Puisi Indonesia Mengadopsi Literatur Timur Tengah
Hubungan antara sastra Indonesia dan literatur Timur Tengah telah terjalin selama berabad-abad, menciptakan pertukaran budaya yang kaya dan mendalam. Pengaruh ini terutama terlihat kuat dalam perkembangan puisi Indonesia, dimana elemen-elemen puitis dari Timur Tengah diadaptasi dan disesuaikan dengan konteks lokal.
Puisi Indonesia modern merupakan produk dari proses akulturasi yang panjang, di mana pengaruh literatur Timur Tengah memainkan peran penting dalam membentuk estetika. Hubungan historis antara dunia Melayu-Islam dengan pusat-pusat kebudayaan Timur Tengah telah menciptakan aliran kreatif yang terus mengalir hingga saat ini, meninggalkan jejak yang dalam dalam perkembangan sastra nasional. (Ijlal et al., 2018)
Pada akarnya, tradisi puisi Timur Tengah memperkenalkan konsep yang sangat berbeda tentang fungsi dan bentuk puisi dibandingkan dengan tradisi lisan Nusantara. Para penyair Arab klasik seperti Al-Ma’arri dan Imru’ al-Qais mengembangkan puisi sebagai medium untuk mengekspresikan kedalaman pemikiran filosofis sekaligus keindahan bahasa. Mereka menciptakan struktur yang ketat dalam bait-bait puisi mereka, dengan perhatian khusus pada rima, ritme, dan permainan kata. Teknik ini kemudian diadaptasi oleh penyair Melayu dalam bentuk syair dan nazam, yang menjadi cikal bakal puisi Indonesia modern.
Proses akulturasi ini terjadi melalui beberapa saluran penting. Pertama, melalui penyebaran Islam yang dibawa oleh para ulama dan saudagar dari Persia dan Arab. Mereka tidak hanya membawa ajaran agama, tetapi juga khazanah sastra yang kaya. Kitab-kitab klasik seperti “Alf Laylah wa Laylah” (Seribu Satu Malam) dan karya-karya sufistik menjadi bahan bacaan bagi kalangan terpelajar di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Kedua, melalui jalur pendidikan di pesantren-pesantren, di mana para santri mempelajari sastra Arab sebagai bagian dari kurikulum agama. Para santri inilah yang kemudian menjadi agen perubahan, menerjemahkan dan mengadaptasi konsep-konsep puisi Timur Tengah ke dalam bahasa Melayu.
Para sastrawan Timur Tengah seperti Al-Mutanabbi, Jalaluddin Rumi, dan Nizar Qabbani mengajarkan bahwa puisi adalah medium untuk menyampaikan kegelisahan jiwa dengan keindahan bahasa. Mereka mengembangkan teknik penulisan dimana setiap kata dipilih dengan ketelitian tinggi untuk menciptakan efek emosional yang mendalam. “Puisi adalah lukisan dengan kata-kata, dimana setiap goresan pena membawa seribu makna.” Al-Ma’arri.
Salah satu aspek penting yang diadopsi dari puisi Timur Tengah adalah konsep “Syi’ir” atau seni berpuisi. Penyair-penyair Melayu kemudian Indonesia belajar membuat puisi tidak sekadar sebagai ekspresi spontan, tetapi sebagai karya seni yang memerlukan penguasaan teknik dan kedalaman makna. Mereka mengembangkan gaya “badi'” (stilistika) yang mencakup berbagai majas seperti tawriyah (ungkapan bermakna ganda), jinas (permainan kata), majas (pengumpamaan), Tawqid (penekanan), adz-dzikir (penglangan) dan isti’arah (metafora). Teknik-teknik ini masih bisa kita lihat dalam puisi-puisi Amir Hamzah, yang dikenal sebagai “Raja Penyair Pujangga Baru”. Dalam karyanya “Padamu Jua”.
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Pengaruh sufisme Persia sangat kental terasa dalam penggunaan simbol-simbol spiritual dan permainan makna yang dalam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bagaimana penyair Indonesia modern mengolah warisan Timur Tengah ini dengan kreativitas lokal. Chairil Anwar, meski dikenal sebagai penyair pembaharu, sesungguhnya tetap mempertahankan beberapa unsur puisi Timur Tengah dalam karyanya. Puisi “Semangat” misalnya, menggunakan gaya penegasan (tauqid-dalam bahasa arab) dan repetisi yang mirip dengan puisi Arab klasik, sambil menyuntikkan semangat individualisme modern.
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Demikian pula Sutardji Calzoum Bachri yang merevolusi puisi Indonesia dengan “mantra”
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
kau jadi Kau!
Kasihku
sebenarnya sedang melanjutkan tradisi sastra sufistik Timur Tengah yang memandang kata sebagai kekuatan magis.
Penggunaan bahasanya pun menunjukkan akulturasi yang khas. Kosakata Arab banyak diserap menjadi bagian dari kekayaan bahasa puisi Indonesia, bukan hanya dalam konteks keagamaan tetapi juga dalam ekspresi keseharian. Kata-kata seperti “dunia”, “rasa”, “fana”, dan “baka” telah menjadi bagian integral dari diksi puisi Indonesia, membawa serta nuansa Timur Tengah. Penyair seperti Goenawan Mohamad dengan esai-esai puisinya jelas-jelas menunjukkan kemahiran dalam memainkan makna ganda dan penalaran ala tradisi sastra Persia.
Tema-tema yang diangkat juga menunjukkan pengaruh yang mendalam. Jika puisi tradisional Nusantara lebih banyak berbicara tentang alam dan kehidupan, puisi-puisi yang terpengaruh Timur Tengah memperkenalkan tema-tema pertanyaan metafisik, dan pencarian spiritual. Taufiq Ismail dalam “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” misalnya (Kusumawati, 2013), pada puisi “Takut ‘66, Takut ‘98”.
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa.
Menggunakan pendekatan kritik sosial yang memiliki kemiripan dengan puisi-puisi protes penyair Mesir modern seperti Nizar Qabbani dalam “Kepada Beirut” (terjemah).
Wahai Beirut, engkau terluka namun tetap cantik,
Bagaikan seorang gadis yang rambutnya dipenuhi puing-puing,
Wajahmu yang halus ditampar angin perang,
Namun bibirmu tetap mencium bintang-bintang.
Yang menarik, akulturasi ini tidak berhenti pada tataran bentuk dan tema, tetapi merambah ke cara pandang terhadap peran penyair dalam masyarakat. Di Timur Tengah, penyair dianggap sebagai “al-hakim” (orang bijak) yang tidak hanya mencipta keindahan tetapi juga menyampaikan kebijaksanaan. Konsep ini berbeda dengan pandangan tradisional Jawa yang melihat pujangga lebih sebagai penjaga tradisi. Pengaruh Timur Tengah membantu membentuk citra penyair Indonesia modern sebagai intelektual dan pemikir, bukan sekadar penghibur.
Dalam perkembangan terkini, pengaruh Timur Tengah terus berevolusi. Penyair muda seperti Joko Pinurbo mengolah tradisi ini dengan lebih cair dan kontemporer. Puisi-puisinya yang pendek dan sering kali absurd, pada dasarnya sedang bermain dengan konsep “al-dhikr” (zikir), pengulangan kata untuk mencapai pencerahan. Demikian pula, fenomena puisi Instagram yang populer saat ini, secara tidak sadar sedang melanjutkan tradisi puisi “al-qit’ah” (potongan-potongan pendek) yang berkembang di era Abbasiah.
Pengaruh Timur Tengah dalam puisi Indonesia bukan sekadar masalah peniruan bentuk, melainkan proses internalisasi yang kreatif dan berlapis-lapis. Telah menjadi bagian tak terpisahkan dari DNA puisi Indonesia modern, memberikan kekayaan linguistik dan keluwesan dalam berekspresi. Proses akulturasi ini menunjukkan kemampuan sastra Indonesia meresap dan mengolah pengaruh asing menjadi sesuatu yang khas dan otentik.
Hubungan antara puisi Indonesia dan Timur Tengah juga menggambarkan betapa sastra bisa menjadi jembatan antara peradaban. Di tengah berbagai perbedaan budaya, puisi mampu menciptakan dialog yang bermakna antara Nusantara dengan dunia Arab-Persia.
Puisi Indonesia modern adalah bukti nyata dari proses kreatif yang terus-menerus, ini sebuah warisan sastra yang terus hidup dan berkembang, menghubungkan masa lalu dengan masa kini, dan menjangkau jauh melampaui batas-batas geografis.
Referensi
Ijlal, S., Maheram, A., & Suhaila, Z. (2018). Tinjauan Literatur Penterjemahan Karya Sastera Arab dan Melayu. BITARA International Journal of Civlizational Studies and Human Sciences, 1(1), 21–32.
Kusumawati, A. A. (2013). Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” Karya Taufiq Ismail. Adabiyyāt: Jurnal Bahasa Dan Sastra, 12(2), 332–360.
Taufiq Ismail. (1998). Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Penerbit: Yayasan Ananda, Jakarta.
RIWAYAT PENULIS
Muhammad Fathan Al Kubro lahir pada tanggal 7 Mei 2002, Fathan lahir di Purworejo, tumbuh besar di jakarta. Dia mulai menguasai kedalaman ilmunya saat di bangku sekolah menengah pertama sampai akhirnya bisa lulus dan tamat dari sekolah menengah atas yaitu di Boarding School Daaruttaqwa, Cibinong, Bogor pada tahun 2020. Ia melanjutkan jenjang sekolahnya ke perguruan tinggi negri di daerah Purwokerto, salah satu yang terbaik di karesidenan Banyumas Raya yaitu UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.
Selama ia bersekolah di perguruan tinggi, ia banyak berkontribusi dalam banyak lembaga dan organisasi. Saat berkhidmat dalam lingkungan himpunan program studi dia diamanahi menjadi wakil ketua yang berfokus pada hubungan eksternal pada tahun 2022-2023, sekaligus berkhidmat dalam organisasi ITHLA yaitu organisasi perkumpulan mahasiswa bahasa arab se-Indonesia. Tidak banyak sebatas itu, Fathan melanjutkan khidmatnya sebagai ketua umum salah satu partai mahasiswa yang berada di UIN saizu yaitu Partai Daulah Demokrasi Bergerak (PD2B) pada tahun 2023-2024, sekaligus menjadi senat mahasiswa UIN saizu menjadi anggota komisi C (bidang pengawasan).
Setelah itu semua sudah terlewat Fathan mulai fokus kebidang penulisan mulai dari esay, puisi dan artikel. LK Nura adalah pilihan terbaik bagi Muhammad Fathan Al Kubro untuk mendalami berkarya lewat sastra, sampai ia telah mempublish 2 artikel berbahasa inggris dan 1 artikel jurnal. Sekarang Fathan adalah mahasiswa akhir pendidikan bahasa arab, hidup dan berkembang di Rumah Kreatif Wadas kelir.