TELUNJUK KIAI KHARIRI
Ada tegalan ilalang memutih
kembangnya di tepian pesantren
Ada tawaran mendirikan rumah
membayarnya dengan ngaji syi’iran
Saban kali Sang Kiai memanggil
pulangnya seperti kulakan hari raya
Setiap kali ada tamu bertandang
pulangnya salam tempel dan kenyang
Saku baju Sang Kiai seperti kantong seorang pesulap
Sepertinya tak habishabis lembar kertas itu
berpindah tangan, hingga seseorang segan
“Duh, Rama Kiai, mestinya para santri yang
memberi, tetapi kami senantiasa menerima?”
Jawab Kiai Khariri seperti langgam lama
“Ada yang datang, ada yang pergi
Ada yang menerima, ada yang memberi”
Bolakbalik berputar seperti telunjuk kanannya
menari, tarian dzikir samawi
Bagai gasing tarikat Maulawi
di tengah malam, di antara bukit Kaafi dan Nuun
“Gusti, kalaulah ada hidup hamba sahaya yang
menjadikan Baginda ridla purnama
Anugerahkanlah kemudahan bagi para santri
Agar cahaya ilmu menjadi petunjuk arah akhirati”
Ada tegalan ilalang memutih
kembangnya di tepian pesantren
Di sini bukan pemujaan seorang kekasih
Kini hanyalah kenangan seorang santri
Telunjuk Kiai telah terkubur umur
tetapi tariannya tak pernah hancur
Yogyakarta, 10
juni 2021
METAFORA
Cinta itu telah tumbuh
Akarnya mengakar kedalaman lubuk
hati
Tanahnya keras berlapis-lapis
Menembusnya begitu linggis
Cinta itu telah tumbuh
Pohonnya merindang bagi
burung-burung
Begitu tamparan angin mau merapuh
Akarnya mengokohkan,
sambung-menyambung
Tapi begitu pemilik kebun mau
mencabutnya
Akar-akar itu terasa mengelupas
di lubuk hati
Ada rasa sakit berlapis-lapis
Ada beribu kenangan mengiris-iris
Kau aku hanyalah sepasang mata
Yang berharap-harap cemas
Linangan air yang suatu saat
mengguris
Sampai lubuk hati yang
mendebarkan bahagia
2020
bangun-bangun malam
jendela buka
kerlip bintang
sapamu
tidak bisa tidur
cahya wajahmu
memotretku
berjaga
berwudlu ke fajar
jiwa yang tenang
pendakian
impian
bersujud tahajud
hujan fatihah
tumbuh hati
mulia
jumpa di dunia
sekali cinta
kau aku
swarga
yogyakarta, 22 agustus 2020
SULUK PENYAIR
(Soni Farid
Maulana)
mengikuti
langkah para peziarah
ia sampai pada
sebuah negeri, di mana
matahari berkabut,
pohonpohon kesejukan
dan pada malam
harinya 1000 bulan
memekarkan
bungabunga kecubung, di taman
ia terkenang, menghirup
aroma kota yang
terbakar, impian
seorang gadis di depan cermin
sekalipun pada
siangnya, kembali
ia saksikan krematorium
matahari
“oh, kehidupan
yang berbolakbalik arah
kemanakah para
peziarah itu menuju?” bisik sepi
gelap menyergap,
harihari tanpa mata hati
ia mencatat
semua dan segala itu, di antara
salak anjing memperdingin
tiang listrik
dipukul peronda,
dan sunyi mempertegas
daundaun gugur, mengaburkan
jalan pergi
oh ya, ia ingat,
di bawah hujan keremajaan
ia mencoret nama
desi, dan ia cabut widuri dari
luka hati lelaki
yang menyingkir ke tepian kota
demi mengekalkan
1000 rembulan yang muncul
dari masa
kanaknya, bersama seorang nenek yang
menari, di bawah
hujan masa yang menua
“oh, kehidupan
yang bagai hutan lambang
telah sempurna
kuambung masa silam, dan
kini, matahari
akan terus terbit di sebelah timur
benak dunia,
menjadi arah para pekerja”
ia terus akan
mengetuk gerbang kehidupan
ia membuka pintu
cahaya
yogyakarta, 23 agustus 2020
PURWOKERTO-SOKARAJA
Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?
Ada banyak keasyikan duniawi
Hawanya menyejukkan, mata memandang
Panorama kehijauan masih banyak dijumpa
Hawa yang lalulalang, berujung selendang
Lenggak-lenggok Ronggeng Sungai Serayu
Bertamu Sang Kekasih
Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?
Ada soto atau getuk goreng Sokaraja
Lukisan-lukisan panorama tempo doeloe,
begitu syahdu
Sajak Arif Hidayat dengan metafora segar di
luar
Atau kedalaman Heru Kurniawan yang kuselami
bagai lagu
Atau Mas’ut si Peziarah yang kabarkan di
mana terakhir
Bertamu Sang Kekasih
Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?
Sepertinya kuyakin dia masih datang-pergi di
sini
Atau keluar-masuk di antara rak-rak buku
Di antara nisan makam Syekh Makdum Wali
Atau di puncak Walang Sanga yang entah di
mana terakhir
Bertemu Sang Kekasih
Mengapa aku tak pernah merasa menjadi penghuni kota ini?
Ingin banget kutanya kepada Habib Abdul
Hamid Sokaraja
Tapi sudah lama dia tak mau lagi berbahasa
kata
Kecuali senyumannya lebih meyakinkan sapa
Adanya kasih sayang dan cinta
Padahal sekali itu saja dia berkata di mana
terakhir
Bertemu Sang Kekasih
Yogyakarta, 2020
Tentang Penulis
Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Wachid lulus Magister Humaniora Sastra Indonesia UGM, jadi dosen-negeri di IAIN Purwokerto, dan lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Solo (15/1/2019). Buku terbaru karyanya : Kumpulan Sajak Nun (2018), Bunga Rampai Esai Sastra Pencerahan (2019), Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus, Keindahan Islam dan Keindonesiaan (2020), dan, Kumpulan Sajak Biyanglala (2020).