Era pendidikan saat ini, sering menjumpai anak-anak melakukan tindakan tidak wajar atau kurang tepat di kalangan masyarakat. Sadar maupun tidak sistem pendidikan ini terus berkembang dengan pesat yang secara tidak langsung akan mengikis satu persatu anak-anak akan tertinggal jika tidak diasupi nilai-nilai karakter anak dan aspek lainnya (Cahyaningrum et al., 2017). Salah satu aspek perkembangan anak sebagai ujung kepribadian anak dalam hidup sosial adalah karakter. Di Indonesia sejak 2024 awal Januari dalam data Simfroni PPA ada 22.735 kasus amoral dalam november ini. Jumlah tersebut dari 7.155 Korban Berdasarkan Pendidikan pada tingkat SLTA yang tertinggi. Bentuk Kekerasan yang Dialami Korban adalah seksual pada 10.494 kasus, 19.713 adalah anak perempuan dan 5.007 anak laki-laki dengan berbeda-beda kasusnya, seperti seksual, psikis, eksploitasi, fisik, dan penelantaran (Statistika, 2024). Sejalan ini, banyak anak-anak dan pelajar yang bertindak amoral juga.
Perkembangan anak begitu fundamental dan cepat pada kehidupan selanjutnya. Data di atas menunjukkan tingkat kemoralan dan nilai karakter semakin rendah. Hal ini ada salah satu keterkaitan dengan anak-anak dalam masa golden Age, sebut masa keemasan yang harus ditopangi dengan pendidikan nilai agama dan moral. Nilai-nilai karakter anak dapat terbentuk dengan berbagai respon dan interaksi linkungan melalui panca indra yang aktif. Sejalan ini, presiden Jokowi dan Jusuf Kalla membuat gerakan revolusi mental pada penguatan pendidikan karakter tahun 2017. Hal ini sesuai nilai-nilai lima dasar pancasila. Nilai-nilai karakter Pancasila yang disahkan yaitu, nilai religious, nilai nasionalis, nilai mandiri, nilai gotong royong, dan nilai integritas. Secara konseptual, pendidikan karakter memiliki konsep sendiri, menurut Thomas Lickona (Syamsudin, 2012), ada tiga unsur dalam menjelaskan pendidikan karakter untuk anak yakni, (1) mengetahui kebaikan, yakni setiap manusia memiliki batasan untuk bersikap baik terhadap saudara, lingkungan, dan makhluk lainnya. (2) mencintai kebaikan, saat kita diberi sesuatu baik benda, materi, atau nilai yang tidak terukur. Maka tugas kita menjaga untuk selalu berbuat baik pada mereka. (3) melakukan kebaikan, mencintai bukan hanya dirasakan dan didoakan, namun tentang aplikasi kebaikan sesuai kemampuan sendiri untuk menyelesaikan tanggung jawab atau menuntaskan kecintaan atas wujud kebaikan kepada mereka.
Salah satu bentuk media dalam menguatkan nilai-nilai karakter pancasila anak yaitu buku cerita anak. Buku cerita anak menjadi strategi pengembangan nilai-nilai karakter anak. Sebab, buku cerita anak mengandung peristiwa cerita yang menarik, imajinatif, dan interaktif sehingga anak dapat mencoba dan mengenal karakter dari watak para tokoh pada buku cerita anak. Cerita anak yang dikemas secara sederhana, kalimatnya mudah dipahami, ilustrasi mudah ditebak, dan mampu mengpresentasikan kualitas nilai-nilai karakter dan kemoralan anak-anak. Cerita anak merupakan proses perpaduan buku teks dan ilustrasi yang bersifat visual. Menurut Crowther, buku cerita adalah buku teks bacaan untuk proses belajar dan pembelajaran kepada anak-anak (Halim dan Munthe, 2019). Buku cerita anak bertujuan untuk menarik perharian, keunikan, dan hal yang abstrak dapat dijelaskan melalui ilustrasi buku cerita anak. Buku cerita anak dapat mengilustrasikan berbagai proses alur cerita dan latar cerita yang disampaikan. Dari sinilah, buku cerita anak merupakan buku bacaan untuk anak-anak yang berkaitan teks sederhana dan ilustrasi yang menyenangkan untuk menstimulasi anak-anak belajar dengan baik dan berimajinatif. Buku-buku yang terlaris dalam gramedia dan toko seluruh Indonesia adalah buku bacaan anak, salah satunya buku cerita anak.
Menurut Dellya Halim dan Ashiong P.M. diantara temuannya, mengembangkan buku cerita bergambar dengan model pembelajaran ADDIE (Analysis Design Development Implementation Evaluations) yang berdampak pada buku cerita bergambar dengan menguji coba 2 kelas pada 22 anak dengan menggunakan cerita bergambar, hasilnya 70 persen anak-anak dapat menjawab pertanyaan cerita anak dengan benar, 30 persen gagal menjawab, karena cenderung ribut dan ramai. Hal ini anak-anak tidak fokus dan kurang konsentrasi. Hal ini cerita bergamar dapat merefleksikan kenyataan anak melalui gambar-gambar yang menarik (Halim dan Munthe, 2019). Dari penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa nilai karakter pancasila sesungguhnya dapat ditanamkan dan aktualisasikan kepada anak-anak, sebab pancasila adalah identitas bangsa Indonesia dengan keluhuran makna serta nilai-nilai yang menyertainya sebagai bentuk sikap kepribadian bangsa ini.
Pada masa sekarang dengan dunia karakter baru, orang tua dituntut untuk mampu mengkondisikan anak-anak belajar dan bermain dengan mengimitasi dari salah satu media buku cerita anak dalam nilai-nilai karakter pancasila (Zuriah, 2021). Media buku seri cerita anak dalam lama PAUD PEDIA Kemdikbud-Ristek terdapat lima judul ini memberi penguatan nilai-nilai karakter pancasila dalam Penguatan Pendidikan Karakter kepada anak-anak dengan meliputi; (1) Nilai Religius, (2) Nilai Nasionalisme, (3) Nilai Integritas, (4) Nilai Kemandirian, dan (5) Nilai Gotong-royong. Adapun judul dalam seri buku cerita anak di laman PAUDPEDIA Kemdikbud-Ristek ini yakni; (1) Bara Tidak Mau Berbicara, (2) Saputangan Istimewa Untuk Lani, (3) Oru Senang Sekolah, (4) Perbaiki Mainan Rusakmu Yuk!, (5) Sampah di Laut Kita. Direktorat pendidikan PAUD menerbitkan seri cerita anak sebagai apresiasi pemenang lomba penulisan cerita anak tahun 2016-2017. Kelima buku cerita anak ini sebagai kontribusi kemanfaatan anak-anak di Indonesia melalui persepktif nilai-nilai karakter pancasila. Buku cerita anak ini akan di jabarkan secara mendalam dengan mengategorikan penalaran nilai-nilai karakter pancasila kemudian merefleksikan kalimat atau konteks yang mana dalam seri buku cerita anak yang menunjukkan nilai-nilai karakter pancasila anak. Dari sinilah, perlu adanya pemahaman dan pemikiran yang keras dalam meramu data-data yang akan dianalisis dengan baik dan benar.
Buku Cerita anak kedudukannya menjadi pembentuk dan juga sebagai alat media edukasi penguat, menguatkan atas nilai karakter yang sudah ada. Posisi cerita anak bagi anak usia dini dari nol sampai enam tahun adalah sebagai refleksi untuk penguatan kembali nilai-nilai karakter pancasila yang dimiliki dan pernak mengaktualisasikan dalam aktivitas kehidupan seharinya. Nilai karakter sudah dijelaskan detil pada BAB II Pasal 03 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 dalam Sistem Pendidikan Nasional. Karakter sebagai proses penalaran moral dan karakter manusia dalam kematangan usia yang semaki tinggi dalam penalaran karakter dan moral manusia. Menurut Kohberg dalam teori moral dan karakter ada tiga tahapan penting dalam tingkatannya; yakni (1) tahapan prokonvensional atau patuh hukuman mulai dari 0-6 tahun dan bertujuan pada masa hedonistic-istrumental yang berumur 9-12 tahun, (2) tahapan keteraturan atau konvensional yang berumur 9-12 tahun dalam tahapan ini anak lebih otaritas dalam kepribadiannya, (3) tahapan otoritas kontrol sosial-legalistik yang berusia 22-35 dan berorintasi pada kematian atau lansia. Dari sinilah, tahapan menurut Kohberg ini dapat menghadapkan penelitian hal yang baru dalam kelimuan baik secara fundamental dalam kehidupan anak (Khaironi, 2017).
Dari sini penulis akan menyampaikan penalaran nilai karakter pancasila dalam buku seri cerita anak dalam laman PAUDPEDIA Kemendikbud-Ristek anak dengan menganalisis tujuh buku cerita anak untuk menguatkan karakter anak yang terletak pada buku-buku yang di-upload laman PAUDPEDIA Kemdikbud-Ristek.
Penalaran Nilai Religius
Nilai religius merupakan Religius sebenarnya berasal dari kata religion atau religious yang berarti agama dalam bahasa Inggris. Kata ini awalnya bersumber dari istilah latin religie yaitu re berarti kembali dan ligere artinya terkait atau terikat. religi merupakan suatu sistem ajaran tentang Tuhan, di mana penganutnya melakukan tindakan-tindakan ritual, moral, atau sosial atas dasar aturan-aturanNya. Oleh sebab itu, secara substansial, agama mencakup aspek kredial (doktrin), ritual (cara berhubungan dengan Tuhan), moral (aturan berperilaku) dan sosial (aturan hidup bermasyarakat). Fase religius (religious) termasuk dalam fase ketiga (dewasa) dalam kehidupan beragama seseorang, di mana seseorang merealisasikan agama dalam kehidupan atas dasar kerelaan dan secara sungguh-sungguh. Fase ini sudah lebih tinggi dibanding fase pertama simply religious yaitu fase kanak- kanak yang beragama secara sederhana, mudah percaya dan bersifat reseptif, sedangkan fase berikutnya adalah fase remaja sebagai acquiring a religion fase di mana seseorang menggali kebenaran agama.
Dalam fase simply religious ini, berkenaan dengan konten cerita “Bara Tidak Mau Bicara” karya Ari Puji Astutik. Di dalam ceritanya “Di danau Sentarum, Kalimantan Barat hiduplah sepasang ikan arwana merah. Namanya Bara dan Mimi. Bara dan Mimi mempunyai teman bermain, yaitu Popi si ikan Elang dan Sasa si ikan Sapu-sapu. Hari itu, Bara tak seperti biasanya. Bara hanya diam ketika disapa Popi dan Sasa. Bara hanya mengeluarkan gelembung udara dari mulutnya.” Kenapa Bara tidak mau berbicara, jawabnya Bara itu Ikan Arwana Merah termasuk ikan langka dan dilindungi negara. Bara hidup di sungai-sungai pulau Kalimantan. Saat Bara betina mengeluarkan telurnya, arwana jantan akan memasukkan telur-telur itu ke mulutnya. Arwana jantan akan mengerami telur-telur itu. Dia tidak makan dan minum. Arwana jantan mengerami telur-telur itu selama kurang lebih 60 hari.
Pada bagian cerita ini menjelaskan bahwa Bara memiliki tanggungjawab penuh dengan menjaga dalam mulunya. Banyak temen-temen Bara yang mencemooh, mencaci, dianggap sombong, sebab Bara sedang berpuasa selama 60 hari. Kepercayaan bara ini selama berpuasa tidak minum dan makan namun mempunyai sikap yang religius yakni percaya diri. Kepercayaan diri tertanam sejak dini hingga dewasa sudah mampu menguasai hawa nafsunya. Seperti halnya manusia kecil yakni anak-anak. Anak-anak mendapat pembelajaran dari sikap Bara yang memiliki keyakinan untuk menjaga telur-telur di dalam mulutnya. Hal ini senada dengan sikap pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, keyakinan atas kenikmatan yang Bara peroleh yang sudah mampu menjaga telur-telurnya bersama dengan Bara Betina ia melakukan puasa untuk mengerami telur tersebut. Dari sinilah, tindakan-tindakan Bara memang sedang tidak bisa diganggu, sehingga teman-teman Bara yang berpandangan sombong, mencaci, dan mengatakan hal tidak baik itu bagian dari ujian Bara. Sama halnya dengan anak-anak, yang dimana selama bermain dan belajar sedang mengalami fase-fase ujian besar, seperti dijauhi temannya, orang tua serba salah, mood anak tidak baik, dan lainnya, hal ini merupakan ujian dari Tuhan supaya lebih bersabar dengan berpuasa. Namun, kesabaran ini tidak lepas dari kebaikan yang selalu ditebarkan kepada orang-orang disekitarnya. Supaya ada kebiakan yang diperoleh dari orang lain yang mengalir dalam fase selanjutnya. Dari sinilah, keyakinan Bara selama hidup bertahan dalam menghadapi ujiannya.
Penalaran Nilai Nasionalisme
Perasaan kebangsaan atau cinta terhadap bangsanya yang sangat tinggi dan berlebihan sehingga memandang rendah terhadap bangsa lain. Secara etimologis, kata nasionalisme berasal dari kata nationalism dan nation dalam bahasa Inggris, yang dalam studi semantik kata nation tersebut berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor yang bermakna “saya lahir”, atau dari kata natus sum, yang berarti ‘saya dilahirkan’. Dalam perkembangannya kata nation merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara.
Hans Kohn, memberikan terminologi yang sampai saat ini masih tetap digunakan secara relevan yakni: “nationalism is a state of mind in which the supreme loyalty of individual is felt to be due the nation state”. Bahwa nasionalisme merupakan suatu faham yang memandang bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Sedangkan dalam konsepsi politik, terminologi nasionalisme sebagai ideologi yang mencakup prinsip kebebasan, kesatuan, kesamarataan, serta kepribadian selaku orientasi nilai kehidupan kolektif suatu kelompok dalam usahanya merealisasikan tujuan politik yakni pembentukan dan pelestarian negara nasional.
Pada buku cerita yang berjudul “Saputangan Istimewa Untuk Lani” karya Ari Puji Astutik. Buku ini memiliki ciri khas cerita dalam nasionalisme. Adapun ceritanya, “Sasi dan Lani sedang melakukan aktivitas mewarnai dengan cat air, Lani tidak sengaja menumpahkan Cat Air ke saputangan Sasi, Lani memcucinya namun warna tidak hilang, sama halnya Sasi juga melakukannya. Kemudian, Sasi dan Lani menghampiri Ayah dan Ibunya sedang membatik kainnya. Lalu Lani diajak membatik dengan saputangan hingga saputangan yang istimewa. Sasi dan Lani merasa senang” cerita di atas memberikan pesan untuk melestarikan tradisi budaya lokal yakni membatik. Anak-anak akan mengenal benda-benda yang dapa digunakan untuk membatik. Mereka juga mengenal bentuk dan warna. Membatik merupakan nilai nasionlisme yang akan menguatkan ikatan cinta orang tua dengan anak-anak yang menjadi suatu kebutuhan adar kesejahtraan anak usia dini. tidak hanya itu, membatik juga membuat warna alami guna membentuk perlindungan pada diri anak.
Batik yang dibuat Lani dan Sasa adalah batik Banjarmesin yang bermoif batik Jumputan. Lani dan Sasa merupakan sahabat yang cinta tanah air. Ia tekun belajar dari orang tuanya, walaupun dari sekolah sudah banyak Ilmu pengetahuan dan pengalamannya. Dari sinilah, tugas orang tua selalu memberi pengalaman yang istimewa kepada anak-anak dalam aktivitas tumbuh kembang anak. Anak yang seringkali banyak ide-ide yang unik karena meniru dari apa yang ia peroleh dari panca indra yang aktif. Sama halnya dengan Lani dan Salsa ketika ia melihat Ayahnya sedang membatik.
Penalaran Nilai Integritas
Nilai Integritas merupakan kata yang berasal dari bahasa latin yaitu, “integer” yang artinya utuh dan lengkap. Oleh karena itu, integritas memerlukan perasaan batin yang menunjukkan keutuhan dan konsistensi karakter. Dalam pengertian singkat, integritas artinya konsep konsistensi tindakan, nilai, metode, ukuran, prinsip, harapan dan hasil. Plato, Aristoteles dan Aquinas (dalam Olson, 1998a) mengemukakan bahwa integritas berasal dari bahasa latin yaitu integrity yang bermakna “as whole and represents completeness”, artinya, integritas menunjukan keseluruhan dan kelengkapan. Mereka juga menerangkan bahwa integritas merupakan keseluruhan dari bagian-bagian tertentu. Integritas merupakan karakter yang telah menyatu dalam kehidupan seseorang yang digunakan untuk mencapai seluruh kebajikan dan kebahagiaan. Hal ini nilai integritas harus ditanamkan kepada anak usia dini agar memiliki kepribadian yang jujur dan bijaksana.
Pada buku cerita “anak Senang Sekolah” karya Ari Pratiwi. Dalam ceritanya, “anak akan sekolah besok. Ia senang dan berdebar-debar menjadi satu. Anak takut tidak punya teman di sekolah. Ia juga takut tidak bisa mengerjakan tugas. Ayah, Ibu dan kakak mengajak anak bermain sekolah-sekolahan agar anak berani bersekolah. Alhasil, oru merasa senang ia mendapat teman banyak di sekolah” cerita ini memberikan pesan kepada anak-anak untuk selalu menerima keadaan dan semangat menunut ilmu atau mau belajar dan bermain, walaupun ada kecemasan yang anak miliki, tapi dalam menghadapi kecemasan dengan membawa benda kesayangan di sekolah. Hal ini akan membantu anak memenuhi kebuuhan kesejahteraan psikologisnya.
Selama anak belajar dan bermain di sekolahan dapat membantu mengenali situasi sekolah hingga ia lebih tenang. Terlebih lagi dukungan dari orang tua dalam mengenali emosinya akan membantu agar kebuuhan pengasukan dan perlindungannya terpenuhi. Dari sinilah, aktivitas anak menemukan orang tua dengan spesifikasi dengan ilustrasi yang membantu anak-anak mengenalai fokus dan detil. mengenali posisi benda yang lebih tinggi dan rendah dapat membantu dalam mengembangkan kemampuan sensori persepsi dalam dunia anak-anak. Maka pentingnya mendidik anak dalam menanamkan nilai-nilai karakter pancasila itu dimulai anak mengenalai sesuatu yang ada disekeliling rumah, kemudian anak merespon untuk mengetahui dari panca indra yang aktif sampai anak paham arti pancasila dari cerita guru dalam sekolah.
Penalaran Nilai Kemandirian
Kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri untuk kebutuhan sendiri, mengejar prestasi, penuh ketekunan, serta berkeinginan untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu berpikir dan bertindak original, kreatif dan penuh inisiatif, mampu mempengaruhi lingkungannya, mempunyai rasa percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri, menghargai keadaan diri sendiri, dan memperoleh kepuasan dari usahanya. Kemandirian merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting bagi individu. Kemandirian diperoleh secara bertahap selama perkembangan berlangsung, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu berfikir dan bertindak sendiri. Seperti halnya anak usia dini diajari untuk mandiri mulai dari bangun pagi, mandi, sarapan, berpakaian, dan lainnya. Sehingga anak tidak terus mengandalkan orang tuanya atau manja. Dari sinilah, sikap kemandirian dapat memberikan banyak hal pada anak salah satunya anak dapat berpikir kritis dengan menyelesaikan permasalahan sendiri tanpa dibantu orang tau. Orang tua juga membantu jika anak belum mampu menyelesaikan sendiri.
Melihat identifikasi nilai-nilai kemandirian ini ada kesamaan dalam cerita yang berjudul “Perbaiki Mainan Rusakmu, Yuk!” karya Cipta Rumsari, Asep Saefudin, dan Muhammad Hasbi. Isi ceritanya, “Namanya Kris. Ia adalah anak laki-laki yang mempunyai banyak mainan di rumahnya. Sementara Ayah, Ibu, dan Kakak Kris juga memiliki banyak barang. Suatu saat ada mainan dan barang-barang lainnya itu rusak. Karena tidak lagi digunakan maka kris bersama ayah, ibu, dan kakak bergotong-royong untuk memilah dan membuang barang yang sudah tidak terpakai lagi. Saat kris menumpuk barang bekasnya yang semakin tinggi, kemudian kris melakukan sesuau agar barang-barang idak mencemari lingkungan. Kris melihat robot yang patah tangannya, ia ingin memperbaiki sendiri, meminta lem ke kakak dan kris bisa menyatukan tangan robot kembali. Mainan robot dapat berfungsi lagi.”
Cerita ini mengilustrasikan bahwa Kris, anak yang rajin, baik, dan mandiri. Sikap mandiri kris dilihat dari kegiatan kris menemukan robot yang patah lalu memperbaiki sendiri tanpa dibantu ibu, ayah, dan kakaknya. Tidak hanya itu, sikap kemandirian kris juga meminernalisasikan sebuah kepekaan untuk membantu barang-barang yang rusak untuk dikumpulkan menjadi satu. Kris suka membantu orang tua, sebab orang tua Kris selalu menyuruh dan mencontohkan aktivitas yang membuat kris hidup mandiri. Kris ingin hidup mandiri. Dari sinilah, setiap permasalahan kris selalu disampaikan ke orang tua namun kris memiliki kepribadian ketika sudah bisa melakukan tanpa orang tua.
Penalaran Nilai Gotong-royong
Gotong Royong adalah istilah di Indonesia yang artinya bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Gotong Royong berasal dari istilah gotong yang artinya “bekerja” dan royong berarti “bersama“. Secara umum, Gotong royong artinya mengangkat bersama-sama atau mengerjakan sesuatu bersama-sama. Gotong royong juga dapat diartikan sebagai partisipan aktif setiap individu masyarakat yang ikut terlibat dan mendapatkan nilai positif setiap objek, permasalahan, atau kebutuhan orang disekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut dapat berupa tenaga, materi, mental, keterampilan atau lain sebagainya.
Pada cerita yang berjudul “Sampah di Laut Kita” karya Dhian Gowinda Luh Safitri, Yulia Hidayati, dan Asri Hikmatunnisa. Dalam isi cerianya “Welli dan Piyu merasa sedih karena lauannya penuh sampah. Piyu tak bisa lagi berburu-buru. Welly tidak bisa lagi berenang dengan riang. Lalu ia mempunyai ide yaitu, semua penghuni laut mengumpulkan sampah-sampah ke jaringan nelayan, nelayan menarik jaringnya. Ia mendapati hanyalah sampah. Nelayan mulai sadar karena kondisi laut banyak sampah. Kemudian Andi menceritakan laut yang banyak sampah pada warga sekitar. Mereka bekerja baki membersihkan lingkungan. Sampai laut terlihat bersih” pada cerita ini, Welly dan kawan-kawan merasa tidak suka terhadap tindakan manusia yang membuang sampah sembarangan. Penghuni laut banyak yang terkena dampak kesakitan karena sampah yang tercemar di laut. Dari sini, anak mendapat kesadaran bahwa lingkungan yang kondisi banyak sampah mempengaruhi pola hidup manusia.
Selain itu, Welly dan kawan-kawan sepakat untuk menyadarkan para nelayan supaya jaring nelayan mendapat sampah. Seolah nelayan sedih tidak mendapat ikan banyak melainkan sampah. Maka para nelayan berbondong-bondong membersihkan lingkungan laut dan ada yang menyelam ke laut untuk mengambil sampah-sampah hingga para ikan kembali hidup dengan indah. Tumbuhkan di laut juga kembali hidup. Dari sinilah, bahwa tindakan gotong-royong atas kesadaran manusia yang hidup bersama di dalam lingkungan setempat. Anak-anak belajar dari alam sekitarnya, anak-anak mempunyai kepekaan terhadap lingkungan dari mulai pola kebersihan anak, pola makan anak, pola tradisi anak dalam menyikapi sesama manusia. Anak-anak akan belajar banyak hal dari cerita Welly dan kawan-kawan di laut. Terutama nilai-nilai gotong-royong. Dalam pancasila, nilai gotong-ronyong memang dibutuhkan untuk mengembangkan tanah air Indonesia mulai gotong-royong mengenai pendidikan, ekonomi, politik, keagamaan, sampai sosial. Hal ini anak-anak mendapat pelajaran penting bahwa kehidupan membutuhkan sesama makhluk untuk saling tolong-menolong yakni gotong-royong. Dari gotong-ronyong anak lebih mudah bekerja menyelesaikan tugasnya dengan cepat dan tepat.
Daftar Pustaka
Cahyaningrum, E. S., Sudaryanti, S., & Purwanto, N. A. (2017). PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KARAKTER ANAK USIA DINI MELALUI PEMBIASAAN DAN KETELADANAN. Jurnal Pendidikan Anak, 6(2), 203–213. https://doi.org/10.21831/JPA.V6I2.17707
Hafidz, N., & Nurul, F. A. (2021). Penguatan Nilai Karakter Anak Usia Dini Dalam Tokoh Wayang Bawor. Annual Conference on Islamic Early Childhood Education (ACIECE), 5, 40–48. https://conference.uin-suka.ac.id/index.php/aciece/article/view/631
Halim, D., & Munthe, A. P. (2019). Dampak Pengembangan Buku Cerita Bergambar Untuk Anak Usia Dini. Scholaria: Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 9(3), 203–216. https://doi.org/10.24246/J.JS.2019.V9.I3.P203-216
Khaironi, M. (2017). Pendidikan Karakter Anak Usia Dini. Jurnal Golden Age, 1(02), 82–89. https://doi.org/10.29408/GOLDENAGE.V1I02.546
Statistika, H. M. (2024). Kasus Kekerasan pada Anak. Blog.
Syamsudin, A. (2012). Pengembangan Nilai-Nilai Agama dan Moral pada Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak, 1(2). https://doi.org/10.21831/JPA.V1I2.3018
Zuriah, N. (2021). Penanaman Nilai-Nilai Karakter Pancasila dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berbasis Polysynchronous di Era New Normal. Jurnal Moral Kemasyarakatan, 6(1), 12–25. https://doi.org/10.21067/JMK.V6I1.5086