perantauan, sampai menghajar mental kawanku. Tahun pertama di sini,
kami bekerja di sebuah tempat produksi makanan yang ternyata ilegal, di mana tempat produksi makanan itu berdiri
sendiri tanpa izin produksi karena menggunakan
bahan-bahan baku berbahaya. Kami diperas tenaganya. Tidak diperbolehkan
pulang, tidak digaji, dan hanya
diberi makan sekali. Kami dikurung di
dalam sebuah ruangan mirip losmen
dengan duapuluh orang pekerja lainnya. Setiap harinya, kami tidak hanya disiksa
fisiknya untuk terus bekerja, tetapi juga mendapat
kekerasan seksual, terutamanya Ipan. Dia mendapat
perlakuan yang paling buruk hingga mentalnya jatuh.
Dia mengamuk, menangis, dan tertawa yang membuat tempat pekerjaan itu
ricuh dan kami semua berakhir dibebaskan. Kami dibebaskan namun diperintah untuk tutup mulut.
Sedangkan Ipan sudah tak tertolong, lepas ke jalanan
begitu saja.
Meskipun
beberapa kali kulaporkan ke rumah sakit jiwa, dia tetap bisa kabur setelah
beberapa minggu ditangkap. Kembali lagi ke jalanan. Dia tidak mau disembuhkan
karena yang ada dalam pikiraannya tiap kali
pihak rumah sakit jiwa membawanya, ia merasa kembali
tertangkap oleh oknum-oknum jahat di tempat pekerjaan kami dulu. Akal sehatnya terlanjur
hilang.
Baiklah,
satu kali lagi aku berusaha. Aku melihatnya sudah mulai memakan satu buah roti bantal yang kuletakkan di
rerumputan bersama bawaanku yang lainnya. Ini
untuk yang kesekian kalinya aku menghubungi pihak rumah sakit jiwa kota
ini, lalu mengirim lokasi terkini
agar mereka segera datang untuk menangkap Ipan. Mereka pasti sudah
lelah karena menerima laporan dari orang yang sama.
Aku
hanya akan pulang ke kampung jika bersamanya. Ini upaya tanggungjawab sekaligus rasa terima kasihku karena dia
sudah banyak berbuat baik kepadaku. Dia banyak membelaku
di tempat pekerjaan
neraka itu, mengorbankan dirinya sendiri sampai menjadi seperti
ini.
“Ibu, tolong aku….” “Ibu,
aku rindu….”
Begitu
racauannya saat sedang merasa tenang sebelum gaduh kembali dengan jeritan dan pekikannya begitu pihak rumah
sakit jiwa tiba di tempat ini. Membawanya secara
paksa lagi meskipun ia terus menjerit dan meronta-ronta.
“Orang jahat!” makinya
kepadaku yang terakhir
kudengar. “ARGHHH,
LEPASKAN BAJINGAN!!!”