헤루 쿠르니아완 (HERU KURNIAWAN)
고독은 한 시인에게 있어 하나의 확실한 깊이 있는 상황이라고 할 수 있다. 고독은 마음 제일 깊은 곳에 애환으로 자리하고 있다. 그 길에서 한 시인은 자기 자 신에 더욱 가까이 다가가기 위해 “고독”을 선택하고 정체성을 찾으며 아울러 신 앞에서 고개를 숙인다. 이것이 내가 부디 세뜨야완(Budhi Setyawan)(인도네시 아 버까시, Bekasi 거주 시인) 시를 읽고 느낀 점이다.
고독과 친숙한 경험이 있는 시인으로 그의 시편은 진정한 조용함, 흐르는 마음, 조용한 길을 걷는 마음으로 읽혀지고 있다. 시편 속에는 시인의 개인적인 형체 가 텍스트의 형태와 외향성 있는 언어로 반영되고 있다. 시는 시인을 첫번째 인물로 삼으며 시 안의 의미와 목적으로 환치 시키고 있다.
그의 시 안에는 다음과 같은 가능성이 있다. 즉 한 사람의 “Budhi” (역자주 : 마음, 정신이라는 인도네시아어이며 동시에 시인의 이름)를 통해 스스로의 “Budhi”를 알게 된다. 시 “계곡의 송가”(Kasidah Lembah) 각 연에 나타난 진실된 의미를 추적해 보기로 한다. : ..천천히 자리 잡는 것이 있다 # 고통은 흔들리 며 장막을 지나고/ 스스로 자기 안에서 걸어 간다 # 내면을 찾는 것은 끝나지 않은 일// 심장의 박동은 사라졌고 # 계속 피어나는 기도 / 황혼에 스며드는 모 든 언어마다 # 신에 대한 투명한 숭배를 더한다. “Budhi”는 내면의 지혜로 안내하는 마음의 도구이다. 시인의 이름이 갖고 있는 의미처럼, 그는 정신의 한 방 편을 이용하여 자신 스스로 인도하는 시를 엮고 있다. 그것, 즉 내면의 마음은 의미가 충만한 인상을 만들어낸다. 위에 말한 시는 고독한 분위기를 그리고 있 다. 그것은 독자들이 기억할 수 있는 분위기. 즉 정숙함에서 나오는 종교적 성격의 대상이 독자들에게 영향을 미치는 분위기인 것이다.
물론, 마음은 언제나 자기 스스로에 나타나는 그 무언가를 찾고자 한다. 그 무언가는 자기 스스로를 통제할 수 있는 것을 갖고 있다. 따라서 시는 현명하게 쓰 여진다. 삶은 혼자만으로 이루어지는 과정이 결코 아니다. 따라서 숭배와 기도를 통해 자기보다 우월한 존재에게 열심으로 의탁하게 된다. 이러한 현명함이 넘치는 시 안에서 시인은 그가 갖고 있는 감성을 바탕으로 이미지와 언어 능력을 통해 독자들을 이해의 방으로 안내한다. 시 “이해의 길”에서 시인은 다음과 같이 노래하고 있다 ..알라에 대한 찬미는 불을 지폈고 # 혼탁한 것을 스스로 불태우며/ 노래를 부르게 한다 # 조용한 코란의 구절 안에서/ 혼돈은 동쪽과 서 쪽으로 이미 사라졌다# 백색의 금욕 안에서 용해된/ 오직 하나, 메카를 향한 방향이 # 이해의 길로 이어져 있다.
이 “이해의 길”은 단지 시 제목 이외에 그 이상의 의미를 갖고 있다고 본다. 시를 통해 알라에게 시인이 귀의하는 모습을 볼 수 있기 때문이다. 사용한 시어들 의 예를 보면 알라에 대한 찬미, 찬송, 절제, 메카를 향한 방향, 이해 등은 언어의 형태로 더욱 살아 있는 종교의 향기를 완성하고 있다. 따라서 강하게 흐르는 영적인 것을 나타내고 있다. 즉 시인 자신에 의해 구축된 인식이 제어하지 못할 정도로 영적인 상황을 나타내고 있다.
압둘 와히드 B.S(Abdul Wachid B.S.)는 “진정한 시인은 침묵 안에 살지 않으며 그 자신의 정신 세계를 풍성하게 함으로써 언어의 능력을 향상시키며, 이미지를 구축하는 노력을 기우리는 사람이다.” (Wachid B.S., 2005: 126).” 또한 “시인은 영혼을 받아쓰기 하는 사람이다. 시인은 단지 영혼의 소리를 옮기는 역할만 할 뿐이다. 영혼은 육체가 필요하다. 그 육체가 시에 있어서 시어가 된다. 따라서 영혼은 공간과 시간을 관통하기 위한 언어를 요구한다.” (Wachid B.S., 2017: 3).” 그의 시에서는 많은 신비주의적인 분위기를 많이 만날 수 있다. 그러한 분위기는 “영혼의 목소리”에 의해 기록된 언어로 흐르게 된다. 즉 시 “연인을 부르 며“(Menyebut Kekasih): 내 몸을 더듬는다 # 내 느낌은 집의 심장에서 아물고/ 처음 나는 알기 시작했다 # 이제 당신 역시 점점 영원으로 간다.
위의 시는 다음과 같이 시작된다 : 내 몸을 더듬는다 # 내 느낌은 집의 심장에서 아물고. 이 연에서 다음과 같은 의문이 생기게 된다. : 무엇을 더듬어 찾는 것 인지? 집의 심장이 의미하는 것은 무엇인지? 이러한 다중적인 함의를 독자들에게 질문으로 던지기 때문에 따라서 우리들은 답변 하나로 말할 필요가 없다고 본다. 그 다음으로 시인의 정신 세계와 함께 고백하는 : 처음 나는 알기 시작했다 # 이제 당신 역시 점점 영원으로 간다. 시어들과 쓰여진 연의 문법적 의미를 통해 나는 시인이 노래하는 종교적인 인상을 붙잡을 수 있다. “영원” 이라는 시어 사용에 대해 또 다른 질문이 생겨난다. : 영원은 단지 신의 영역에 속하는 것 인가? 인도네시아어 타동사인 “me”를 부가하여 “당신”을 표현함으로써 시인 부디의 정신 세계에 있어 신에 대한 불멸의 상황을 점점 가시화할 수 있게 만들 었다고 본다.
시 “연인을 부르며”는 시의 주관적 배경이 종교적 성향을 보이고 있다. 그로 인해 정신적, 종교적인 것은 단지 시에만 국한된 것이 아니라 시인의 종교 생활에 가까이 영향을 미치며 그러한 종교적인 정신이 시에 잘 표현되고 있다 할 수 있다. “연인을 부르며” 이외에도 그의 72개 시편에서도 같은 상황과 조건을 만날 수가 있다. 시 “고독을 생각하며”를 쓴 배경에 대해 시인 부디는 깊은 명상을 했고 “이해의 길”을 통해 그 명상이 이루어진 것으로 보고 있다.
***
시 “고독을 생각하며”를 살펴본 바, 우리들은 시가 만들어내고 있는 종교적 정신적 인상이 있음을 알 수 있다. 즉, 그것은 시인 부디가 고독이라는 방에서 그 어떤 것을 확신함에 있어 시를 하나의 도구로 활용하고 있음을 알 수 있었다. 이해의 길을 통해, 스스로의 통제를 통해, 시는 결국에는 스스로 묵상하는 매개 자가 되었고 시인의 종교적인 배경도 시어 선택에 있어 많은 영향을 미치고 있음을 확인했다. 한 사람이 그의 폐부 속을 시어로 파헤치는 것은 절대로 문제가 되지 않는다. 그것은 신을 향한 하나의 깊은 애정의 표현으로 볼 수 있기 때문이다. *****
MENGAJI PADA KESUNYIAN
oleh: Bagus Likurnianto
Sunyi menjadi situasi mendalam yang amat niscaya bagi seorang penyair. Ia lubuk hati yang paling jujur, baik suka maupun duka. Di jalan itu pula seorang penyair memilih “terpencil” demi lebih dekat dengan dirinya sendiri, mencari jati diri sekaligus runduk di hadapan Gusti. Demikianlah kesan penghayatan saya ketika mengaji kitab puisi Mazhab Sunyi karya Budhi Setyawan (Penyair Bekasi, Indonesia).
Sebagai penyair yang berpengalaman mengakrabi sunyi, Budhi Setyawan dengan perangainya yang khusyuk, amat tenang, mengalir, dan pasrah menapaki jalan keheningan terbaca jelas di dalam puisi-puisinya. Betapapun puisi, sosok pribadi penyairlah yang pertama-tama “nampak” sebagai refleksi kebahasaan melalui pembentukkan dan keterbukaan teks. Tidak dapat disangsikan bahwa teks merefleksikan penyair sebagai orang pertama yang menyampaikan maksud dan makna di dalam puisinya.
Dalam kitab puisi ini ada kemungkinan bahwa melalui “kebatinan,” seorang “Budhi” tengah mengenali diri demi menempuh makna hakiki pada tiap-tiap bait puisi sebagaimana dalam “Kasidah Lembah”: …ada yang pelan pelan hadir # renik getar menembus tabir/ berjalan sendiri dalam diri # tak usai batin mencari// tak ada kuasa pada debar # selain doa yang terus mekar/ setiap kata tiriskan senja # menambatkan hening pada puja. “Budhi” yang berarti alat batin merupakan panduan akal. Seperti arti namanya, dengan sebuah “alat kebatinan” dia merangkai puisi dengan dipandu dirinya sendiri, dia menciptakan kesan mendalam penuh arti. Puisi tersebut menggambarkan suasana kesendirian. Suasana yang mengingatkan pembaca terhadap nikmat keheningan. Suasana yang secara samar mengarahkan impresi pembaca pada hal yang bersifat religius dan bersumber dari “kebatinan.”
Memang, batin senantiasa mencari sesuatu yang hadir di dalam diri. Sesuatu yang mungkin memiliki kendali atas diri. Sehingga puisi yang ditulis dengan arif tersebut memercik sebuah hikmah bahwa hidup tak pernah sendiri sehingga musti berpasrah kepada yang lebih berhak atas diri ini dengan diiringi puji dan doa. Dalam kitab puisi yang kaya akan hikmah ini, dia menawarkan wacana dengan kepekaan dan imajinasi melalui kemampuan bahasa yang dia miliki, sehingga pembaca digiring menuju ruang intepretasi. Dalam “Jalan Makrifat” dia tulis …zikir mencipta nyala api # bakar segala keruh diri/ merasuk detak amsal nyanyi # dalam kubangan wirid sunyi/ telah lenyap timur dan barat # lebur dalam putih tirakat/ yang ada hanya satu kiblat # kekal pada jalan makrifat.
Jalan makrifat ini boleh jadi bukan sekedar judul puisi. Lebih dari itu, pada puisi tersebut terlihat gambaran penyerahan diri di hadirat-Nya. Diksi-diksi seperti zikir, wirid, tirakat, kiblat, dan makrifat sebagai wujud bahasa melengkapi aroma religius yang semakin menghidup. Sehingga memunculkan sikap spiritual yang mengalir deras tanpa bisa dikendalikan oleh kesadaran yang coba dibangun oleh penyair itu sendiri.
Abdul Wachid B.S. mengungkap bahwa, “penyair yang betul-betul penyair tidaklah tinggal diam, dengan sendirinya dia memperkaya batin, memperkaya kemampuan bahasa, kemampuan imajinasi kepekaannya (Wachid B.S., 2005: 126).” Selain bahwa “penyair sepertinya didikte oleh suara ruh. Penyair hanya sebagai pelaksana dari suara ruh. Sementara itu, ruh memerlukan badan, yakni bahasa, dan karenanya suara ruh itu meminta bahasa agar dapat meruang dan mewaktu (Wachid B.S., 2017: 3).” Dalam kitab puisi ini juga banyak ditemui nuansa sufistik. Nuansa yang diduga muncul lantaran dalam menulis dia dituntun oleh “suara ruh” sehingga dengan bahasa yang demikian mengalir, sebagaimana dalam “Menyebut Kekasih”: gemuruh tubuhku menjelajah # rasaku menaut jantung rumah/ awal aku mulai mengenal # kini engkau pun makin mengekal.
Puisi tersebut diawali dengan larik: gemuruh tubuhku menjelajah # rasaku menaut jantung rumah. Larik tersebut secara asyik memunculkan pertanyaan: apa yang dijelajah? Apa yang dimaksud dengan jantung rumah? Yang demikian itu merupakan upaya menebar multitafsir kepada pembaca sehingga pertanyaan itu tak perlu dijawab. Kemudian mengenai suasana “kebatinan” sekaligus pengakuan: awal aku mulai mengenal # kini engkau pun makin mengekal. Dengan diksi dan gramatika yang ditulis, saya menangkap kesan religius yang ingin disampaikan aku lirik. Diksi “mengekal” menjadi landasan untuk lagi-lagi melontarkan pertanyaan: bukankah kekal hanya milik Tuhan? Dengan imbuhan “me” yang menjadikan “engkau” melakukan aktivitas pengekalan yang dalam hal ini spiritualitas Budhi semakin terlihat.
Puisi “Menyebut Kekasih” menjadikan spiritualitas dan religiusitas sebagai latar subjektivitas aku lirik. Sehingga spiritual dan religius itu bukan semata terletak pada puisinya. Melainkan juga pengaruh penulisnya yang mungkin dekat dengan kehidupan religius sehingga spirit religius termanifestasikan oleh si aku lirik. Tidak hanya pada puisi “Menyebut Kekasih” saja, malainkan dari 72 puisi dapat ditemui di banyak puisi lain yang memproyeksikan hal serupa. Saya menduga bahwa dalam menulis Mazhab Sunyi ini, Budhi melakukan perenungan yang dalam, perenungan yang jika diterka mungkin dilakukan melalui Jalan Makrifat itu.
*** Mencermati puisi-puisi dalam Mazhab Sunyi, ada kecenderungan bila kita mengamati kesan spiritual religius yang dibuat penyairnya, yakni Budhi kerap kali menjadikan puisi sebagai sarana mengaji diri demi menggapai sesuatu yang diyakini di dalam ruang sunyi. Melalui jalan makrifat dan mengenali diri, puisi pada akhirnya menjadi perantara mentafakuri diri sendiri. Latar religius penulis pula sangat mempengaruhi dalam pemilihan diksi. Tidak jadi masalah bila seseorang berkenan menggali lubuk hatinya sendiri. Yang demikian itu boleh jadi merupakan wujud kecintaan seseorang terhadap suatu hal yang bersifat ilahiyat.*****
(인니어 번역 : 김영수/Diterjemahkan oleh Kim Young Soo)
[수필가 소개] TENTANG PENULIS
헤루 쿠르니아완(Heru Kurniawan)은 1982년 3월 22일 브레베(Brebes)에서 태어났으며 국가 이슬람 연구소(IAIN) Purwokerto의 교사입니다. 육아 도서, 어린이 독서, 교육 및 창의력 개발의 저자; Wadas Kelir Creative House의 창립자. Gramedia Group에서는 활동 도서, 육아, 어린이 독서, 창의성 교육 등의 도서를 출판했습니다. Wadas Kelir Creative House가 관리하고 있으며 Regent of Batang 2016 상을 받았습니다. 인도네시아 교육문화부 2017; 2017 KPK 독서공원의 건전성 Gramedia Reading Community 2018.
Heru Kurniawan, lahir Brebes, 22 Maret 1982, merupakan pengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto; Penulis Buku Parenting, Bacaan Anak, Pendidikan, dan Pengembangan Kreativitas; Founder Rumah Kreatif Wadas Kelir. Telah terbit buku-buku di Gramedia Group: buku aktivitas, parenting, bacaan anak, dan pendidikan kreativitas. Dengan Rumah Kreatif Wadas Kelir yang dikelola telah mendapatkan penghargaan dari Bupati Batang 2016; Kemdikbud RI 2017; Integritas Taman Baca KPK 2017; dan Gramedia Reading Community 2018.