KOTA KITA TEMARAM
masa silam yang hilang
yang bisa datang tiba-tiba berupa kota
tak ada keraguan menjadi jalan terjal
semua itu warna, rasa di kaki – di tangan
lorong kota serupa rambut dibelah dua,
tak sedikit memberikan kemustahilan, pertanyaannya bagai undangan pohonan taman yang remang,
batuk suka ditahan khawatir belalang lumut tembok meloncat
lalu hidupnya dimainkan si raja kelana
Kita punya warisan ilmu mengecilkan diri
namun tak punya warisan puisi bernyali
sebab leluhur besar sukanya ke matahari
Sampai mati aku disini, di tanah hening:
lampu temaram
jalan ke rumah terang
bayang menghilang
Padalarang, 28 Jan. 2022
TAK BANYAK BERCANDA
Tak banyak bercanda
sering gugup dibalas;
ingat kematian tertawa keras
Tak bisa menggoda
kerap dipermalukan keadaan;
senyap mendadak berubah ganas
Tak mau mencela
dimanapun jelek mulut – bau sampah
takut kena giliran direndahkan;
pencela dicabik cabik kegelapan
Tak banyak tertawa
hati bisa berkerak, lupa kematian
malakal maut menampakan garang
Saya kemas itu rumah, vihara, pura, masjid, kelenteng, gereja, balè bambu kabuyutan hasil keringat persaudaraan,
dimasukan ke aliran darah cinta
– ke dalam dada berbunga.
Lembut ke semua bangunan ritual, menjulang anggun di mata,
indah di kepala,
ruang baca akar budaya berdamai
di urat jiwa, betah membuat sejarah:
“Lestari, berkembanglah,
jayalah kalian di dalam.
Jika kalian hendak keluar,
minta restu padaku,
dan kerelaan sang Surya – kalian jadikan sandang papan. Tapi sebentar saja”.
Bangunan bangunan di dalam saya berkata, “Baik tuanku, namun kami tak suka bercanda, dan menjauhi menghina”
(Di tengah fatamorgana daun pun gelap)
Desa Jambudipa, 2 Februari 2023
LAHIR DI TANAH AIR
Luar biasa hidup di tanah airku,
terasa ia membesar di hati rindu
tumbuh sejengkal – sejengkal dalam bisu,
tak lekas layu di kelilingi musim berdebu,
Di semua waktu bisa menyerbu
para pemburu burung dari masa lalu
menjeratnya kini, dikurung sangkar lagu
di kampung leluhur – darahku menggebu,
Akar dan daun doyannya minum buah siuh; tanaman makan buah-buahan, luar biasa bukan!
Tak ada kepemilikan pribadi,
semua pinjaman, jalan atau duduk,
bening dan keruh, ujungnya bersimpuh,
doa yang malam-malamnya dibawa jauh
Gunung Bentang, 4 Maret 2023
MERJAN KEMULIAAN
dingin menyiksaku dalam balutan warna emas,
secangkir kopi hangat tak kuasa melenyapkan harapan yang bermuara di sungai rasa
hidup seperti lebatnya hutan larangan,
tanah batas yang digarap petani mulia,
tanah pinggir jalan yang luka sengketa:
Keduanya beda Tuhan, jumpalitan,
ini kenyataan mengundang iba:
Kesatunya mengandung kasih sayang,
Keduanya merangsang kutukan panjang.
“Stoplah jualan dogma! Kamu bahagia,
cakrawala kembali sehat bebas asap”
hangat menuntut bayaranku,
diluar membolak balikan cerita, jegal kebekuan
Kemudian malam lebih jelita ada awan,
senja runduk rendah hatinya dilamar doa
“Kamu tak perlu diam di patahan arang,
cukup ingat asal mula kelahiran,
jodoh dan kematian. Sungguh bijak bukan?”
Terima kasih pada peringatan,
tanda ada datar datar saja di suka maupun duka.
Penunggang buraq telah menjelma,
tentram perjalanan, serba syukuran
hadir untuk hiasan zaman:
terima perak
cahaya betah di jiwa
rumah mulia
Padalarang, 25 Maret 2021
RIWAYAT PENYAIR
Jang Sukmanbrata, lahir di Bandung, 17 Agustus 1964. Karya puisinya beragam genre: lirik, balada, tanka, haiku dan puisi eksperimental. Di buku antologi puisi Pesisiran & Rantau & Raja Kelana DNP; 2019 – 2020 dan th 2022 dan di beberapa buku antologi puisi kolektif. Sejumlah 30 haiku-nya dan puisinya di muat koran PosBali, NusaBali, KR Minggu Yogya, Pikiran Rakyat dll, di majalah-majalah budaya dan majalah2 NGO Indonesia dan Asia. Puluhan karya tanka dan haiku-nya di buku antologi Newhaiku, artikel, esai dan puisinya tersebar di Medcet, majalah digital dan medsos. Buku kumpulan puisi tunggalnya berjudul Merjan Kemuliaan terbit pada Agustus – September 2023. Kini tinggal di Padalarang Bandung Barat. Buku kumpulan puisinya; Merjan Kemuliaan terbit Agustus 2023.