MENANAM SESUATU DI PEKARANGANMU
Rembulan tak muncul di antara langit malam. Gelap benar angkasa saat itu. Burung gagak hitam terbang di atas atap-atap. Lebih tepatnya di atap rumah orang itu. Semua orang berkerumun. Menyaksikan manusia yang sedang sakaratul maut. Mungkin hitungan detik dia akan pergi dari dunia ini.
Tanda-tanda kematian terlihat dimulai dari ujung kakinya yang dingin dan lebam bekas pukulan yang menghitam, berlanjut ke bagian betis, paha, dan seterusnya. Rasa dingin itu sempat tertahan di dada. Entah mengapa nyawanya tersangkut di dada. Namun itu hanya berlangsung beberapa menit. Kemudian matanya terbelalak, mulutnya terbuka, dan dia terbujur kaku seperti keris.
***
Sejak beberapa tahun yang lalu, setiap aku melihat gadis itu, dadaku terasa berdesir. Aku rasa tidak ada yang berubah darinya. Semenjak lahir hingga saat ini kami selalu bersama selalu sama. Orang tua kami pun sempat bersahabat, namun saat karir orang tuanya sukses lalu mereka melupakan kami. Memang begitu tabiat orang kaya baru. Suka lupa dengan kulitnya dan merasa superior karena sebab sendiri. Kalau saja bapakku tak membantu dan memberikan hutang, tentu mereka masih sama seperti kami.
Aku merasa sebal sekali dengan mereka, kecuali dengan anak gadisnya. Rasa sebal itu luluh ketika gadis tersebut hadir di kedua bola mata ini. Memang tabiat anak dan orangtuanya sangat jauh berbeda. Orangtua sombong tidak selamanya melahirkan anak sombong. Sebuah antitesis terjadi pada keluarga ini.
“Walaupun kalian bersahabat sejak kecil, lalu kalian saling jatuh cinta, bukan hal yang mudah untuk bisa berlanjut ke pernikahan,” ucap Juned kepadaku.
Ah, sial benar Juned. Sebagai sahabat dekatku, Juned tidak pernah mendukungku mendekati Maya. Ia selalu menjatuhkan mentalku saat kami saling berandai. Tapi, sebagai seorang pemuda jiwa membara perihal percintaan tidak boleh padam oleh perkataan. Ia harus tetep menyala hingga mendapatkan apa yang dicinta.
“Tenang saja, aku akan melamar Maya besok. Kami pasti akan menyebar undangan bulan ini. Kamu akan menjadi tamu VVIP di pernikahanku.”
Besoknya, aku dan kedua orang tuaku mendatangi kediaman Maya yang bak istana. Ada dua orang penjaga di gerbang rumah Maya. Sudah barang pasti mereka langsung menegur saat melihat kami. “Kalian hendak kemana? Mencari Tuan Joko? Mau hutang?”
“Diam! Kalian hanya pesuruh Joko. Berani-beraninya berbicara seperti itu kepada sahabatnya,” kata bapakku dengan nada meninggi.
Mereka langsung tertawa saat bapakku selesai bicara. Apakah mereka mengganggap Bapak sedang melucu? Ini jelas bukan kalimat komedi yang sering dilontarkan para wayang ketoprak. Bapak sedang serius dan pasti marah jika disepelekan.
“Sudahlah, kalian pulang saja. Tuan Joko sedang di ladang mengawasi para pekerja. Pastinya tidak ada waktu untuk bertemu dengan tiga orang pengemis.”
“Kurang ajar kalian!”
Hampir saja Bapak melayangkan bogeman kepada kedua orang itu. Untungnya keributan yang kami ciptakan di depan gerbang membuat Pak Joko keluar dari istananya.
“Ada apa ini? Kerjaannya ribut-ribut di depan rumah orang saja.”
“Ini Tuan. Ada beberapa orang ingin bertemu dengan Tuan. Nampak dari bajunya mereka ingin meminjam uang.”
“Akan aku hajar ya mulutmu!” Bapak masih terpancing emosi.
“Sudah biarkan mereka masuk. Aku kenal dengan mereka,” kata Pak Joko yang artinya dia telah mengijinkan kami masuk ke istana. Ini sebuah kesempatan besar dan aku tak sabar ingin cepat terjadi. Aku menggandeng kedua tangan Bapak dan Ibu sambil membuntuti Pak Joko. Jarak antara gerbang ke pintu rumah hampir setara dengan dua petak kebun yang kami miliki di belakang rumah. Ibu yang sudah tidak begitu sehat sempat menghela nafas ketika sudah masuk ke dalam rumah.
“Jadi begini maksud kami, Joko. Kita sudah lama bersahabat. Saking dekatnya kita, aku tahu saat kondisi kamu masih seperti kami. Jadi aku ingin lebih mempererat hubungan kita dengan cara menjadi besan.”
“Kamu tak malu berbicara seperti ini di depanku? Sekarang kamu harus ingat, kamu siapa dan aku itu siapa. Kita tidak bisa jadi besan. Itu akan merugikan bagiku. Sekarang kalian pulang dan carikan saja menantu yang sepadan dengan kondisi kalian.”
Suatu perbincangan yang cukup singkat. Walaupun singkat, kami sudah puas dengan pertemuan ini. Selain itu, terdapat oleh-oleh rasa menyayat hati untuk dibawa pulang. Ibu menangis malu karena putra semata wayangnya dihina. Bapak tidak pernah lelah melakukan sumpah serapah saat perjalanan pulang. Begitu juga aku yang selalu menundukkan kepala hingga sampai kamar.
***
Juned menegur kawannya yang sedang termenung di depan rumah. Tapi teguran tersebut tidak digubris sama sekali. Ia melanjutkan merenung sampai Juned melontarkan sebuah pertanyaan, “Mau sampai kapan kamu akan meratapi nasib seperti ini, Ton?”
“Entah sampai kapan, Ned. Mungkin sampai aku mati.”
“Sudahlah, daripada kamu melamun terus-menerus lebih baik ikut denganku.”
Kedua pemuda itu pergi mengendarai sepeda. Mereka bersepeda hingga keluar desa. Juned di depan dan Tono membuntutinya. Hampir setengah jam mereka mengayuh, akhirnya sepeda tersebut berhenti di depan rumah. Sebuah rumah terpencil yang dikelilingi tanaman bambu kuning menjulang.
“Kamu benar Ned mengajakku kesini?”
Juned diam saja malah menggandeng tangan Tono untuk masuk ke dalam rumah tersebut. Di rumah tersebut banyak ornamen-ornamen mengerikan seperti boneka rumput, keris, lukisan, dan patung batu. Juned terus menggandeng Tono hingga masuk ke sebuah ruangan yang terdekat seseorang di dalamnya.
“Aku sudah tahu maksud kalian. Ambil ini dan tanam disekeliling rumah yang sedang kamu incar.” Kakek tua itu memberikan empat buah keris kecil kepada Tono. “Ingat! Tanamnya hanya boleh saat malam jumat besok.”
“Ayo kita pulang.” Juned langsung mengajak Tono pulang setelah kakek tersebut tak berbicara apa-apa lagi. Selama perjalanan, Juned selalu menyakinkan Tono untuk melakukan apa yang orang tadi perintahkan. “Itu sebagai langkah awal kamu untuk mendapatkan Maya. Percayalah padaku dan dukun itu.”
Selama di rumah, Tono selalu dibuat terngiang-ngiang oleh perkataan Juned dan dukunnya. Ia ragu-ragu antara melakukannya demi gadis pujaan atau meninggalkannya karena ini perbuatan meminta bantuan jin dan tak baik. Sampai waktunya tiba, akhirnya Tono pun memberanikan diri melaksanakan perintah dukun tersebut. Berbekal cangkul kecil dan empat keris kecil, dia berangkat ke rumah sang pujaan hati. Keris pertama, kedua dan ketiga sudah ditanam pada bagian barat, utara, dan timur pagar luar istananya Maya yang luasnya hampir setengah hektar. Sayangnya ketika hendak menanam keris yang keempat, Tono dihadang oleh dua orang penjaga rumah Maya.
“Aku sudah tahu apa yang akan kamu lakukan. Kamu pasti ingin mencelakakan Tuan Joko dengan guna-guna ‘kan?” ucap salah satu penjaga.
“Tidak. Aku hanya ingin berkeliling saja.”
Keduanya mendekati Tono. Tangan mereka menggeledah pakaian yang menempel pada sekujur tubuh pemuda itu. Tentu saja Tono pasrah dan tidak bisa melakukan apa-apa dan memberontak kepada kedua orang yang seperti preman tersebut.
“Nah, ini ada keris kecil. Pasti ini perantara untuk guna-guna ‘kan? Sudah kita habisi saja dia sampai mati. Kalau dibiarkan hidup pasti akan melakukannya lagi.”
Belum sempat menjawab pertanyaannya, Tono dihantam oleh kepalan tangan sebesar mangga matang. Di perut, wajah, dan lebih sering pada bagian dada bogeman para preman itu mendarat. Hanya hitungan menit setelah menerima puluhan pukulan, Tono terkapar di atas tanah dan rebahan di antara dedaunan kering.
Banjarnegara, 2024
RIWAYAT PENULIS
Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Berdomisili di Desa Karangsalam, Susukan Banjarnegara. Saat ini ia menjadi guru wiyata bhakti PAI di SD N 1 Karangsalam dan mentor kepenulisan cerpen di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Ia juga menjadi wakil ketua Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Banjarnegara dan anggota di KPBJ. Karyanya pernah menjadi nominator sayembara esai Balai Bahasa Jawa Tengah, Juara 2 esai bahasa Arab FAC FEBI IAIN Purwokerto, Juara 2 Lomba Cerpen Nasional FAH UIN Jakarta, terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen serta tersiar pada beberapa media seperti Suara Merdeka, Kompas Id, Islami.co, Minggu Pagi, Solopos, Banjarmasin Post, Harian Sultra dan masih banyak lagi.