- Judul Buku: Konflik Dan Taktik
Perang Jawa 1825-1830
- Penulis : Muhammad Muhibbudin
- Penerbit: Araska Publisher
- Cetakan: Cetakan I, Agustus 2018
- Tebal : 260 halaman
- ISBN : 978-602-5805-29-5
Profetisme Pasca Perang
Oleh: Chubbi Syauqi
Tidak mudah apabila
seseorang berkeinginan memahami sejarah. Perlu banyak informasi historis yang
akurat guna mendokumentasikan domain data. Menggumuli sejarah memerlukan proses
panjang dan konsisten. Pasalnya, untuk memahami riwayat dan alegori sejarah,
ketekunan observatoris dan pergaulan intelektual mesti berjalan konsisten.
Tentunya, hal itu berkaitan dengan rujukan atau referensi yang otoritatif.
Referensi diposisikan sebagai pembanding dan korespondensi data sejarah, agar
pemahaman lebih komprehensif. Sehingga, ia terbebebas dari kabut hitam sejarah.
Sejarah tidak cuma
bicara ihwal romantisme atau kejayaan. Tragedi, kekalahan dan trauma
berkepenjangan juga kerap menjadi ekses dari sejarah. Bahkan, sering cerita
atau babad penaklukan lebih populer di telinga masyarakat, ketimbangan
kejayaan suatu kerajaan, kabilah, negara atau heroisme tokoh. Segala hal yang
menyangkut peperangan, kata Rasjid dalam artikelnya “Setelah Perang Tak Ada
Lagi” (2020) memunculkan kerugian humanis tiada tara. Langkah gontai para
pengungsi mencari suaka menjadi salah satu dampak perang yang tak terelakkan.
Kehilangan rasa aman, muncul perasaan gelisah dan penderitaan tak jarang terbit
di hati para korban. Akan tetapi, di balik peperangan, tentunya dapat
ditelusuri “bagaimana visi seorang pemimpin” dalam menahkodai perang? Kemudian
“apa kontekstualisasi ekses peperangan tersebut di masa kini?” Tentunya,
pertanyaan semacam itu perlu dijawab secara reflektif-kontemplatif.
Salah satu fakta
sejarah/babad perang di Nusantara yang legendaris adalah Perang Jawa
yang digawangi oleh Pangeran Diponegoro guna menaklukan dan mengusir
kolonialisme. Dalam bukunya, Konflik dan Taktik Perang Jawa 1825-1830, Muhammad
Muhibbudin menyingkap tentang seputar sejarah perang Jawa yang terjadi pada
tahun 1825-1830. Pembaca akan diajak menyelami jejak jihad dan pengorbanan
Pangeran Diponegoro. Perang Jawa
merupakan perang terbesar selama penjajahan Belanda di Nusantara. Pada masa itu,
pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan pasukan Jawa di bawah
pimpinan Pangeran Diponegoro. Walaupun perang ini hanya berjalan selama lima
tahun dan berujung pada kekalahan di pihak Pangeran Diponegoro, akan tetapi,
perang ini membuat pasukan Belanda kewalahan. Akibat perang ini, penduduk Jawa
yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda
berjumlah 800.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Selama ini,
masyarakat luas memahami perang Jawa hanya sekilas melalui pelajaran sejarah di
sekolah yang singkat. Sehingga, masyarakat kurang begitu memahami akan seluk
beluk terjadinya perang. Selama berjalannya perang, Pangeran Diponegoro banyak
dibantu oleh berbagai kalangan masyarakat. Hal inilah yang tidak banyak
diketahui oleh masyarakat luas. Perang Jawa diikuti oleh para kaum petani, para
alim ulama, santri, para elite Keraton Yogyakarta dan Kasunan Surakarta, bahkan
para bandit yang ada di desa-desa.
Perang Jawa bukanlah
perang yang memiliki semangat anti kolonialisme saja, namun juga memuat dimensi
jihad fi sabilillah. Pasalnya, Perang ini meletus setelah melalui visi
spiritual Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Di sana Pangeran Diponegoro banyak
menyelami ilmu agama Islam, berbaur dengan masyarakat kecil, dan sering berinteraksi dengan para ulama dan
santri. Aktivitas selama di Tegalrejo memunculkan cita-cita revolusioner
Pangeran Diponegoro untuk membebaskan diri dan masyarakat dari kungkungan rezim
kolonial. Perang ini diwarnai dengan nuansa teologi pembebasan.
Selama peperangan,
Pangeran selalu mengenakan simbol-simbol Islam berupa mengenakan jubah lengkap
dengan sorban, selalu memekikan takbir di medan perang, menggunakan nama-nama
Islam pada pasukannya, serta menggunakan taktik stretegi perang ala Turki
Ustmani. Pangeran juga tidak meninggalkan identitasnya sebagai orang Jawa,
terbukti Pangeran Diponegoro masih selalu membawa keris sebagai senjata di
medan perang. Tidak hanya itu, selama peperangan berlangsung Pangeran
Diponegoro menobatkan dirinya sebagai Ratu Adil atau dalam term Islam merujuk
pada simbol Imam Mahdi.
Visi Perang Jawa yang
dinahkodai Pangeran Diponegoro, didasari atas intensi teologi pembebasan dalam
Islam. Nasionalisme Dipenogoro sangat kentara, dalam simbol Islam dan tradisi
Jawa. Sehingga, kontekstualisasi Perang Jawa di masa kini perlu dimaknai
sebagai argumen pluralitas dan demokratisasi keberagamaan. Agama diposisikan
oleh Pangeran Diponegoro dalam spirit liberasi (pembebasan). Konsep
liberasi dimaknai Kuntowijoyo sebagai pembebasan atas kungkungan politik
kekuasaan dan kemerdekaan hak-hak masyarakat. Maka, Perang Jawa dalam konteks
ini, menjadi simbol pembebasan dari segala penindasan, atau dalam bahasa Gus
Mus, “memanusiakan manusia.”
Pada akhirnya, buku
Muhammad Muhibuddin ini memberikan kesadaran profetik terhadap narasi Perang
Jawa. Tidak hanya persoalan penaklukan (politik), melainkan visi keagamaan
Pangeran Diponegoro yang perlu diketengahkan dalam obrolan sejarah masyarakat
kita hari ini, tentunya dengan tanggung jawab intelektual-spiritual yang gigih.
Syauqi lahir di Banyumas, 1 Maret 2000. Tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan
Tarbiyah, Prodi Manajemen Pendidikan Islam IAIN Purwokerto. Ia tergabung dalam Himpunan Mahasiswa
Jurusan Manajemen Pendidikan (HMJ MPI), serta terdaftar sebagai anggota Sastra
Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto. Alamat rumah Jln. Achmad Zein
RT 02/ RW 03, Pasir Kidul, Purwokerto Barat. Alamat e-mail: chubbisyauqi2000@gmail.com.
HP:085876365662. Facebook: Syauqi
Chubbi.
Instagram : Syauqichubbi.