Saya pernah bekerja di dunia penyiaran selama kurang lebih tiga puluh tahun lamanya. Tugas dan tanggung jawab saya di dunia penyiaran adalah memproduksi program sebagai produser serta mengurus dan mengontrol siaran-siaran berbahasa untuk wilayah Asia Tenggara, Siaran Internasional, KBS (Korean Broadcasting System), satu-satunya badan penyiaran nasional Korea, sebagai chief producer. Karena saya adalah seorang produser dan berpartisipasi langsung dalam siaran bahasa Indonesia, suara saya setiap hari, dipancarkan melalui siaran gelombang pendek KBS Radio, Internet, radio FM lokal untuk wilayah Asia Tenggara, terutama untuk wilayah Indonesia.
Seperti ungkapan, “meskpun salju turun, atau hujan turun, tiga ratus enam puluh lima hari sepanjang tahun tanpa menghiraukan kondisi apapun”, suara saya berkunjung ke setiap tempat pendengar setiap hari, tak cepat atau tak lambat melalui waktu dan frekuensi yang ditentukan sesuai dengan jadwal siarannya. Melalui siaran, saya berusaha keras untuk menyampaikan “masyarakat Korea dan negara Korea hari ini yang sebenarnya” secara nyata dan tepat. Di sisi lain, saya melakukan persaingan tak terbatas dengan badan-badan penyiaran raksasa negara lain untuk melancarkan ‘perang frekuensi yang tak terlihat’. Perang frekuensi di mana yang lebih kuat menguasai dunianya, bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional. Oleh karena itu, selama tiga puluh tahun di dunia penyiaran, saya mencurahkan usaha saya sebagai pelopor untuk melindungi serta mengutamakan kepentingan nasioanl Korea Selatan.
Sehubungan dengan karir saya di dunia penyiaran yang tak begitu pendek, secara alamiah mengalami berbagai episode yang berkaitan dengan siaran. Banyak hal yang sudah terlupakan, tapi masih ada juga yang teringat seperti kemarin.
Episode pertama yang teringat adalah terkait dengan ayah angkat saya, almarhum Bapak Sudjarwo berlandaskan jalinan penyiarannya. Pada awal 1980-an, saya pernah tinggal di rumah beliau, jalan Radio Dalam, Kebayoran Baru, Jakarta selama tiga bulan. Bapak Sudjarwo, seorang senior, generasi pertama di dunia penyiaran Indonesia, pernah memegang jabatan kepala bagian pemberitaan pertama RRI, Radio Republik Indonesia. Almarhum Pak Sudjarwo lahir di Surabaya dan besar di Jombang. Keluarganya terdiri dari Ibu (orang Sunda), enam anak perempuan, dan satu anak laki-laki.
Sambil menginap di rumah beliau, saya mulai ikut latihan penyiaran di RRI. Di antara anak-anaknya, saya paling tua, secara otomatis saya mulai bertindak sebagai anak sulung di rumah itu. Ketika saya pergi keluar, beliau selalu bertanya secara teliti, siapa yang saya akan temui, jam berapa saya akan pulang rumah. Lama-lama, saya mendampingi ayah angkat, Pak Sudjarwo untuk menghadiri berbagai acara dan upacara keluarga besar beliau. Melalui kehadiran itu, saya mendapati pengalaman berharga di kehidupan orang Indonesia khususnya suku Jawa seperti sunatan, pernikahan, pemakaman, dan selamatan. Dan hampir setiap malam, ayah angkat saya mengajar huruf bahasa Jawa, aksiologi suku Jawa, agama Islam, dan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Saya dan ayah angkat saya hampir semalam suntuk berdiskusi segala hal secara mendalam dan luas. Puisi ayah angkat saya waktu itu dikirim kepada ayah saya di Korea untuk membuat lagu. Sayang sekali, note balok itu sudah hilang.
Adegan yang masih saya ingat adalah pada suatu hari waktu hujan, saya duduk di atas genteng untuk memperbaiki atap yang bocor. Tetangganya melihat saya sambil tertawa. Ibu Sudjarwo bilang, “ini anakku dari Korea Selatan”. Semuanya berbahak-bahak. Ibu angkat saya, hampir setiap kali waktu makan, tak lupa menyajikan lalapan, karena beliau orang Sunda. Lama-lama akhirnya saya mengeluh “Bu, saya bukan kambing”. Ibu Sudjarwo terbahak. Hampir setiap hari, saya dan adik-adik suka makan jajan. Waktu itu orang Jakarta suka makan jagung bakar. Kami juga begitu. Pada malam harinya, kami mendatangi kuburan umum, karena penjual jagung bakar ada di situ.
Hubungan antara saya dengan ayah angkat saya, Pak Sudjarwo, semakin mendalam, beliau nampaknya agak menyesal kenyataan bahwa saya sudah berkeluarga. Alamat e-mail yang saya pakai sekarang, yakni (soekiman@hanmail.net) adalah nama laki-laki Indonesia yang diberikan oleh ayah angkat saya, Bapak Sudjarwo. ‘Soe’ ambil dari nama saya sendiri, Young Soo, ‘Ki’ dari nama marga saya, Kim, dan ‘man’ berarti laki-laki dalam bahasa Indonesia. Waktu diberikan nama ‘Soekiman’, beliau mengatakan, pejabat-pejabat tinggi dan orang-orang terkenal di Indonesia ada banyak orang yang bernama ‘Soekiman’. Tapi, lama-lama saya tahu, ada juga tukang becak, namanya ‘Soekiman’.
Waktu saya pulang ke Korea setelah selesai latihan penyiaran di RRI, beliau mengantarkan saya ke lapangan terbang Halim Perdana Kusma. Sesaat sebelum berpisah, beliau mengatakan “Selamat jalan anandaku,” sambil bercucuran air mata. Saya juga sampaikan ucapan “Selamat tinggal ayahanda saya. Semoga tetap sehat walafiat,”
Ayah angkat saya, Bapak Sudjarwo telah beristirahat abadi di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kali Bata. Tahun lalu, November 2023, saya dan seorang teman saya berkesempatan ke Indonesia untuk mengadakan ceramah di perguruan tinggi di kota Bandung. Sebelum berangkat ke Bandung, saya menengok sebentar ibu angkat saya, Bu Sudjarwo yang sudah lanjut usia dan kondisi jasmaninya juga kurang baik. Beliau yang duduk di kursi roda, menyambut hangat saya dengan gaya keibuan, tetap ingat saya, anak sulung beliau. Dalam suasana terharu, saya memberikan salam hormat dengan membungkukkan badan saya, seperti gaya tradisional Korea. Setelah itu, kita bersama-sama ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kali Bata untuk bertemu dengan ayah saya tersayang, Almarhum Bapak Sudjarwo. //
RIWAYAT PENULIS
Prof. Kim, Young Soo, Ph.D. merupakan mantan Kepala Siaran Bahasa Indonesia, KBS World, KBS (Korean Broadcasting System), Korea Selatan. Dia menyelesaikan studi di Malay-Department of Hankuk University Studies (BA) Seoul, Korea, Graduate School of Indonesian’s Letter Hankuk University of Foreign Studies (MA), Seoul, Korea dan Graduate School of Literature in Hankuk University of Foreign Studies (Ph.D), Seoul, Korea.